Mohon tunggu...
R.H. Authonul Muther
R.H. Authonul Muther Mohon Tunggu... Penulis - Editor-in-chief Edisi Mori

R.H. Authonul Muther, yang akrab disapa Ririd, lahir 15 Desember 1998. Ia seorang editor in chief di penerbitan Edisi Mori yang fokus pada buku filsafat, sains dan humaniora. Ririd juga adalah seorang editor dan penyunting teks-teks filsafat. Minat kajian yang digeluti adalah filsafat, sastra dan politik; khususnya, ia lebih menekuni filsafat kontemporer. Sesekali melakukan perjalanan dan menuliskannya; sesekali juga menulis sebuah tulisan persembahan.

Selanjutnya

Tutup

Diary

Siklus Putus dan Kutuk Waktu: Kalabendu di Seperempat Abad

17 Mei 2024   21:41 Diperbarui: 17 Mei 2024   21:46 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

- Surat Untuk Muhammad Al-Fayyadl

Pada suatu malam ketika bulan muram dan sinarnya hanya setengah, saya membaca , puisi Raudal Tanjung Banua yang khusus dipersembahkan kepadamu, Gus. Malam itu adalah delapan tahun setelah Raudal menuliskan puisinya yang begitu indah. Dan, punya takdir khusus, ia seolah-olah wujud yang memang harus sampai delapan tahun, tak kurang tak lebih. Dan begitulah, puisi itu tiba tepat waktu, tanpa kurang suatu apa pun, juga dengan suasana yang sangat tepat.

itu terngiang lama berminggu-minggu, dan saya mau tak mau harus menulis sebuah surat. Sebuah surat dari seorang murid (jika pun itu dianggap murid, karena saya merasa tak pantas mendapat gelar agung itu) yang gelisah pada hidup, tapi tak kehilangan jangkar harapan kepada, dan janji dari, Dzat Yang Tak Bermain Dadu.

Saya membaca hanya sekilas pada malam ketika bulan muram dan sinarnya hanya setengah itu. Tapi esok paginya, saya membacanya lagi dengan takdzim dan khidmat, pelan-pelan, dan mata saya tiba-tiba berkaca-kaca ketika sampai di larik: "...demikianlah, waktu yang meremuk / hewan-hewan kecil yang kita punya // bagai diremuk jangkar kapal, segala baja." Ada kebenaran yang menyembul dari puisi itu. Terbayanglah saya menjadi karang yang diremuk jangkar kapal tongkang, lalu berserak menjadi puing-puing kecil yang sekarat dan tak berguna. Di seperempat abad ini, ternyata hidup tak lagi sama.

Napas jadi panjang, Gus, lalu ingatan kembali ke suatu masa ketika engkau tak henti-henti memerjuangkan---dan tentu sampai hari ini--- mereka yang papa. Alkisah, di suatu pagi di sebuah desa di pinggiran kota, juga di hadapan buldozer, engkau sholat menghadap kiblat mengimami puluhan orang-orang yang dipaksa minggat dari tanah dan sejarahnya sendiri. Pagi itu engkau tampak berkaca-kaca, berusaha memeluk seorang Bapak yang menangis dengan tangan menengadah ke atas langit. Mereka, juga engkau, Gus, sama-sama tak rela "...hutan sawah ladang / mata air sungai pematang / binasa sudah habis dikeruk / makhluk-makhluk bertanduk / yang tak ada dalam dongeng dan silsilah!" Pagi itu tampak sekali sebuah militansi, juga keikhlasan.

Gus, sikap seperti itu tak banyak yang bisa bertahan, itulah mengapa ribuan dari mereka yang sadar justru memilih abai---bahkan ada pula yang menjadi bagian para perusak. Mereka abai karena tak ingin terluka, mereka tak ingin kena getah, seperti "Larinya babi berpicing mata / Menghindar luka perburuan."


Ada lagi mereka yang, dulu, turun ke jalan menggigit menebar racun melawan monster jahat kekuasaan, tapi kini bisu dan jinak terkena kutuk waktu. Benar, Gus, kini "Telah jinak lipan dan kelabang"; saat ini pula yang kotor dari air keruh kekuasaan tak lagi banyak yang ingin membersihkannya: telah "Tertidur ikan sapu-sapu."

Izinkan saya berkisah. Barangkali inilah sebab yang membuat mereka tertidur begitu lama mengambil jeda, dan beberapa lainnya sekarat tak kembali lagi.

Gus, hidup yang dulu seolah-olah lurus, kini tegang nyaris putus dikoyak kutuk waktu. Situasi jadi runyam, segala sesuatunya tampak remuk. Pendengaran mulai tumpul, penglihatan mulai tak jernih, pikiran mulai riuh dengan hal-hal, dan membaca dipenuhi rasa was-was. Masa depan juga tampak buram, semuanya jadi serba abu-abu.

Dulu, ketika semua serba cukup dan dicukupi, segala hal yang dicintai bisa gampang dikerjakan. Kini, ketika hidup harus berdiri sendiri, meski berdirinya seperti "Tegaknya bangau sebelah kaki," saya seolah-olah masuk ke dalam lorong waktu dan tiba-tiba sampai di sebuah era kalabendu. Saya tak menyangka, bahwa hidup dari menulis dan membaca begitu terjal dan berliku. Tapi saya masih menulis, juga masih membaca, sesekali menerbitkan tulisan orang lain. Di sini saya tetap bertahan, luka-luka dari tombak yang dilontarkan hidup saya terima tanpa jerit.

Barangkali demikianlah, meski dengan cara dan pengalaman yang berbeda-beda, kutuk waktu memaksa ribuan dari kami jadi abai. Dan, beberapa lainnya memilih jalan yang lebih najis. Pelan-pelan kami seperti "Udang-udang di sebalik batu umpama / bungkuk oleh kutuk waktu / yang sama---demikianlah, waktu yang meremuk / hewan-hewan kecil yang kita punya." Kami, hewan-hewan kecil yang terlanjur sadar itu, telah diremuk kutuk waktu dan dirajam tuntutan hidup. Kami seolah-olah jadi tunduk, dan kenyataannya kami nyaris kalah. Akan tetapi, sungguh malu betul ketika kami, saya persisnya, merasa tersiksa justru disaat mereka yang lebih tak beruntung terkapar meminta pertolongan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun