Sejujurnya aku masih tidak mengerti bagaimana aku bisa mengalami sesuatu yang sungguh sangat tidak masuk akal. Sudah genap tiga bulan aku menjalani hidup sebagai sosok lain. Iya, entah bagaimana aku bisa mengalami pertukaran jiwa dengan seorang anak tunggal asal Jakarta yang memiliki orang tua begitu kaya raya. Wajah yang saat ini aku tatap di depan cermin adalah wajahnya. Putih, bersih, berhidung mancung, dengan rambut panjang beraroma berry.Â
Nama gadis yang tubuhnya aku diami ialah Salsa, usianya sama denganku. Dia memiliki hobi yang berlawanan denganku. Aku suka dance, dia suka membaca dan menulis. Aku penggemar berat BTS dan Korea Selatan, sedangkan dia lebih tertarik mengenal Indonesia lewat traveling dan mendaki. Berpuluh piala tersusun rapih di dalam lemari kaca yang berada di sudut kamar tidurnya yang sekarang menjadi kamar tidurku. Salsa sempat memenangkan beberapa perlombaan tingkat nasional bahkan hingga internasional. Sungguh pencapaian yang tidak mungkin aku dapatkan.
Aku benar-benar bahagia menjadi Salsa, rasanya ingin terus berada di sini, menikmati kekayaan dan kemudahan. Aku bisa membeli apapun yang aku mau, lagipula menjadi anak orang kaya adalah impianku sejak dulu. Andai bisa memilih, sudah tentu aku memilih terlahir dari orang tua yang kaya raya.
"Neng, ditunggu tuan di bawah." Suara perempuan memanggil ku dari balik pintu. Aku sangat yakin itu mba Jum, asisten rumah tangga keluarga Salsa. Dia sempat menangkap keanehan dalam diri Salsa yang sebenarnya adalah diriku. Beberapa kali dia bertanya tentang perubahan sifat ku yang yang dipandangnya tidak lagi menghargai yang lebih tua.Â
"Iya mba, mandi bentar."Teriakku tanpa sedikitpun beranjak dari depan cermin.Â
"Tuan sedang buru-buru neng, ada penerbangan 1 jam lagi."
"His.... yaudah iya.... aku ke bawah sekarang."
Aku tahu dari mba Jum bahwa Salsa selalu mendahulukan perintah Ayahnya dari apapun, tidak pernah membantah, menunda pekerjaan, bermalas-malasan, bahkan tidak pernah membentak orang yang lebih tua sekalipun dia asisten rumah tangga atau supir Ayahnya.
Aku berjalan menuruni tangga dari lantai dua rumah keluarga Salsa dengan perasaan takjub yang tidak pernah berubah sejak pertama kali mengalami pertukaran jiwa dengannya. dari atas anak tangga, aku dapat melihat Ayah Salsa duduk di depan meja makan dengan piring berisikan roti dan segelas kopi dihadapannya.Â
"Ayah pergi ke Jerman dua minggu, nanti kabari ayah lokasi dan tanggal pasti semi final olimpiade Kimia. Ayah langsung ke sana."Â
Ayah Salsa berbicara sembari mengoleskan selai ke sarapan paginya dan sesekali menoleh ke arahku.Â