Pernahkah kamu merasa telah melakukan begitu banyak hal dalam satu hari. Rapat dari pagi, tugas selesai, proyek beres, bahkan sempat bantu teman---tapi saat malam tiba, saat semua kesibukan mereda dan kamu berbaring di kasur, yang kamu rasakan justru... hampa? Seolah ada yang kurang, padahal seharusnya kamu merasa bangga dengan semua pencapaian hari itu. Atau pernahkah kamu merasa bersalah ketika hanya ingin istirahat sebentar? Duduk diam tanpa membuka laptop atau menyentuh to-do list, lalu muncul rasa bersalah yang tiba-tiba membisik: "Harusnya kamu ngelakuin sesuatu, jangan buang waktu."Â
Jika iya, mungkin kamu sedang terjebak dalam yang disebut sebagai toxic productivity, sebuah fenomena ketika keinginan untuk menjadi produktif berubah menjadi tekanan yang merusak. Padahal, menjadi produktif sejatinya adalah sesuatu yang baik. Kita merasa hidup lebih berarti ketika melakukan hal-hal yang membangun diri. Kita merasa lebih hidup saat berha sil mencapai target yang telah kita susun. Namun ketika produktivitas berubah menjadi obsesi, ketika setiap detik harus "bermanfaat" atau kamu merasa tak berguna, di situlah batas antara produktif dan toxic mulai kabur.
Budaya hustle yang terus digaungkan di media sosial memperparah keadaan. Kata-kata seperti "work hard, grind harder", "sleep is for the weak", atau "no days off" terdengar menginspirasi, padahal bisa jadi racun yang pelan-pelan menggerogoti tubuh dan jiwa kita. Kita diajak untuk terus bekerja, terus berkarya, tanpa pernah diajari bahwa diam pun bisa bermakna. Belum lagi komparasi sosial yang muncul dari unggahan teman-teman---yang seolah produktif setiap saat---membuat kita merasa tertinggal, merasa kalah. Padahal kita tidak tahu apa yang mereka korbankan demi tampak "berhasil". Â
Yang menyedihkan, banyak dari kita baru menyadari dampaknya setelah tubuh mulai menolak: kelelahan, kehilangan minat, mudah marah, hingga rasa kehilangan arah. Kita begitu sibuk mengejar hasil, sampai lupa bagaimana caranya menikmati proses. Kita terlalu sibuk menjadi "produktif" versi dunia, sampai lupa mendengarkan versi diri sendiri. Lalu, bagaimana seharusnya kita bersikap? Jawabannya bukan berhenti produktif, tapi menyadari untuk apa kita melakukannya. Apakah semua yang kita kejar benar-benar penting, atau hanya karena takut terlihat diam? Apakah kita bekerja demi nilai, validasi, atau benar-benar demi pertumbuhan pribadi? Jangan sampai kita membiarkan kesibukan mencuri makna hidup kita.
Beristirahat bukanlah kemunduran. Melepaskan sejenak bukan berarti menyerah. Justru dari jeda-lah kita bisa melihat kembali peta arah hidup kita. Produktivitas yang sehat bukan tentang seberapa cepat kamu mencapai tujuan, tapi tentang bagaimana kamu bertumbuh selama perjalanan itu berlangsung. Karena pada akhirnya, hidup ini bukan perlombaan. Kamu tidak harus terus berlari. Kadang, duduk sejenak di pinggir jalan, mengamati langit, mendengarkan detak jantungmu sendiri, adalah bentuk produktivitas yang paling hakiki. Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI