Mohon tunggu...
Aureliano Buendia
Aureliano Buendia Mohon Tunggu... -

seorang pengelana imajiner

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Bangsa Berbahasa Ganda

5 September 2010   15:12 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:26 308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Sebuah artikel bertajuk “Membumikan Bahasa yang Jernih dan Santun di Kompasiana” dipublikasikan oleh Herman Hasyim di Forum Kompasiana hari Kamis, 02 September 2010. Tulisan ini merupakan tanggapan atas esensi artikel tersebut.

Secara umum artikel tersebut cukup menarik dan, ditinjau dari segi kualitasnya, cukup berbobot. Penulisnya mencoba mengkritisi pemakaian bahasa yang terkesan ‘amburadul’ dan justru membingungkan pembacanya. Beberapa poin yang dirujuk dapat membuat kalimat, yang dalam bahasa sang penulis, menjadi keruh antara lain penggunaan singkatan atau akronim yang tidak lazim, kalimat yang strukturnya amburadul demikian juga paragraf panjang yang berbelit-belit, berputar-putar, dan penggunaan jargon.

Secara personal, saya sepakat dengan penulis mengenai hal ini. Bahasa, sebagai sarana komunikasi, memiliki tujuan untuk menyebarkan informasi seluas-luasnya. Oleh karena itu, penggunaan bahasa seharusnya mampu menjembatani antara penyebar informasi dengan pengakses informasi. Apalagi, poin-poin yang ditelaah oleh si penulis, dalam beberapa aspek, memiliki keserupaan dengan apa yang dianjurkan oleh George Orwell dalam Politics and English Language. Dalam esai ini Orwell menawarkan enam resep menulis dengan baik, yaitu:

-Jangan pernah gunakan metafora, simile, atau ungkapan yang biasa kita lihat pada karya cetak.

-Jangan pernah gunakan kata panjang jika bisa menggunakan kata pendek.

- Jika mungkin menghapus sebuah kata, hilangkanlah.

- Jangan pernah gunakan suara pasif ketika kita bisa gunakan bentuk aktif.

- Jangan pernah gunakan frase bahasa asing, istilah saintifik, atau jargon jika kita bisa menemukan persamaannya dalam bahasa Inggris sehari-hari.

- Langgarlah aturan-aturan ini secepatnya daripada mengatakan sesuatu dengan barbar.

Beberapa poin memiliki kesamaan dengan pikiran bung Herman Hasyim. Akan tetapi, jika Orwell masih membuka kemungkinan untuk mengaborsinya dengan menambahkan poin terakhir, tidak demikian halnya dengan bung Herman Hasyim. Mari kita lihat salah satunya, pernyataan bahwa, ‘demikian juga paragraf panjang yang berbelit-belit, berputar-putar, dapat menyesatkan pembaca’ tidak dibahas panjang lebar oleh penulisnya dan, menurut saya, perlu dikaji lebih lanjut.

Kadang, beberapa orang mengalami kesulitan untuk membaca kalimat panjang (majemuk bertingkat). Akan tetapi, jika pola susunan kalimat tersebut sudah benar, bisa jadi kalimat majemuk tersebut dibutuhkan oleh penulisnya untuk lebih mengarahkan pembacanya agar memahami dengan jelas maksud penulisnya. Sebuah kalimat bermaksud menjelaskan sesuatu, dan untuk mendapatkan sesuatu itu dengan lebih jernih, terkadang kita memang harus memberi batasan-batasan, lewat anak kalimat, sehingga kalimat itu tidak melebar kemana-mana dan langsung mengarah pada tujuan yang ingin di sampaikannya. Dan sebetulnya, menurut saya, hal itu diperlukan untuk mengasah pemahaman pembaca, dengan catatan bahwa susunan kalimat tersebut sudah benar.

Adalah sebuah kebetulan, ketika mencoba menerjemahkan kalimat-kalimat dari Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia, saya sering menemukan kalimat-kalimat panjang (majemuk bertingkat) semacam itu. Dalam proses penerjemahan ini, selain harus bisa mentransfer maksud penulis, sebisa mungkin juga menjaga bentuk bahasa yang digunakannya. Setiap penulis mempunyai karakter khusus yang terlihat dari caranya menguraikan gagasan dalam bentuk tulisan. Gaya menulis Benedict Anderson, misalnya, jelas berbeda dengan Rudolf Mrazek, meskipun mereka sama-sama seorang ahli sejarah yang mengulas tentang Indonesia. Sekedar contoh, di bawah ini susunan kalimat panjang yang, menurut saya, batasannya sangat ketat sehingga dengan begitu kita akan memahami apa yang disebut Ben Anderson sebagai Imagined Communities dengan lebih jernih:

‘Akhirnya, bangsa dibayangkan sebagai sebuah komunitas, sebab tak peduli akan ketidakadilan yang ada dan penghisapan yang mungkin tak terhapuskan dalam setiap bangsa, bangsa itu sendiri selalu dipahami sebagai kesetiakawanan yang masuk mendalam dan melebar-mendatar. Pada akhirnya, selama dua abad terakhir, rasa persaudaraan inilah yang memungkinkan begitu banyak orang, jutaan jumlahnya, bersedia jangankan melenyapkan nyawa orang lain, merenggut nyawa sendiri pun mereka rela demi pembayangan tentang yang terbatas itu.’

Begitulah. Menurut saya, justru penggunaan kalimat yang panjang tersebut dapat digunakan oleh pembaca, yang tidak malas tentu saja, untuk melatih kepekaan bahasanya. Bukankah seorang pembaca itu pada hakekatnya adalah orang yang menginginkan sesuatu (pengetahuan), dan karena itu harus berusaha mencarinya? Jadi yang menjadi persoalan sebetulnya bukan terletak pada panjang atau pendeknya sebuah kalimat, akan tetapi lebih pada struktur susunan kalimatnya.

Jika boleh menambahkan, sebetulnya ada hal krusial yang membuat kalimat menjadi terkesan ‘amburadul’, yaitu penggunaan istilah asing yang sebetulnya sudah ada padanannya dalam Bahasa Indonesia. Bahkan dalam satu kalimat terkadang dijumpai kosakata Bahasa Indonesia yang seakan-akan diperlukan penerjemahannya dalam Bahasa Inggris, dan sebaliknya, padahal makna kosakata tersebut sudah diketahui. Berikut ini beberapa contoh yang saya dapatkan dari Koran Kompas edisi Jumat, 03 September 2010:

-”Pemerintah pusat bersungguh-sungguh mendukung Pemprov DKI dalam membangun angkutan massal cepat atau MRT, infrastruktur jalan tol dan non-tol, jalur lingkar kereta api atau loopline, dan pajak kemacetan elektronik atau electronic road pricing,” kata Menteri Perhubungan Freddy Numberi... Langkah itu mulai dari penerapan electronic road pricing,... pembuatan jalur ganda berganda (double-double track) kereta api, pembangunan jalur rel kereta loopline,... (cuplikan ‘Pusat Dukung DKI Atasi Kemacetan di Jakarta’, hal. 1).

-Sebanyak 18 kamera pemantau (closed-circuit television), papan digital penunjuk jadwal keberangkatan bus, dan kartu pintar (smart card) dipasang pada armada-armada bus. (cuplikan ‘Terminal Purabaya Kian Modern Saja’, hal. 2; kosakata yang serupa terdapat juga pada tajuk ‘CCTV Belum Optimal’ di halaman yang sama).

Contoh di atas hanya cuplikan dari sekian banyak contoh serupa yang bisa kita dapatkan hanya dalam satu edisi.

Kecenderungan ‘berbahasa ganda’[i] seperti ini akhir-akhir ini tampak menggejala. Para pelakunya tersebar luas dari mulai intelektual, jurnalis, politikus, dan bahkan, ironisnya, presiden kita sendiri. Jika dilihat lebih mendalam, hal itu setidaknya mengindikasikan dua hal yaitu mentalitas inferior yang menghantui bangsa Indonesia dan menggejalanya snob di kalangan orang-orang terdidik-terpelajar.

Menurut pengertian, yang saya kutip seluruhnya, yang tertera dalam KBBI, snob adalah (1) orang yang senang meniru gaya hidup atau selera orang lain yang dianggap lebih daripadanya tanpa perasaan malu; (2) orang yang suka menghina dan meremehkan orang lain yang dianggap lebih rendah daripadanya; orang yang merasa dirinya lebih pintar daripada orang lain. Mereka, orang-orang yang terjangkiti snob, tidak akan merasa puas jika tak mampu menunjukkan kelebihannya, apapun bentuknya, di mata masyarakat umum yang menurut mereka posisinya ada di bawahnya. Salah satu jalannya adalah penggunaan bahasa-bahasa yang mereka anggap bisa menunjukkan kelebihan mereka. Dalam ranah politik, kita akan sering mendengar istilah check and balance mechanism, vox populi (terkadang ditambahi istilah voice of the people), dan sebagainya, yang dengan bebas diumbar oleh para politikus, padahal padanan Bahasa Indonesia yang tepat sudah dirumuskan. Tidak semerta-merta penggunaan istilah asing tersebut diharamkan. Sejauh padanan dalam Bahasa Indonesia dirasa belum mampu menjelaskan maknanya secara utuh hal itu masih diperbolehkan. Dalam bidang keilmuan sosiologi/antropologi, misalnya, kita mengenal istilah Gemeinschaft dan/atau Gesellschaft yang memang sangat khas Jerman.

Orang-orang yang terjangkiti snob itu sebetulnya tidak sadar tengah mengalami inferioritas, yang dalam kasus ini ditunjukkan oleh penggunaan bahasa, terhadap bangsa lain, terutama negara-negara berbahasa Inggris. Harus diakui bahwa Bahasa Indonesia merupakan bahasa yang sangat lentur, sehingga dengan mudahnya dapat menyerap kosakata asing untuk dijadikan kosakata Bahasa Indonesia. Pusat Bahasa setidaknya mencatat sebanyak 7.636 kata yang diserap dari sembilan Bahasa non-Melayu.[ii] Akan tetapi, dengan kemudahan yang disediakan oleh Bahasa Indonesia tersebut, tampaknya menjadi sia-sia karena terdesak keinginan untuk mendapatkan legitimasi pemaknaan tingkat global. Dengan kata lain, karena Bahasa Inggris merupakan bahasa yang, entah klaim darimana, dinyatakan sebagai bahasa pengantar dalam hubungan tingkat internasional, sehingga bahkan penggunaan dalam ranah domestiknya pun menjadi dominan. Seseorang terkesan kurang percaya diri jika tidak mencantumkan istilah Bahasa Inggris untuk lebih menegaskan makna kosakata dalam Bahasa Indonesia. Mereka seolah-olah merasa tidak yakin bahwa istilah Bahasa Indonesia yang digunakan itu dapat menjelaskan apa yang ingin disampaikannya. Hal itu menyiratkan bahwa pemakai ‘bahasa ganda’ semacam itu menempatkan posisi Bahasa Indonesia berada di bawah bahasa asing, terutama Bahasa Inggris.

Ironis memang. Sebuah bangsa yang dengan jelas mengakui bahwa bahasa yang mereka gunakan adalah Bahasa Indonesia, akan tetapi dalam praktik kesehariannya, para penggunanya justru berlomba-lomba memakai bahasa asing. Jika seperti ini keadaannya, barangkali dalam beberapa dekade lagi Bahasa Indonesia akan musnah dari nusantara ini, seperti yang telah terjadi pada beberapa bahasa lokal. Semoga saja tidak.

Salam Kompasiana.

[i] Istilah ‘bahasa ganda’ ini saya ciptakan sendiri untuk menunjuk pada pemakaian bahasa yang campur aduk antara Bahasa Indonesia dengan satu atau lebih bahasa asing.

[ii] Bahasa-bahasa non-Melayu itu adalah Bahasa Inggris, Belanda, Arab, Sansekerta, Cina, Portugis, Tamil, Parsi, Hindi.


Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun