TikTok adalah salah satu aplikasi sosial yang fokus pada video pendek yang sangat terkenal di seluruh dunia saat ini. Setelah dirilis oleh ByteDance pada tahun 2017, TikTok telah diunduh lebih dari 3 miliar kali di seluruh dunia. Meskipun begitu, popularitasnya datang dengan berbagai tantangan serius dalam pengelolaan risiko, termasuk masalah privasi data, konten yang berbahaya, serta kebijakan di berbagai negara. Salah satu contoh nyata yang menunjukkan lemahnya perlindungan data muncul pada tahun 2019, ketika TikTok dikenakan denda sebesar 5,7 juta dolar AS oleh Federal Trade Commission (FTC) di Amerika Serikat. Denda tersebut dijatuhkan karena TikTok terbukti mengumpulkan informasi pribadi anak-anak di bawah umur tanpa izin dari orang tua, yang merupakan pelanggaran serius terhadap Children's Online Privacy Protection Act (COPPA). Kasus ini berfungsi sebagai peringatan serius bagi TikTok untuk memperbaiki kebijakan perlindungan data, terutama untuk para pengguna yang masih anak-anak dan remaja. Sebagai tindak lanjut, TikTok kemudian meluncurkan sejumlah fitur kontrol orang tua, seperti Family Pairing yang memungkinkan orang tua untuk mengawasi aktivitas anak-anak mereka di platform tersebut. Selain masalah privasi, TikTok juga menghadapi ancaman terkait penyebaran konten yang berbahaya. Beberapa tren populer di platform ini memiliki dampak yang buruk terhadap penggunanya, terutama kalangan remaja. Salah satu contoh yang banyak diberitakan adalah fenomena "Skull Breaker Challenge" yang terjadi pada tahun 2020. Tantangan tersebut mendorong remaja untuk menjegal teman-teman mereka, sehingga jatuh dalam posisi yang berisiko, yang mengakibatkan cedera kepala serius di beberapa negara.Â
Peristiwa ini memicu desakan dari publik dan pemerintah untuk mendorong TikTok agar meningkatkan sistem moderasi konten demi mencegah penyebaran tantangan-tantangan yang dapat mengancam keselamatan penggunanya. Tantangan lain yang cukup signifikan adalah adanya tekanan dari regulasi di beberapa negara. Sebagai contoh, India pada pertengahan tahun 2020 memutuskan untuk melarang TikTok beserta sejumlah aplikasi asal Tiongkok lainnya, dengan alasan terkait keamanan data dan kedaulatan digital. Tindakan India ini diikuti dengan berbagai diskusi mengenai pelarangan yang sama di Amerika Serikat selama masa pemerintahan Donald Trump. Pemerintah AS bahkan mengancam akan melarang TikTok jika ByteDance tidak menjual bisnis TikTok di Amerika kepada perusahaan domestik. Situasi politik dan regulasi seperti ini jelas menjadi risiko besar yang bisa berdampak langsung pada keberadaan TikTok di pasar global.
Untuk mengatasi beragam risiko tersebut, TikTok telah mengambil beberapa langkah pencegahan. Dalam hal perlindungan data, TikTok mulai menerapkan audit kepatuhan dengan melibatkan pihak ketiga untuk memastikan bahwa manajemen data pribadi sesuai dengan peraturan yang berlaku di masing-masing negara. TikTok juga mendirikan pusat transparansi di beberapa lokasi, termasuk di Amerika Serikat, untuk memudahkan pihak berwenang dalam mengevaluasi cara kerja algoritma dan kebijakan moderasi konten yang diterapkannya. Dalam mengatasi ancaman konten berbahaya, TikTok terus meningkatkan teknologi deteksi otomatis yang didukung oleh kecerdasan buatan, bekerja sama dengan para moderator manusia untuk menilai konten yang diunggah oleh para pengguna. Fitur pelaporan juga diperbaharui agar lebih mudah digunakan, sehingga para pengguna dapat aktif berpartisipasi dalam mengurangi penyebaran konten negatif. Selain itu, TikTok secara teratur meluncurkan program literasi digital untuk memberikan edukasi kepada pengguna mengenai risiko dan etika bermedia sosial.
Kasus nyata ini menunjukkan bahwa manajemen risiko dalam aplikasi digital sangat penting, terutama untuk platform global dengan jutaan pengguna dari berbagai usia. TikTok menunjukkan bagaimana sebuah perusahaan teknologi harus mampu beradaptasi dengan berbagai regulasi, menjaga kepercayaan publik, dan melindungi penggunanya dari risiko yang selalu berkembang. Jika tidak berhasil menghadapi risiko ini, reputasi dan keberlangsungan bisnis TikTok bisa terancam, seperti yang pernah terjadi di India dan hampir terjadi di Amerika Serikat.
Sebagai kesimpulan, manajemen risiko di TikTok adalah proses yang terus berubah. Pengalaman yang dialami TikTok juga merupakan pelajaran berharga bagi platform digital lainnya untuk lebih bertanggung jawab dalam hal privasi, keselamatan, dan kepatuhan hukum di era teknologi yang semakin berkembang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI