Mohon tunggu...
Avanti DM
Avanti DM Mohon Tunggu... Life Learner

maa waddaka robbuka wama qola

Selanjutnya

Tutup

Love

Cinta Ibu Bertaruh Nyawa

8 September 2025   22:42 Diperbarui: 8 September 2025   22:42 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hamil tentu idaman setiap pasangan yang baru menikah. Bagi yang menjalani masa pacaran sebelum menikah akan merasakan perbedaan suasana yang berbalik 360 derajat setelah menikah. Bagi yang tidak menjalani masa pacaran, seiring waktu akan merasakan hal yang sama pula. Kehadiran anak, seakan menjadi pengikat dua jiwa dalam satu atap. 

Proses panjang dilalui demi mendapatkan keturunan. Alhamdulillah aku termasuk yang mudah hamil. Menikah Juli 2002, Mei 2003 si sulung lahir. Tak menunggu lama Desember 2004 si tengah lahir. Sembari menggendong si tengah yang berusia seminggu aku menarik nafas lega sembari bergumam, "Dah cukup deh dua aja. Gak bakalan ngerasain lagi hamil dan melahirkan." Aku melahirkan secara normal. Dan bagi para ibu, tentu paham sekali melahirkan secara normal, seperti menempatkan telur di ujung tanduk. Woow sekali.

Aku merencanakan punya dua anak dengan selisih usia 2 tahun dengan perhitungan pembayaran biaya sekolah jeda setahun. Apabila jarak usia 3 tahun, aku akan membyar sekolah bersamaan, dan ini sungguh berat. Apabila jarak usia 4 tahun, usiaku melebihi 30 tahun. Aku enggan memiliki anak di atas usia 30 tahun. Selain resiko pada kesehatan dan kualitas sel telur, aku kasihan anakku punya ibu berusia lanjut. Manusia berencana Tuhan menentukan adalah idiom yang benar-benar tidak terbantahkan. 

Baru saja masa nifas selesai, dan dalam masa uji coba, ternyata aku kembali hamil anak ketiga. Ooohhh... tiddaaakkk... Si tengah baru berusia 2 bulan bahkan masa cutiku saja belum habis, dan aku hamil. Aku panik, aku konsultasi pada dokter kandungan untuk mengaborsi dengan alasan si tengah masih butuh asi dan perhatian. Dokter menolak. Ayolah dooookk.... Malah beliau berkeinginan untuk mengadopsi jika aku keberatan dan kerepotan mengasuh. "Wenehno aku, ngko tak rumatane, nek njenengan emoh." 

"Halah ah dok, jaitane niku lho deeng mantun kok, wes meh di suwek maleh."

"Hayo sesar ae to nek emoh normal, ning ojo digugurno bu, sak no. Wes tak openane ae. Tenanan iki, ngko tak siapno surat-surate."

Gagal membujuk dokter yang menangani kelahiran dua anakku, atas persetujuan suami, aku beralih mencari dokter ilegal. Sudah membuat janji temu, disaat terakhir aku membatalkan niatku. Akhirnya kupertahankan kehamilan ketigaku dengan dua anak  yang belum berusia tiga tahun. 

Proses kelahiran si bungsu lebih sulit dari kedua kakaknya. HPL adalah seminggu setelah lebaran November 2005, dokter yang menangani masih mudik, sehingga aku beralih ke bidan yang biasa praktek bersama dokter kandungan keluarga. Kontraksi mulai terasa dan semakin dekat jedanya, akan tetapi bukaan stuck di angka 6.  Dua perawat yang menemaniku ngobrol seru mulai dari rekan kerja hingga bluetooth ponsel mereka yang tidak berfungsi. Aku diam mendengarkan sembari menahan rasa sakit kontraksi yang berkurang tidak, bertambah pun tidak. Selama 36 jam tidak mengalami perubahan, kondisiku mulai drop, aku merasakan kantuk berat menyerang. Bidan menyarankan agar aku di bawa ke rumah sakit tipe A untuk di operasi sesar. Suami mulai panik.

Dengan ambulan aku dipindahkan, sepanjang perjalanan, paramedis mencoba membuatku tetap terjaga, padahal aku sangat mengantuk. Suami berteriak teriak memanggil namaku agar aku tetap terjaga, namun rasanya kedua mataku berat sekali untuk dibuka. Aku hanya menjawab, "Kosek tak bobok sedelok ae, ngantuk tenan aku. Njenengan meneng sedelo ae, ojo berisik."

"Ojo bobok, tangi e, melek to melek, dibuka mripate, ayo di buka."

"Gak iso, aku ngantuk pol kok gak entok bobok. Sedelok ae ngko gugah gak po nek aku wes bobok. Ngantuk tenan og."

Paramedis ikut bersuara,"Ibu jangan tidur nggih. Semangat ibu, hampir sampai jangan tidur ya bu."

Aku sudah tidak menggubris perkataan mereka. Keinginanku hanya satu yaitu tidur. Sakit kontraksi sudah tidak terasa, bahkan ketuban pecah pun sudah tak terasa. 

Sesampai di rumah sakit aku segera di dorong memasuki ruang UGD. Segala pertanyaan tak kujawab, aku hanya ingin tidur. Samar kudengar percakapan mereka, "Pasien tidak kooperatif." Hassshh.. karepmulah, aku ngantuk ngerti nggak sih?

Di tengah rasa kantuk yang melanda, kurasakan janin dalam perut bergerak mencari jalan keluar. Otomatis aku mengejan, semua bereriak,"Jangan mengejan Ibu!?!?" Lagi-lagi aku tak perduli. Rasa kantuk dan ritme janin membuatku mengejan sekuat tenaga, dan bayiku lahir begitu brankar memasuki ruang peristi. Bidan sibuk berlarian sembari mengomel,"Wes ncen angel kandanane, wong wes diomongi ojo ngeden, malah ngeden." 

"Sudah lahir bu, bayinya laki-laki." Kuminta si bayi ku dekap dan kususui seketika itu juga. Lima belas menit kemudian, bayi dibersihkan dan aku dibiarkan dengan gunting masih di dalam rahim. Ouuww.. kapan semua ini berakhir ya Allah. Ternyata gunting ditahan menunggu dokter yang mengeluarkan. Aiihhh... begitu dikeluarkan rasanya lega, tinggal rasa pedih proses menjahit luka melahirkan. Sepertinya tanpa bius pun aku tidak merasakan sakitnya di jahit hihihi...Setelah semua darah lendir dibersihkan, proses menjahit selesai, aku tertidur pulas nyaris 3 jam, dan terbangun sudah berada di ruang rawat inap.

Once moment in life time, meski dua kali melahirkan normal, namun merasakan akan berpindah alam, baru ini. Setiap melihat si bungsu, aku selalu bersyukur bahwa aku tidak jadi melakukan aborsi, meski jarak usia dengan kakaknya hanya 11 bulan. Beruntung kakak lahir Desember 2004, sehingga terlihat beda tahun. Coba sama sama 2025 yang satu Januari dan satunya Desember, kakaknya kehilangan legitimasi untuk dipanggil kakak. Hihihi...

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun