Mohon tunggu...
awangga fazzri
awangga fazzri Mohon Tunggu... vtuber

hanya seorang pelajar random yang tiba-tiba menjadi mc dan igin menyelamatkan sebuah negara dari kehancuran

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Ekspor Diselamatkan, Tapi Kedaulatan Dikorbankan? Perjanjian Indonesia-AS yang Patut Dipertanyakan

25 Juli 2025   21:10 Diperbarui: 25 Juli 2025   21:07 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pada 22 juni 2025 Pemerintah Indonesia mengklaim telah berhasil menurunkan tarif ekspor ke Amerika Serikat dari 32% menjadi 19%. Sebuah kabar yang terdengar seperti pencapaian diplomatik besar—hingga publik mengetahui harga di balik "diskon" tersebut.

Dalam perjanjian itu, Indonesia tidak sekadar menjual produk. Kita juga dipaksa membeli puluhan unit pesawat Boeing, alat pertanian bernilai triliunan rupiah, dan bahkan membangun kilang minyak di tanah Amerika. Tak berhenti di sana, Indonesia juga harus membuka akses sumber daya mineral strategis seperti tembaga, serta memperbolehkan perusahaan-perusahaan asing mengelola data warga negara kita. setidaknya ada beberapa poin konkret yang sudah diverivikasi kebenarannya. antara lain:

Pembelian 50 unit pesawat Boeing dari AS
Pembelian energi senilai 244 triliun rupiah
Pembelian alat pertanian senilai 73 triliun rupiah
Akses tembaga/mineral kritis
Bebas tarif 0% produk AS ke RI
17 kilang minyak di AS senilai 130 triliun mengunakan dana Danantara
Transfer data pribadi warga RI untuk dikelola perusahaan asing

Apakah ini perjanjian dagang atau penyerahan kedaulatan?, Mari kita bedah satu-persatu.

Energi Kita melimpah, Tapi Impor Energi Mereka.

Indonesia memiliki sinar matahari sepanjang tahun, potensi panas bumi, angin, bahkan laut yang mengelilingi seluruh nusantara. Namun kita masih memilih mengimpor energi dari negeri yang jauh di seberang Pasifik.

Apa logikanya negara yang duduk di atas tambang energi justru membeli sumber daya dari luar? Apakah ini kerja sama, atau bentuk dominasi terselubung?

Tarif Ekspor Amerika 0%: Kenapa Kita Tak Diperlakukan Sama?

Amerika mengenakan tarif 0% untuk sebagian besar produk ekspor mereka. Sementara kita—negara berkembang—awalnya harus membayar tarif hingga 32% untuk produk yang sama. Setelah negosiasi, memang tarif itu diturunkan menjadi 19%. Tapi mari jujur:
Apakah ini kemajuan, atau kita hanya beranjak dari ruang sempit ke ruang yang masih dikunci?

Mengapa ekspor mereka ke kita dibebaskan sepenuhnya, tapi kita harus tetap membayar hampir seperlima nilainya hanya untuk bisa masuk ke pasar mereka?

Kalau ini disebut "kerja sama setara", maka kata "setara" perlu kita pertanyakan kembali.

Kita Bangun Kilang, Tapi Untuk Mereka

Yang lebih menyakitkan, bukan hanya kita membeli produk mereka. Kita juga yang membangun fasilitas mereka—kilang minyak, dengan dana negara, di tanah asing. Sejak kapan proyek nasional dikerjakan untuk kepentingan luar negeri? Dan sejak kapan kita rela bekerja sebagai kontraktor bagi kekuatan ekonomi global?

Data Rakyat Bukan Komoditas Dagang

Di era digital, data adalah emas. Ia bisa mengungkap kebiasaan, perilaku, bahkan pola pikir sebuah bangsa. Dan dalam perjanjian ini, data warga Indonesia berpotensi dikendalikan dan dimanfaatkan oleh perusahaan luar, dengan dalih efisiensi dan investasi.

Kalau tanah dan tambang saja bisa diperebutkan, bayangkan betapa berbahayanya jika data rakyat juga diperjualbelikan.

yang terakhir, 2 hal yang aku setujui dari perundingan ini.

Kita memang belum sepenuhnya mandiri di sektor aviasi. Maskapai nasional membutuhkan armada besar, dan sayangnya, belum ada produsen lokal yang mampu menyediakan pesawat sekelas Boeing 777.
Maka wajar jika ada pembelian. Tapi pertanyaannya:

Apakah pembelian ini karena kebutuhan teknis yang riil, atau justru syarat politik agar kita bisa ekspor dengan diskon?

Jika yang kedua, maka ini bukan sekadar pembelian. Ini pembayaran kedaulatan dalam bentuk komersial.

Demikian pula dengan alat pertanian. Petani Indonesia memang butuh modernisasi. Tapi:

  • Kenapa harus dari Amerika?

  • Apakah tidak bisa dibuka peluang untuk memproduksi sendiri dengan transfer teknologi?

  • Atau setidaknya dibuat sistem pembelian yang tetap membuka lapangan kerja di dalam negeri?

Kalau semuanya impor, lalu apa gunanya kita punya Kementerian Perindustrian, BUMN, dan program revolusi industri 4.0?

Ini Bukan Anti-Kerja Sama, Ini Tentang Batas

Kita tidak anti kerja sama internasional. Tapi setiap kerja sama harus berdasarkan prinsip kesetaraan. Ketika satu pihak untung besar sementara yang lain kehilangan kendali atas aset vitalnya, itu bukan kerja sama—itu kolonialisme versi baru.

Negara yang besar bukan yang punya utang paling banyak atau ekspor terbanyak. Negara yang besar adalah yang tidak bisa didikte. Yang memegang kendali atas tanah, laut, udara, data, dan martabat bangsanya sendiri.

Dan jika saat ini kita sedang kehilangan itu semua demi kesepakatan dagang yang timpang, maka suara rakyat harus lebih nyaring dari tepuk tangan elite.

akhir kata dari saya: NKRI harga mati, bukan harga tarif !

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun