Mohon tunggu...
Awang Haryadi
Awang Haryadi Mohon Tunggu... Penulis

Antusias pada teknologi Blockchain dan Pemasaran Digital

Selanjutnya

Tutup

Financial

Dampak Kebijakan Tarif AS terhadap Ekonomi Indonesia dalam Konteks Upaya Dedolarisasi BRICS

8 April 2025   12:58 Diperbarui: 8 April 2025   12:58 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Kebijakan tarif tinggi yang diberlakukan Amerika Serikat terhadap produk ekspor Indonesia, termasuk tarif hingga 32%, telah menimbulkan gelombang dampak yang merambat ke berbagai sektor ekonomi Indonesia. Langkah ini tidak hanya memengaruhi hubungan dagang bilateral antara kedua negara, tetapi juga menjadi ujian berat bagi upaya Indonesia dalam mengurangi ketergantungan pada dolar AS---sebuah langkah yang dikenal sebagai dedolarisasi---sebagai bagian dari kanggotaaan Indonesia pada BRICS. 

Ketegangan Ekonomi Global dan Respons AS  

Di tengah upaya Indonesia dan negara-negara BRICS lainnya untuk mengurangi dominasi dolar AS dalam transaksi global, kebijakan tarif tinggi dari AS muncul sebagai respons defensif. AS tampaknya melihat dedolarisasi sebagai ancaman terhadap posisi dolar sebagai mata uang utama perdagangan dunia. Dengan mengenakan tarif yang signifikan, AS tidak hanya berusaha melindungi industri domestiknya tetapi juga mengirim sinyal politik bahwa upaya mengurangi ketergantungan pada dolar tidak akan dibiarkan begitu saja.  

Dampak pada Ekspor dan Industri Domestik  

Sektor ekspor Indonesia merasakan dampak langsung dari kebijakan ini. Produk-produk andalan seperti tekstil, alas kaki, elektronik, dan minyak kelapa sawit kini menghadapi biaya lebih tinggi untuk memasuki pasar AS, sehingga daya saingnya menurun. Industri tekstil, yang sudah mengalami kesulitan akibat persaingan global dan biaya produksi yang tinggi, terancam semakin terpuruk. Banyak perusahaan diprediksi akan mengurangi produksi atau bahkan gulung tikar, yang berpotensi memicu gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) dan meningkatkan angka pengangguran. 

Jika kondisi ini berlanjut tanpa langkah penanganan yang efektif, perlambatan ekonomi bisa semakin dalam, bahkan beberapa analis memperingatkan risiko resesi pada akhir 2025. 

 

Guncangan Makroekonomi: Rupiah, Inflasi dan Utang

Melemahnya ekspor ke AS memperburuk neraca perdagangan Indonesia, yang pada gilirannya menekan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Pelemahan rupiah ini seperti pisau bermata dua: di satu sisi, eksportir yang tidak bergantung pada bahan baku impor bisa diuntungkan karena pendapatan dalam dolar bernilai lebih tinggi ketika dikonversi ke rupiah. Namun di sisi lain, kenaikan harga impor bahan baku dan barang konsumsi memicu inflasi, yang mengurangi daya beli masyarakat dan memperberat beban hidup. 

Bagi pemerintah dan perusahaan swasta yang memiliki utang dalam dolar AS, pelemahan rupiah menjadi beban tambahan. Cicilan utang dan pembayaran bunga menjadi lebih mahal, meningkatkan risiko gagal bayar dan memperburuk kondisi keuangan negara. 

 Pasar Modal, Investasi dan Perbankan: Sentimen Negatif yang Mengganggu  dan pemburukan NPL Perbankan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun