Matilah engkau mati, kau akan lahir berkali-kali...
Kalimat sakral yang membuka sebuah mahakarya dari Leila S. Chudori dalam bukunya yang berjudul Laut Bercerita.
Buku dengan 2 bagian dan berisi 16 bab ini menceritakan tentang perjuangan Biru Laut dan rekan-rekannya dalam organisasi Winatra; sebuah organisasi rahasia yang awalnya hanya suka mendiskusikan mengenai buku-buku yang dilarang dibaca pada Masa Orde Baru. Buku karya Pramoedya Ananta Toer misalnya atau W.S Rendra. Sebuah organisasi yang lama-kelamaan tergerak karena tak bisa melihat penindasan pada kaum buruh, petani, dan rakyat kecil lainnya.Â
Berlatar tahun 1995-2000an, buku ini berhasil membuat emosi pembaca dibolak-balik sebagaimana mereka membolak-balik lembarnya. Dibuat kasmaran dengan kisah Biru Laut dan Anjani, dibuat kagum dan berdebar ketika para aktivis turun aksi, atau geram dan sedih saat membaca adegan dimana Biru dan kawan-kawannya disiksa dengan cara tak manusiawi. Leila S Chudori berhasil merangkai katanya, menjelaskan, dan menempatkan pembaca seolah melihat dengan tersebut dengan kepala mereka sendiri.Â
Penulis berhasil membuat tokoh-tokoh dengan karakteristik kuat dan unik, dengan latar belakang yang berbeda tentunya. Sehingga, meskipun Biru Laut menjadi tokoh utama, tokoh lain memiliki daya pikat dan kepentingan yang hampir sama.
Tidak hanya politik, buku ini juga mengangkat isu feminisme, kisah cinta, persaudaraan dan kekeluargaan, juga persahabatan.
Bagian paling menyakitkan sekaligus mengesankan selain dari bagaimana Rakyat Indonesia berperang dengan pemerintahannya untuk merebut "Demokrasi" dan penghilangan para aktivis secara paksa adalah bagaimana orang-orang yang ditinggalkan harus berdamai dengan keadaan setelah kehilangan.
Tokoh ayah Biru Laut dan ibunya misalnya, memaksa hidup dalam gelembung yang mereka ciptakan sendiri. Berlagak seolah Biru masih bersama mereka selama bertahun-tahun lamanya. Memasak makanan kesukaan Biru Laut, menyediakan 4 piring di meja dan berharap anak mereka akan pulang hingga ajal menjemput ayah Biru Laut. Kemudian, bagaimana Asmara harus tersiksa karena kehilangannya dan rasa kehilangan orang tuanya. Bagaimana Anjani kehilangan hidupnya saat dia kehilangan kekasihnya.Â
Uniknya lagi, buku ini tak hanya memberikan sudut pandang Biru, tetapi juga Asmara Jati; adik Biru Laut. Tidak hanya menghadapi pedihnya kehilangan kakak sekaligus sahabat, di saat bersamaan harus tetap tegar melihat kehancuran mental kedua orang tuanya sembari mencari dimana keberadaan kakaknya. Sudut pandang Amara pun memberikan kelanjutan cerita setelah kepergian Biru Laut hingga bagaimana keluarga 13 orang yang dihilangkan paksa bertemu pada titik rela. Hingga akhirnya mereka sepakat untuk bangkit dan berdiri tegak di depan Istana Negara dengan payung hitam selama bertahun-tahun lamanya, mempertanyakan dimana anak dan saudara mereka.