Di era digital ini, internet sudah menjadi kebutuhan dasar yang menyentuh hampir semua aspek kehidupan. Fungsinya tidak lagi sebatas media komunikasi atau hiburan, tetapi juga menjadi penopang utama bagi sektor pendidikan, kesehatan, ekonomi, hingga partisipasi masyarakat dalam politik. Melalui internet, siswa bisa belajar secara daring, pelaku usaha kecil dapat memperluas pasar melalui e-commerce, dan masyarakat bisa lebih aktif menyampaikan aspirasi. Dengan kata lain, internet memiliki peran penting dalam meningkatkan kualitas hidup sekaligus daya saing bangsa.
Realitanya, kesenjangan digital di Indonesia masih cukup besar. Akses internet di kota jauh lebih baik dibandingkan di desa-desa tertinggal yang masih minim infrastruktur. Kondisi ini menyebabkan masyarakat desa berisiko semakin terpinggirkan dari arus perkembangan teknologi dan informasi global. Akibatnya, potensi lokal di bidang pendidikan, usaha, maupun layanan sosial sulit berkembang maksimal. Hal ini menunjukkan perlunya kebijakan pemerintah yang serius untuk menghadirkan internet merata, agar semua lapisan masyarakat mendapat kesempatan yang sama untuk maju.
Kebijakan pembangunan internet gratis di desa-desa tertinggal kemudian hadir sebagai jawaban atas tantangan tersebut. Langkah ini bukan hanya bentuk intervensi pemerintah untuk menutup kesenjangan akses, tetapi juga strategi untuk mendorong keadilan sosial dan pemerataan pembangunan. Untuk menilai sejauh mana kebijakan ini layak dan berdampak, pendekatan teori keuangan publik dapat digunakan sebagai kerangka analisis, khususnya melalui konsep public goods, cost-benefit analysis (CBA), redistribusi, dan eksternalitas yang menjelaskan urgensi serta implikasi dari pembangunan internet gratis tersebut.
1. Internet sebagai Public Goods
Dalam teori keuangan publik, barang publik memiliki ciri utama yaitu non-rivalry karena penggunaan oleh seseorang tidak mengurangi kesempatan orang lain untuk menggunakan dan non-excludability karena sulit untuk membatasi siapa saja yang bisa menikmatinya. Akses internet gratis di desa tertinggal dapat digolongkan sebagai quasi-public good. Memang secara teknis akses internet bisa saja dibatasi dengan kata sandi, tetapi ketika pemerintah menyediakannya secara terbuka di ruang publik desa, sifat barang publik tersebut lebih terasa.
Karena karakteristik itu, sektor swasta biasanya enggan membangun layanan internet di daerah tertinggal. Rendahnya daya beli masyarakat membuat potensi keuntungan sangat kecil, sehingga tidak menarik secara komersial. Situasi ini menimbulkan kegagalan pasar (market failure), yang menjadikan intervensi pemerintah sangat dibutuhkan agar masyarakat desa tetap mendapatkan akses internet secara merata.
2. Analisis Biaya-Manfaat (Cost-Benefit Analysis / CBA)
Setiap kebijakan publik pada dasarnya perlu ditinjau dengan pendekatan biaya dan manfaat untuk memastikan bahwa langkah yang diambil benar-benar efisien. Dalam konteks internet gratis di desa tertinggal, biaya yang ditanggung pemerintah tidak kecil.
Pengeluaran mencakup pembangunan infrastruktur jaringan, pemeliharaan, hingga operasional rutin. Selain itu, perlu pelatihan sumber daya manusia lokal agar pengelolaan berkelanjutan.
Dari sisi fiskal, beban ini cukup signifikan, apalagi jika diperluas ke ribuan desa.
Manfaat sosial-ekonomi dari penyediaan internet gratis di desa tertinggal sangat luas dan berjangka panjang. Internet memberi kesempatan bagi siswa mengikuti pembelajaran daring sehingga kesenjangan pendidikan dengan kota dapat diperkecil. Pelaku usaha kecil juga bisa memperluas pasar melalui platform digital, yang membantu meningkatkan pendapatan serta daya saing. Selain itu, masyarakat memperoleh layanan kesehatan digital yang lebih cepat, dan warga desa terdorong lebih aktif berpartisipasi dalam kegiatan sosial-politik.
Jika manfaat tersebut dianalisis dengan pendekatan biaya-manfaat, nilainya jauh melampaui pengeluaran awal. Internet gratis bukan sekadar akses informasi, melainkan investasi jangka panjang yang meningkatkan produktivitas, memperluas peluang kerja, dan memperkuat partisipasi masyarakat. Kebijakan ini dapat dipandang strategis sekaligus efisien karena manfaat kolektifnya melebihi biaya yang dikeluarkan pemerintah.
3. Redistribusi (Redistribution)
Kebijakan internet gratis juga dapat dipandang sebagai instrumen redistribusi. Pemerintah menggunakan sumber daya publik (pajak dan APBN) untuk menyediakan layanan kepada masyarakat desa yang secara finansial tidak mampu membeli layanan internet komersial.
Langkah ini berperan penting dalam memperkecil kesenjangan digital antara desa dan kota, sehingga warga desa memiliki peluang yang lebih setara untuk belajar, meningkatkan produktivitas, serta memperbaiki taraf hidup. Dari sisi keadilan sosial, kebijakan ini sejalan dengan amanat konstitusi yang menekankan pemerataan pembangunan di seluruh wilayah Indonesia.
4. Eksternalitas (Externalities)
Penyediaan internet gratis menimbulkan banyak dampak tambahan di luar manfaat langsung yang dirasakan pengguna. Bagi individu, internet membuka peluang peningkatan keterampilan digital, akses informasi yang lebih luas, serta kesempatan kerja baru. Pada tingkat komunitas, muncul ekosistem usaha berbasis digital dan jaringan sosial yang lebih kuat, sementara pemerintah terbantu dalam menyebarkan informasi publik dengan lebih cepat dan efisien.
Meski demikian, terdapat pula eksternalitas negatif yang perlu diantisipasi. Risiko penyalahgunaan internet, penyebaran hoaks, ketergantungan pada teknologi, hingga potensi kesenjangan baru antarwilayah bisa muncul seiring perluasan akses. Oleh karena itu, kebijakan ini harus dilengkapi dengan langkah pendukung, seperti program literasi digital, pengawasan konten, dan pemerataan infrastruktur, agar manfaat yang dihasilkan lebih optimal dan berkelanjutan.
Kesimpulan
Pembangunan internet gratis di desa-desa tertinggal bukan hanya sekadar penyediaan akses teknologi, tetapi merupakan strategi penting dalam mewujudkan pemerataan pembangunan. Melalui kerangka teori keuangan publik, terlihat jelas bahwa internet gratis memenuhi kriteria barang publik, efisien secara analisis biaya-manfaat, berfungsi sebagai instrumen redistribusi, serta menghasilkan eksternalitas yang signifikan bagi individu, komunitas, dan pemerintah.
Meskipun terdapat tantangan berupa biaya besar, risiko penyalahgunaan, hingga potensi kesenjangan baru, manfaat kolektif yang diciptakan jauh lebih besar dibandingkan pengorbanannya. Dengan dukungan program literasi digital, pengawasan konten, dan pemerataan infrastruktur, kebijakan ini dapat menjadi investasi jangka panjang yang memperkuat daya saing nasional, meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa, dan menegakkan prinsip keadilan sosial sesuai amanat konstitusi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI