Di kaki langit bagian selatan Pringsewu, di antara ladang hijau dan jalan berbatu yang seolah enggan dilupakan zaman, berdirilah sebuah desa yang hidup dari api, tanah, dan keringat: Pekon Jati Agung.Â
Tak banyak yang tahu, desa kecil di Kecamatan Ambarawa ini adalah nadi dari pembangunan banyak rumah di Lampung. Dari desa inilah genting-genting merah, batu bata padat, dan Kerpus rumah kokoh lahir. Bukan dari mesin pabrik, tetapi dari tangan-tangan warga yang terampil dan tekun.
Â
Sejarah Pekon: Jejak Langkah dari Tanah Menuju Peta
Pekon Jati Agung menjadi bagian dari Kecamatan Ambarawa yang resmi berdiri pada 11 Juli 2005 melalui Perda Kabupaten Tanggamus Nomor 05 Tahun 2005. Sebelumnya, wilayah ini masih berada dalam struktur administratif Kabupaten Tanggamus.
Namun, perubahan besar datang saat lahirnya Kabupaten Pringsewu berdasarkan Undang-Undang No.48 Tahun 2008. Sejak tanggal 3 April 2009, Pringsewu berdiri sebagai kabupaten tersendiri, dan Ambarawa beserta Jati Agung di dalamnya resmi masuk dalam peta administrasi baru.
Sejak itu, Jati Agung tumbuh dalam orbit baru: desa yang bukan lagi sekadar bagian kecil dari wilayah luas, tapi memiliki ruang untuk bersuara, mengatur, dan mengembangkan diri. Saat ini, Pekon Jati Agung terdiri dari lima dusun, dengan total penduduk sebanyak 3.406 jiwa (1.765 laki-laki dan 1.641 perempuan) menurut data resmi tahun 2024 (sumber: jatiagung-pringsewu.desa.id).
Secara geografis, desa ini hanya berjarak 3,5 km dari pusat kecamatan dan 7,5 km dari ibu kota Kabupaten Pringsewu, membuatnya cukup strategis dalam hal akses dan distribusi produk kerajinan yang menjadi kekuatannya.
Batu Bata dan Genting: Bukan dari Tanah Kami, Tapi dari Tangan Kami
Ada satu hal yang membuat cerita Jati Agung istimewa dibandingkan sentra kerajinan lainnya: tanah liat yang digunakan tidak berasal dari desa ini. Ini bukan kelemahan, justru inilah bukti kekuatan mereka.