Mohon tunggu...
Auliya Ahda Wannura
Auliya Ahda Wannura Mohon Tunggu... Penulis

Seorang Penulis freelance dan solo traveler.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Masyarakat yang Merindukan Solidaritas di Tengah Fragmentasi

1 Oktober 2025   07:24 Diperbarui: 1 Oktober 2025   07:24 5
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar : Ahda

Masyarakat yang Merindukan Solidaritas di Tengah Fragmentasi

Kehidupan sosial kita hari ini terasa penuh paradoks. Di satu sisi, teknologi menyatukan kita lebih rapat dari sebelumnya, segala hal bisa terhubung hanya dalam genggaman. Namun di sisi lain, kehidupan justru terbelah ke dalam ruang-ruang fragmentasi: kelas sosial yang makin lebar, jurang kaya-miskin yang makin dalam, polarisasi politik yang menajam, bahkan perpecahan identitas yang menutup ruang solidaritas.

Masyarakat hidup bersama dalam satu negara, tetapi tidak benar-benar merasa hidup bersama.

Karl Marx, dalam kritiknya terhadap masyarakat industri abad ke-19, pernah mengingatkan bahwa struktur sosial yang dibangun di atas kepemilikan dan modal akan menimbulkan keterasingan (alienasi). Manusia tercerabut dari sesamanya, dari kerjanya, bahkan dari dirinya sendiri.

Meskipun konteksnya adalah Eropa pada abad lampau, resonansi kritik itu masih terasa di sini, di abad ke-21. Kita menyaksikan bagaimana kerja tidak lagi membawa martabat, tetapi sering kali hanya menjadi upaya bertahan hidup. Tenaga dihabiskan, waktu digerus, namun upah nyaris tidak sebanding dengan ongkos hidup.

Sutan Sjahrir, tokoh yang sering dilabeli sebagai intelektual yang terlalu "idealis", justru menangkap keresahan yang sama ketika berbicara tentang demokrasi dan sosialisme. Ia menekankan pentingnya kebebasan politik yang sejati, namun juga melihat bahwa kebebasan itu kosong jika tidak ditopang oleh keadilan sosial.

Demokrasi tanpa solidaritas akan melahirkan apa yang ia sebut sebagai "tirani mayoritas" atau bahkan "tirani pasar". Kritiknya hingga kini masih terasa segar, kita memang hidup dalam formalitas demokrasi, tetapi keputusan besar negeri sering kali lebih dipengaruhi oleh segelintir pemilik modal ketimbang suara rakyat banyak.

Di tengah situasi seperti ini, utopia tentang masyarakat yang adil dan egaliter tetap membandel. Orang mungkin mengejek gagasan itu sebagai mimpi usang, tetapi faktanya mimpi itu tidak pernah mati. Justru karena realitas hari ini semakin timpang, utopia itu semakin dibutuhkan sebagai arah moral.

Tan Malaka, dalam karyanya Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika), menegaskan bahwa pikiran bebas dan kritis adalah senjata utama untuk melawan belenggu. Ia menyadari bahwa rakyat tidak cukup hanya dengan semangat, tetapi butuh kesadaran yang rasional untuk mengubah keadaan.

Hari ini, kesadaran rasional itu terhimpit di tengah derasnya arus informasi yang sering kali memecah-belah. Media sosial, yang seharusnya bisa menjadi ruang diskusi publik, lebih sering berubah menjadi gelanggang pertengkaran identitas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun