Mereka tidak memiliki pabrik, tidak memiliki mesin besar, dan bahkan tidak memiliki tanah liat sendiri. Namun dari pekon ini, ratusan ribu bata dan genting telah dikirim ke Pringsewu, Bandar Lampung, Lampung Tengah, hingga Palembang dan Jambi.
Distribusi dilakukan melalui agen lokal maupun pemesanan langsung. Dengan biaya logistik tambahan karena pengangkutan tanah dari luar, keuntungan per unit lebih kecil, tetapi tetap cukup untuk menopang ekonomi keluarga.
- Dalam data APBP 2025, anggaran Dana Desa Jati Agung mencapai lebih dari Rp 1,28 miliar, dengan belanja pekon mendekati Rp 2 miliar. Hasil usaha pekon dari sektor nonpertanian (termasuk kerajinan) menyumbang sekitar Rp 15,7 juta. Meski belum besar, ini menandai arah kemandirian desa berbasis potensi lokal.
Rasa, Cita, dan Cerita di Balik Karya
Setiap genting yang tersusun di atap rumah mengandung cerita. Mungkin dari sepasang suami istri yang mencetaknya saat fajar, atau dari seorang pemuda yang mengangkutnya sejauh 20 km dengan mobil pickup maupun truk-truk kecil.
Karya mereka adalah wujud dari impian yang tak terucap: untuk anak yang ingin kuliah, untuk rumah yang ingin direnovasi, atau sekadar untuk memastikan dapur tetap mengepul.
Anak-anak Jati Agung tumbuh dengan menyaksikan proses ini setiap hari. Mereka tahu bagaimana rasa sakit di telapak kaki setelah sehari mencetak, mereka paham arti sabar menunggu matahari mengeringkan bata, dan mereka mengerti nilai kerja keras bahkan sebelum mereka lulus sekolah dasar.
Tak heran, meski banyak pemuda hijrah ke kota untuk pendidikan atau pekerjaan, mereka selalu kembali dengan rasa hormat yang dalam kepada desa. Karena mereka tahu, desa inilah yang membentuk karakter mereka.
Cerita seperti ini bukan fiksi. Inilah kenyataan yang membentuk karakter masyarakat Jati Agung: sederhana, kuat, dan penuh harapan. Batu bata, Genting, dan Kerpus bukan hanya komoditas. Mereka adalah simbol perjuangan kolektif.
Tantangan yang dihadapi desa ini tidak sedikit:
- Bahan baku yang selalu harus didatangkan dari luar membuat biaya produksi tinggi dan tidak stabil.
- Musim hujan memperlambat proses pengeringan, menyebabkan produksi macet berminggu-minggu.
- Tidak adanya merek dagang atau label geografis, membuat produk Jati Agung mudah tersamarkan oleh produk lain.
- Modal terbatas, banyak pengrajin belum bisa membeli peralatan modern atau mengakses pembiayaan bank.
- Kurangnya dukungan branding dan digitalisasi, menyebabkan pemasaran masih konvensional dan lokal.
Namun, seperti biasa, warga Jati Agung menjawab tantangan bukan dengan keluhan, tetapi dengan konsistensi.
Harapan: Mengubah Desa Menjadi Destinasi dan Etalase Karya