Mohon tunggu...
Plum
Plum Mohon Tunggu... -

Politics, Pop Culture and Trending Analysis

Selanjutnya

Tutup

Politik

Persamaan Pendukung Bela Islam dengan Pendukung Trump

3 Maret 2017   21:16 Diperbarui: 6 Maret 2017   06:00 526
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Melihat pendukung Trump di Amerika Serikat seperti becermin kepada pendukung aksi bela Islam yang dilakukan kelompok-kelompok agama di Indonesia yang tahun lalu dan tahun ini melakukan serangkaian aksi terhadap calon gubernur Ahok. Mereka merepresentasikan suara paling konservatif yang terkadang sarat dengan rasisme atau fanatisme terhadap agama. Mereka juga memiliki tingkat ketidakpercayaan yang tinggi serta sangat paranoid terhadap media masa terutama yang mainstream dan pemerintahan. Banyak diantara mereka yang akhirnya membentuk media dan berita tersendiri dengan berbagai judul dan informasi yang kontroversial melalui facebook dan twitter salah satu sosial media terlama yang kini dihuni oleh mayoritas orang tua dan masyarakat yang masih “gaptek” dengan teknologi.

Pendukung Trump dan pendukung “Bela Islam” juga sangat gemar menggunakan posting-posting lebay dengan efek fotoshop yang sangat buruk dan ini bukan masalah opini, tetapi anda bisa lihat sendiri di twitter atau facebook untuk orang-orang yang memposting #MAGA (semboyan pendukung Trump “Make Amerika Great Again") dan juga kelompok pembela Islam. Pendukung fanatik Trump yang sering disebut sebagai Alt Right (kelompok ekstrim konservatif kiri) mirip sekali dengan penukung fanatik bela islam yang dipercik oleh FPI, PKS dan kelompok islam konservatif.  Taktik, media dan cara bicara mereka sangat mirip, yang menjembatani hanyalah masalah bahasa.   

Selain itu masih banyak diantara pendukung Trump dan pendukung bela Islam yang tidak bisa membedakan hal sederhana seperti mana opini dan mana yang fakta. Secara umum banyak diantara mereka kebal dengan statistika, data, ilmu pengetahuan (sains) hal ini di dukung karena mereka tidak percaya dengan media yang menyebarkan data dan juga karena tingkat pendidikan yang masih rendah. Amerika Serikat sudah melakukan rekap pemilih Trump dan benar sudah dugaan ahli bahwa pemilih Trump adalah masyarakat kulit putih yang tinggal di daerah atau kampung, tidak memiliki pendidikan dasar maupun pendidikan tinggi serta yang memiliki tingkat ekonomi yang yang masih rendah.

Walaupun Amerika Serikat merupakan wilayah jajahan negara Eropa yang pada akhirnya menduduki pemerintahan, warga kulit putih merasa mereka-lah pribumi Amerika Serikat dan merasa paling berhak untuk menerima pelayanan pemerintahan. Amerika Serikat merupakan negara imigran yang sering dijuluki sebagai melting pot, namun warga kulit putih yang berada di daerah memiliki rasa ketidak sukaan yang tinggi terhadap masuknya immigran dan juga pengungsi asing yang masuk. 

Masyarakat konservatif Amerika masih banyak menolak imigran Meksiko yang membanjiri lapangan tenaga kerja buruh dan juga pengungsi Timur Tengah yang berusaha keluar dari konflik yang terus berlangsung di negara mereka. Para pendukung Trump merasa imigran Meksiko telah mencuri tenaga kerja yang merupakan hak warga  “asli” Amerika Serikat, yakni pribumi kulit putih. Mereka juga merasa bahwa pengungsi Timur Tengah akan mengancam keamanan karena Ideology islam dianggap berbahaya dan mampu mengembangkan ekstrimisme yang berpotensi untuk menjadi terrorisme.

Prinsipnya pendukung Trump tidak terlalu suka dengan integrasi, pluralisme dan multikulturalisme. President Trump telah memberikan wadah untuk menampung aspirasi ini dan ditunjukkan melalui paying kebijakan American First, karena yang diutamakan dalam konteks ini adalah masyarakat Amerika asli nan pribumi dari kalangan kulit putih konservatif. Payung ini disetiri oleh Steve Bannon yang merupakan pendukung yang menganut  Judeo Kristen Katolik dan supremasi negara barat, sering diejek sebagai “Syariah Kristen-Katolik-Yahudi” oleh oposisinya, karena Bannon benar-benar percaya dalam menginstalasi hukum-hukum yang mendiskriminasikan penduduk yang bukan kulit putih dan juga umat Muslim.  Prinsip ketidaksukaan  terhadap integrasi, pluralisme dan ,multikulturalisme ini juga dipegang oleh kelompok bela Islam dan sebagian besar kelompok Islam konservatif di Indonesia, karena seperti pemegang  teguh Syariah Kristen-Katolik-Yahudi ini, mereka menganggap kaumnyalah yang paling tinggi dan mendehumanisasikan non Agama mereka itu dibenarkan.  

Antagonisme terhadap Islam di  Amerika sangat mencengangkan, karena Bannon, sebagai mantan kepala media conservative benar-benar membormbardir masyarakat Amerika dengan propaganda menakutkan mengenai Islam. Bersama media seperti Fox News dan juga elit Zionist di media, virus ketakutan terhadap umat Islam ini telah menginfeksi penduduk di daerah jumlah penduduk muslimnya kecil atau tidak ada sama sekali. Saking parahnya, berberapa hari yang lalu seorang insinyur India ditembak mati dengan tiga lainnya terluka oleh seorang penduduk yang mencurigai mereka sebagai terroris Islam, hanya saja mereka bukan Muslim sama sekali, namun karena mereka terlihat Muslim nyawa mereka telah diancam. Kasus ini telah divonis sebagai tindakan kriminal berdasarkan rasisme dan kebencian.  Antagonisme terhadap non muslim memang berlangsung dengan frekuensi yang cukup tinggi semenjak pengemboman WTC atau tragedi 9/11, namun kelompok konservatif penganut supremasi kulit putih ini sudah banyak menargetkan penduduk lainnya terutama warga kulit hitam yang berabad-abad ditekan dan juga warga Meksiko.                     

Demografi dan identitas ke daerahan serta rasa kepribumian ini hampir sama dengan kelompok bela Islam. Walaupun banyak yang tidak mengakui, protes terhadap Ahok benar-benar mengungkap rasa antagonism yang tinggi terhadap warga Indonesia keturunan Tionghoa dan juga warga negara non Muslim di Indonesia.  Rasa ketakutan dan kebencian terhadap masyarakat dengan agama dan ras yang berbeda telah lama meradang di Indonesia. 

Seringkali kesenjangan ekonomi dan kemiskinan digunakan sebagai wahana untuk memecah belah masyarakat dengan alasan persatuan agama dan pribumi. Ini terjadi di Amerika juga terutama semenjak krisis ekonomi yang menerpa pada tahun 2006-2007 dan efek buruk dari NAFTA (North America Free Trade Agreement) yang meninggalkan begitu banyak kemiskinan dan kepasrahan pada kaum pribumi kulit putih di Amerika yang tinggal di daerah. Di Indonesia kesenjangan sudah menjadi permasalahan yang cukup lama sehingga banyak diantara masyarakat yang masih banyak tidak mendapatkan manfaat dari perkembangan ekonomi menjadi lelah menunggu upaya pemerintah.

Keadaan ini yang membuat pemerintah dianggap gagal dan masyarakat menjadi tidak percaya lagi terhadap otoritas maupun informasi yang diberikan oleh pemerintah pusat. Keadaan ini juga membuat sistem kepercayaan masyarakat menjadi rapuh dan mereka akan rentan mengikuti suara-suara yang terlihat populis namun sebenarnya berlawanan dengan kepentingan mereka dan bisa merusak persatuan bangsa, seperti pesan-pesan politik yang dibawakan melalui agama ataupun kelompok konservatif. 

Sangat mudah bagi seorang provokator untuk mengarahkan masyarakat pada musuh bersama yang terlihat asing dan berbeda dengan diri mereka terhadap segala permasalahan yang mereka hadapi. Pendukung Trump sering menyalahkan terroris atau orang Mexico terhadap kemiskinan mereka, sementara pendukung bela Islam selalu menyalahkan warga Tionghoa atau non muslim terhadap keadaan mereka. Padahal pihak-pihak yang mereka tunjuk belum tentu merupakan penyebab permasalahan mereka sama sekali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun