Mohon tunggu...
Elis Siti Toyibah
Elis Siti Toyibah Mohon Tunggu... -

Mahasiswi S1 Universitas Brawijaya untuk Agribusiness Department. Aktif sebagai anggota di FORUM INDONESIA MUDA dan melingkar di Klub Dongeng FIM. Sering berkesempatan menjadi pendongeng keliling dan memiliki keahlian ventriloquist. Selain itu masih mencoba untuk terus aktif menulis diberbagai jurnal/penerbitan untuk kepentingan sosial.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kebudayaan Versus Pendidikan Antara Pemerataan Pendidikan untuk Masa Depan Indonesia dan Hak-Hak Suku Pedalaman

5 April 2014   04:56 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:03 622
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Studi kasus tulisan ini adalah pada Suku Baduy Dalam

Era global ditandai dengan pertumbuhan dan perkembangan industri, kompetisi dalam semua aspek kehidupan ekonomi, serta perubahan kebutuhan yang cepat didorong oleh kemajuan ilmu dan teknologi. Untuk memenuhi perkembangan ilmu dan teknologi, diperlukan SDM yang kualifikasi tertentu, sehingga pendidikan di Indonesia perlu ditingkatkan menjangkau kualifikasi tersebut. Distribusi pendidikan harus dapat menjangkau hingga ke pelosok negeri dan tidak hanya menjangkau masyarakat kelas ekonomi atas tapi juga masyarakat menengah ke bawah. Untuk menjangkaunya perlu fasilitasi terhadap kelas ekonomi tersebut dan juga menjangkau seluruh wilayah Indonesia. Mereka yang paling memerlukan fasilitasi layanan pendidikan dalam mengantisipasi persaingan global bukan lagi hanya penyandang buta huruf tapi masyarakat miskin di tempat-tempat yang jauh dan tersebar. Untuk itu, agenda penting yang harus menjadi prioritas adalah peningkatan pemerataan pendidikan, terutama bagi kelompok masyarakat miskin yang berjumlah sekitar 38,4 juta atau 17,6 persen dari total penduduk Indonesia (berdasarkan data Badan Pusat Statistik: 2007). Problem mereka, kemiskinan menjadi hambatan utama dalam mendapatkan akses pendidikan.1

Pertanyaan yang muncul dengan adanya pernyataan di atas adalah, bagaimana dengan masyarakat komunitas lokal atau suku pedalaman? Apakah mereka juga berhak untuk mendapatkan pendidikan formal yang modern? Tentu saja ada kendala tersendiri bagi pihak pemerintah maupun swasta yang ingin mengimplementasikan niat baiknya untuk menyentuh masyarakat suku pedalaman ini dengan pendidikan modern. Suku Baduy pedalaman memiliki tradisi untuk tidak mengenyam pendidikan modern yang mereka anggap melanggar adat. Selain dianggap melanggar adat orang Suku Baduy Dalam yg menerima/memberikan pendidikan ala kota (pendidikan modern) dianggap akan kena kualat bahkan tidak hanya orang itu saja melainkan satu suku juga bisa terkena kualat. Masyarakat baduy mempunyai pemilihan sendiri mengenai pendidikan, dan saat pemerintah menyarankan anak-anak Baduy untuk bersekolah, mereka menolak secara tegas karena jika mereka bersekolah akan menggeser budaya mereka.2 Sehingga akhirnya mereka membuat sekolah sesuai dengan adat dan tradisi mereka (sekolah non formal). Bagi mereka menjaga budaya dan lingkungan sebagai warisan leluhur itu lebih penting daripada mengenal dunia luar yang dengan gelombang eksploitasi yang merusak alam. Masyarakat modern memandang suku baduy pedalaman sebagai suku primitif dan terbelakang, namun apabila berbicara soal menjaga keharmonisan alam maka masyarakat modern bisa jadi lebih  primitif karena masyarakat suku baduy lebih memahami soal cara menjaga alam.

Lantas bagaimana nasib segelintir orang yang menjadi bagian Suku Baduy Dalam yang tidak menerima pendidikan seperti orang-orang pada umumnya? Meskipun masyarakat Suku Baduy Dalam tidak menerima pendidikan formal seperti masyarakat modern, mereka tetap dapat memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari dari alam yang mereka jaga kelestariannya. Pada dasarnya masyarakat Suku Baduy tidak mengenal pendidikan formal karena karena orang tua sudah mengajarkan pada anak-anaknya sedari kecil untuk tahu banyak hal tanpa perlu bersekolah. Komunikasi mereka didasarkan pada adat istiadat. Jika adat istiadat mereka mengatakan tidak boleh, maka mereka tidak boleh melakukannya. Sistem pendidikan masyarakat Baduy diajarkan secara turun temurun oleh orang tuanya dan mereka dapat belajar semuanya dari alam sekitar.

Suku Baduy Dalam seperti halnya suku pedalaman lain yang masih sangat terjaga, menilai semuanya bukan dari uang akan tetapi dari pemenuhan kebutuhan secukupnya dari alam yang dimanfaatkan secara arif dan bijak. Apabila pendidikan modern mulai dipaksa untuk diajarkan kepada mereka maka dampaknya mereka tidak akan lagi menjaga adat istiadat yang secara otomatis akan berdampak pula pada kerusakan kelestarian alam. Mungkin pendidikan modern dapat membuat masyarakat Baduy lebih maju secara teknologi, namun pendidikan modern juga berdampak buruk karena akan mengenalkan kepada mereka mengenai gemerlap dunia luar yang penuh dengan unsur kapitalis dan individualis. Padahal apabila ditilik dari segi sejarah pendidikan, sebenarnya pendidikan sekolah di indonesia itu berawal dari taman siswa. Kenapa di sebut taman? Karena siswanya belajar dari alam. Mereka belajar di bawah pohon dan langsung berinteraksi dengan alam. Sampai akhirnya Belanda datang menjajah dan membuat sistem pendidikan di sekolah dengan teori-teori dan didalam ruang yang tersekat. Sistem pendidikan seperti itu jelas membuat siswa jauh dari alam. Berdasar hasil penelitian kemampuan siswa dalam menyerap pelajaran justru lebih baik ketika mereka belajar di alam dan dekat dengan alam.

1http://www.srilestari59.blogspot.com

2Samovar, Larry, Komunikasi Lintas Budaya (Edisi 7), Jakarta: Salemba Humanika, 2010.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun