Kehidupan bersama yang setiap individu memiliki kepentingan, pada akhirnya harus menentukan pemimpin sebagai pengatur keselarasan kehidupan. Pelantikan presiden beberapa waktu lalu, merupakan proses penentuan pemimpin dan hal yang signifakan dalam konsep Imamah yang diasumsikan oleh Al-Mawardi. Abu Hasan Ali bin Muhammad bin Habib bin Al-Mawardi adalah tokoh terkemuka madzah syafi'i pada abad ke-10 dan pejabat tinggi pada masa pemerintahan Abassiyah. Juga seorang ahli fiqh, ahli hadits, dan politikus muslim. Al-Mawardi belajar fiqh dari ulama terkenal di Busro, yaitu Syekh ash-Shaimiri dan Syekh Abu Hamid, keduanya merupakan ahli hukum islam.Â
Dalam bukunya al-Ahkam as-Sultoniyyah, telah tertera banyak hal mengenai politik dan pemerintahan. Imamah/kepala negara adalah khalifah, raja, atau sultan yang bertugas menegakkan agama dan mengatur politik umat islam pengganti Nabi Muhammad SAW. Kenegaraan menurut islam didasari dengan agama. Seperti peradaban islam yang dinilai dapat mengendalikan keinginan dan hawa nafsu manusia. Juga menjadi sendi pokok bagi kesejahteraan dan stabilitas negara. Yang mana keinginan dan hawa nafsu menjadi dasar semua permasalahan. Buku Al-Mawardi juga menjadi bukti kesuksesan peradaban islam khususnya politik. Kehidupan beliau dijalani bersamaan dengan berguncangnya politik penguasa, yang memotivasinya untuk mencari sistem yang baik, cocok dan berhasil untuk dipraktekkan di masanya, kemudian terpilihlah peradaban islam sebagai rujukan.
Al-Mawardi mengkaji politik zaman islam yang menghasilkan beberapa syarat menjadi pemimpin dan cara memilihnya. Dalam islam syarat menjadi pemimpin ada 6 kriteria, yaitu; adil, ilmu pengetahuan yang memadai, sehat mental, sehat fisik, berwawasan luas untuk mengatur kehidupan dan kepentingan umat, serta keberanian dan ketegasan untuk melindungi rakyat dan menumpas musuh. jika salah satu kriteria itu melenceng bahkan hilang, maka akan terjadi pemakzulan atau pemecatan dikarenakan hilangnya kriteria seorang pemimpin.
Cara pemilihan pemimpin menurut al-Mawardi ada 2 pola. Pertama, pemilihan pemimpin secara langsung, seperti transisi dari kepemimpinan Abu Bakar ash-Shiddiq ke Umar bin Khattab. Hal ini dilakukan karena pengalaman kefanatikan suku bangsa arab, yang  berpengaruh pada perjuangan kepentingan suku. Kedua, pemilihan secara musyawarah maupun dewan formatur. Pemilihan secara langsung terjadi setelah meninggalnya rasulullah dan beliau belum memberikan wasiat siapa penggantinya, yang pada akhirnya Abu Bakar terpilih. Untuk pemilihan melalui dewan formatur adalah opsi yang ditawarkan oleh khalifah Umar bin Khattab, karena menurutnya pemilihan yang terjadi secara wasiat mendatangkan banyak permasalahan.
 Â