Di masa kecil, banyak dari kita yang menuliskan "cita-cita: guru" di buku kenangan. Guru adalah sosok teladan, pemegang kapur yang ditakuti sekaligus dihormati. Namun, seiring waktu berjalan, pesona profesi ini perlahan meredup di mata masyarakat. Ketika remaja mulai memilih jurusan kuliah, pendidikan bukan lagi opsi utama. Bahkan, tak jarang terdengar kalimat, "Nggak ada pilihan lain ya, makanya ambil jurusan pendidikan?"
Realitas sosial hari ini mencerminkan adanya pergeseran cara pandang terhadap profesi guru. Di tengah gempuran era digital, industrialisasi, dan glorifikasi profesi-profesi berlabel "prestise tinggi" seperti dokter, pengacara, atau programmer, profesi guru kerap kali dianggap sebagai pilihan kelas dua, profesi yang konon tak menjanjikan kemewahan, hanya penuh pengabdian. Sementara peran guru tetap krusial dalam mencetak generasi masa depan, ironi muncul ketika penghargaan terhadap mereka justru makin menipis.
Fenomena ini memunculkan beberapa pertanyaan penting: mengapa menjadi guru tidak lagi dianggap sebagai profesi bergengsi? apa yang membentuk pandangan tersebut di masyarakat? apakah sistem sosial kita turut melanggengkan stigma ini? dan bagaimana dampaknya terhadap dunia pendidikan jika profesi guru terus-menerus diremehkan?
Mengapa Jurusan Pendidikan Kerap Dipandang Sebelah Mata?
Tidak sedikit mahasiswa jurusan pendidikan yang merasa canggung saat ditanya, "Kuliah di jurusan apa?" Ketika mereka menjawab "pendidikan," tanggapan yang muncul sering kali terdengar meremehkan: "Oh, jadi nanti jadi guru, ya?" seakan menjadi guru bukanlah sesuatu yang patut dibanggakan.
Fenomena ini mencerminkan realitas sosial kita hari ini: profesi guru tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang prestisius. Padahal, semua profesi hebat yang saat ini dikagumi, dokter, insinyur, pengacara bermula dari sentuhan seorang guru. Ironisnya, guru justru sering kali ditempatkan di barisan belakang dalam struktur sosial.
Antara Gaji dan Gengsi
Salah satu penyebab rendahnya apresiasi terhadap profesi guru adalah persepsi masyarakat yang masih terpaku pada standar material. Profesi dinilai dari seberapa besar penghasilan dan seberapa tinggi status sosial yang menyertainya. Dalam hal ini, guru kerap kali dianggap tidak memenuhi kriteria tersebut.
Tak dapat dimungkiri, kesejahteraan guru di Indonesia, khususnya guru honorer, masih jauh dari kata layak. Banyak dari mereka yang mengabdikan diri dengan gaji yang bahkan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar. Ketika realitas ini diperlihatkan secara terbuka, profesi guru pun kehilangan daya tarik di mata generasi muda.
Tak hanya itu, narasi yang berkembang di masyarakat juga turut memperkuat stigma. Menjadi guru dianggap sebagai pilihan "terpaksa" atau "pelarian" dari jurusan lain yang lebih bergengsi. Jurusan pendidikan sering kali diposisikan sebagai pilihan terakhir ketika peluang lain telah tertutup.