Mohon tunggu...
Dokter Avis
Dokter Avis Mohon Tunggu... Dokter Anak

Saya dr. Hafiidhaturrahmah namun biasa disapa Avis, dokter umum dari FK Univ Jenderal Soedirman, dokter anak dari Univ Gadjah Mada. Awardee Beasiswa LPDP-PPDS Angkatan 1. Saat ini bekerja di RS Harapan Ibu Purbalingga. Monggo main di blog saya www.dokteravis.net

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Zuni dan Amri, Perawat Pencerah Nusantara yang Taklukkan Rimba Jakarta

20 Oktober 2012   18:05 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:35 1659
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siapa menyangka dua gadis yang sehari-harinya selalu riang gembira ini ternyata menyimpan kisah perjuangan luar biasa untuk menjadi perawat. Beruntung saya bertemu keduanya dalam ajang bakti Pencerah Nusantara. Enam minggu pelatihan bersama mereka membuat tangan saya gatal ingin segera membagikan kisah mereka. [caption id="attachment_218949" align="aligncenter" width="300" caption="Amri (jilbab merah) dan Zuni (jilnan coklelat) dalam Pencerah Nusantara"][/caption] Menjalani sekolah dari SD sampai SMA bersama, Zuniatmi (28 Juni 1989, 23 tahun) menjadi sosok sahabat karib bagi Amriyatun (15 Agustus 1988, 24 tahun).  Setelah mengalami rasa terpukul dan kekecewaan luar biasa atas kematian bapaknya di RS, Zuni menyerah hanya menamatkan SMA.  Bahkan ketika teman-teman SMA 1 Prembun sibuk mempersiapkan berkas pendaftran PMDK juga SPMB, dua sahabat itu hanya melihat sambil mengelus dada. Kemampuan keluarga mereka tidak akan mungkin membut mereka kuliah apalagi mengambil jurusan keperawatan di UI. Namun, takdir berkata lain.  Penyakit komplikasi antara jantung, paru dan hati yang diderita bapaknya membuat Zuni berpikir ulang. Menjadi tenaga kesehatan satu-satunya jalan untuk mengungkapkan misteri kematian bapaknya juga untuk membahagiakan bapaknya yang telah tiada.  Zuni yang selalu menjadi peringkat satu dari SD hingga SMA inipun mencoba merangkai mimpi lagi. Amri menjadi sosok yang menguatkan Zuni. "Ayo kita lanjut kuliah. Kalau orang lain bisa, kenapa kita tidak" Zuni masih ingat perkataan Amri saat itu. "Tapi kita tidak punya uang sepersepun" Zuni masih teringat ketiadaan uang membuat bapaknya tidak dapat disembuhkan dan diobati secara layak. "Ayo kita usaha dulu" Beruntung keduanya mendapatkan informasi seleksi bimbel dari PERHIMAK (Perhimpunan Mahasiswa Kebumen). Keduanya lolos seleksi dan menjalani bimbingan belajar selama 45 hari di Depok. Terkendala keterbatasan biaya, keduanya hampir tidak menjalani bimbel namun PERHIMAK memberikan bantuan biaya bimbel dan biaya hidup keseharian. Permasalahan ternyata belum selesai karena ketiadaan biaya transportasi sehingga Amri memutuskan menjual cincin seharga Rp. 45.000 untuk biaya bus. Akhirnya keduanya meluncur ke Jakarta. Bimbingan belajar PERHIMAK ini diinisiasi sangat serius oleh mahasiswa UI asli Kebumen. Kedua sahabat ini hanya punya kesempatan tidur tiga jam setiap harinya karena acara belajar selesai jam 12 malam sementara jam tiga pagi mereka sudah harus bangun. Shalat tahajud juga puasa Senin Kamis menjadi rutinitas wajib untuk menguatkan mental mereka. Tidak sia-sia, sistem pembelajaran ini mampu membuat 64 dari 80 anak SMA asli Kebumen yang ikut bimbel diterima di UI dengan berbagai jurusan. Hebatnya, empat orang dari 64 tersebut kini terpilih sebagai Pencerah Nusantara. Dua gadis Kebumen inipun mendapat buah manis dari belajarnya, mereka diterima di Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia (UI). Namun lagi-lagi keduanya terbentur masalah biaya hingga akhirnya keduanya dipanggil oleh Ibu Anis Rosyidah, guru Bahasa Indonesia SMA Prembun. "Ibu dengar kalian keterima di UI ya?" "Iya bu, tapi kami ragu mau diambil atau tidak karena untuk kesana saja tidak ada uangnya apalagi untuk hidup keseharian disana" "Sudah kamu duduk saja disini dan tunggu ya" Keduanya hanya bingung karena setelahnya Sang Guru pergi dan pulang kembali dengan membawa sejumlah uang. Ternyata Ibu Anis dibantu oleh Ibu Woro menggalang dana patungan dari rekan guru lainnya. Para guru terketuk untuk ikut membantu kelanjutan cita-cita keduanya. Dan akhirnya gayung pun datang, terkumpul dana 360 ribu yang digunakan untuk membayar asrama UI supaya registrasi ulang mudah dilakukan. Namun ujian ternyata bukan hanya sampai di situ.  Pertentangan dari keluarga Amri kembali muncul.  Anak kelima dari delapan bersaudara ini dididik dalam lingkungan keluarga yang harus bekerja setelah lulus SMA. Kedua kakak Amri hanya lulusan SD dan langsung merantau ke Jakarta untuk bekerja. Sementara dua kakak lainnya yang lulus SMA juga sama langsung melanjutkan kerja supaya bisa menyekolahkan adikknya hingga SMA juga. Bekerja adalah mendapatkan uang sementara kuliah adalah membuang uang. Amri sempat bersitegang ketika dilarang registrasi di UI. Keluarganya ketakutan karena tidak mampu membiayai kuliah. "Tapi saya tetap ngotot. Kalau kuliah buang uang, ya gak papa, toh saya juga tidak ada uang jadi apa yang mau saya buang. Saya tetap lanjut" ujar Amri sambil mengenggam tangan Zuni. Keduanya baru saja terlibat sesi "curhat" panjang akan persahabatan mereka. "Pa...Bu...apapun yang terjadi, saya mau kuliah. Mohon doanya" Amri menambahkan kalimat terakhir yang menjadi penutup perdebatan panjang dengan keluarganya. Keduanya pun merantau meninggalkan Kebumen dengan uang ala kadarnya. Mereka tidak berkecil hati tapi malah semakin meneguhkan semangat mereka bahwa "KULIAH ITU HARUS". Sesampainya di Jakarta keduanya menginap di asrama UI dan dari hari ke hari keuangan semakin terbatas. Jalan mencari tambahan uang pun terpaksa mereka lakukan untuk bertahan hidup. Berjualan nasi bungkus untuk seluruh rekanan di asrama ternyata dapat sedikit membantu. Sehari-harinya mereka mampu menjual 60 bungkus dimana untung satu bungkusnya 500 rupiah. Registrasi sudah dijalani namun keduanya mendadak sakit kepala ketika diminta membayar uang pangkal senilai 5 juta .  Tentu bukan jumlah yang sedikit di era 2007 apalagi untuk kantong mereka.  Syukurnya, sekarang uang pangkal itu sudah disesuaikan dengan kemampuan penghasilan keluarga . Jelas, saat itu keduanya hanya melongo melihat angka fantastis. Jangankan 5 juta, bertahan hidup sehari-hari di Jakarta saja sudah ngos-ngosan bagi mereka. Namun, keduanya tetap saling menguatkan dan mengusahakan semua jalan. Satu persatu pejabat penting terkait kebijakan itu mereka temui. Tidak peduli jika mereka harus menangis di setiap bagiannya agar tetap bisa kuliah. Perjuangan awal itu tidak sia-sia, Zuni dibebaskan dari uang pangkal tersebut, NOL Rupiah sementara Amri dibebaskan 50%nya. Sedikit lega, keduanya pun berfokus mencari uang untuk membayar SPP tiap semesternya.  Keringanan sudah diberikan bahwa keduanya boleh mencicil bayaran SPP dalam tiga kali bayaran. Bahkan karena kenekatan menemui semua pejabat FIK maka keduanya pun mendapat banyak pertolongan dari tempat yang tidak diduga-duga. Zuni mendapat kesempatan tinggal bersama dekan FIK UI sementara Amri bersama dosennya. Tidak lagi memikirkan biaya kos, keduanya tetap menjalani berbagai profesi sampingan agar bisa membayar SPP. "Saat itu kami hanya berpikir kalau kuliah harus terus berjalan, apapun alasannya. Tapi kami tahu tidak ada uang untuk bayar SPP. Apapun kami kerjakan dari mulai paginya membawa donat untuk dijual hingga sore membawa gorengan. Semuanya untuk ditabung" Zuni menjelaskan. "Saya masih mencari tambahan lain dengan menjadi guru les anak SD-SMP. Saya juga magang di Direktorat Kemahasiswaan" Amri menambahkan. Keduanya bertahan menderita menjadi kepompong, hidup sangat sederhana demi tetap kuliah. Mereka percaya bahwa kepompong nantinya akan menjadi kupu-kupu yang indah. Keduanya menjalani keseharian menjadi mahasiswa FIK dengan tidak biasa.  Jika orang lain bisa langsung pulang ke rumah maka keduanya masih harus mencari rezeki tambahan. Jika orang lain bisa membeli buku-buku ajar maka keduanya makin rajin ke perpustakaan untuk menambah wawasan. Bahkan ketika lainnya memilih untuk menjadi mahasiswa biasa-biasa saja, keduanya memutuskan aktif di organisasi BEM, forum pengkajian islam dan berbagai kegiatan kemahasiswaan lainnya. Perjuangan mereka berbuah manis, keduanya lulus sebagai sarjana keperawatan tahun 2011. Namun jalan masih panjang karena ada setahun profesi yang harus mereka jalani di rumah sakit.  Biaya yang dibutuhkan makin besar dan tidak seperti biaya pangkal yang dapat mereka lobi saat itu. Uang sejumlah 12 juta harus mereka dapatkan dan Zuni magang sebagai enumerator di Depkes yang mana gaji dia gunakan agar dapat menjalani profesi keperawatan. Lain lagi, Amri lebih beruntung mendapatkan bantuan beasiswa BUMN yang menanggung seluruh jumlah tersebut. Tetap saling membantu, keduanya pun berhasil menjalani satu tahun profesi dengan baik dan 2012 menjadi waktu dimana keduanya keluar menjadi kupu-kupu. [caption id="attachment_218951" align="aligncenter" width="300" caption="Amri memaparkan programnya di Mentawai nanti. Tampak di belakangnya dr.Riedho sebagai dokter Mentawai"]

13507555872004377124
13507555872004377124
[/caption] [caption id="attachment_218952" align="aligncenter" width="300" caption="Zuni aktif mengutarakan pendapat dalam pelatihan Pencerah Nusantara"]
1350755686152551312
1350755686152551312
[/caption] Saat ini, keduanya tetap saling membantu dan menjadi icon persahabatan abadi di tim besar saya. Yah, keduanya kini mengabdikan diri melalui Pencerah Nusantara Angkatan Pertama, program perdana dari Kantor Utusan Khusus Presiden RI (KUKPRI) untuk MDGs.  Zuni akan ditempatkan di Desa Tanjung Pakis Karawang bersama dr. Stefani Kristanti (UNAIR) sementara Amri ditempatkan di Desa Sikakap Mentawai, provinsi Sumatera Barat bersama dr. Muhammad Riedho (UI). Setahun ke depan, keduanya akan bermetamorfosis menjadi kupu-kupu dewasa yang lebih indah. Mencerahkan masyarakat di sekeliling mereka dengan hati dan kebaikan mereka. Bahwa ternyata orang miskin tidak boleh sakit, tidak boleh kuliah itu hanya perkataan orang pesimistis. Semua ORANG BISA KULIAH asal mau berjuang mendapatkan haknya. Selamat mengabdi Amri dan Zuni. Doa kami menyertai langkah kebaikan kalian. Salam dr. Hafiidhaturrahmah Pencerah Nusantara Pasuruan

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun