Mohon tunggu...
aulia novia ramadhani
aulia novia ramadhani Mohon Tunggu... UIN Raden Mas Said Surakarta

Oi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Aku Jadi Lebih Sayang Lingkungan Karena Orang Ini

7 Agustus 2025   14:06 Diperbarui: 7 Agustus 2025   14:06 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aktivis Iklim Nala Aprilia saat berpartisipasi dalam COP27, Mesir, November 2022. Sumber: postingan Instagram Nala @nlaprrr

Aku bukan orang yang sepeduli itu sama lingkungan. Isu krisis iklim, Jakarta tenggelam, sampah segunung-gunung, menurutku itu sesuatu yang wajar.

Bumi kan sudah tua, manusia jumlahnya berjuta-juta. Teramat maklum jika maha karya di TPA Bantar Gebang, persis gunung yang tidak mampu lagi didaki tek-tok saking tingginya. Kan, memang benar semua itu yang dituai dari kelakuan manusia-manusia. Sampah, menghasilkan sampah lainnya.

Itu aku, dua bulan lalu.

Sekarang, rasa greget dalam diriku saat ada orang sembarangan buang sampah, jadi lebih besar. Lebih menggunung. Perasaan itu jelas disulut dari pembicaraanku dengan Nala Aprilia—mahasiswi sekaligus aktivis lingkungan— akhir April lalu.

Sengaja kucuri waktu dia Senin pagi itu, meski lumayan mendadak saat aku minta kesiapannya untuk ngobrol-ngobrol santai. Kebetulan, dirinya bercerita baru sampai di kota asalnya, Bogor.

Mahasiswi Psikologi itu bisa dibilang rekan kampusku, beberapa kali sering kulihat wajahnya di linimasa Instagram dengan titel “aktivis lingkungan” mentereng di poster-poster kampanye. Barulah aku tahu, bahwa wajah manis khas teteh-teteh Bogor itu tenyata amat peduli dengan kondisi planet tempatnya tinggal.

Nala, panggilan akrabku padanya. Hanya beberapa kali kami bersua, tetapi aku langsung tahu kalau perangainya ramah, bak mbak-mbak Wardah. Sama seperti saat kami melakukan obrolan santai pagi itu, suaranya lembut, bahasanya tertata khas cendekiawan.

Dengan mata yang masih kriyip-kriyip, otakku langsung mengimajinasikan wajah Maudy Ayunda. Menurutku keduanya sama. Sama-sama cantik dan pintar. Bedanya, Nala sudah kenal aku, kalau Maudy sih, belum.

Melalui panggilan telepon pukul 08.00 itu — dan kepalaku yang kadang sliweran Maudy Ayunda — Maudy Ayunda eh maksudku Nala Aprilia, bertutur banyak tentang kariernya selama menjadi aktivis lingkungan.

Kalau kata Eugene Bell Jr, “Aspire to Inspire before you Expire!”, yakni bercita-cita dan menginspirasi sebelum kamu mati. Kutipan itu laiknya journey activism Nala, yang hanya karena satu nama, Greta Thunberg, teteh Bogor itu bercita-cita dan akhirnya terinspirasi terjun menjadi penggiat lingkungan.

Sedikit mengupas tentang tokoh inspiratif itu, Greta Thunberg adalah aktivis lingkungan perempuan yang dengan lantang menyuarakan protesnya tentang kerusakan lingkungan di Swedia. Pendekatan gadis kelahiran 2003 itu unik. Setiap Jumat, Greta ngemper di Riksdag — DPR-nya Swedia — selama tiga minggu saat jam sekolah dengan membawa poster bertuliskan “Skolstrejk för klimatet”, mogok sekolah untuk iklim.

“Aku juga pingin deh... melakukan satu hal! Setidaknya, ya aku ada aksi untuk bumi ini,” ujar Nala, nadanya tenang dan penuh keyakinan.

Lewat sosok Greta-lah, pada 2021 ketika orang-orang masih takut ke luar karena wabah Covid, gadis yang suka makan buah setengah masak itu melakukan kampanye peduli lingkungan pertamanya.

Nala ditemani sepeda merah 200 ribu yang dibelikan Bapak, menyusuri kota Hujan sambil menyuarakan kesadaran lingkungan. Dengan poster kardus bekas bertuliskan “TIDAK ADA PLANET B” yang nangkring di depan stang kendaraan bebas emisi karbon itu, Nala is no longer aspire, she’s inspire.

Nala Aprilia ketika melakukan climate strike minggu pertamanya di Bogor, Indonesia tahun 2021. (Sumber: Instagram @nlaprr)
Nala Aprilia ketika melakukan climate strike minggu pertamanya di Bogor, Indonesia tahun 2021. (Sumber: Instagram @nlaprr)

Anak-anak yang penasaran dan ngobrol dengan Nala saat misi climate strike ke-80 dengan sepeda pada 2024. (Sumber: Instagram @nlaprr)
Anak-anak yang penasaran dan ngobrol dengan Nala saat misi climate strike ke-80 dengan sepeda pada 2024. (Sumber: Instagram @nlaprr)
Kamu pikir ceritanya sudah selesai?


Belum, itu baru bridging.

Dalam perjalanannya melakukan unjuk rasa krisis iklim atau climate strike ini, Nala bilang dia belajar banyak hal.

“Ternyata, gerakan ini berefek baik bagi perkembangan diriku. Dari cycle aku yang gengsi, nerima, ke bangga… itu kan bukan suatu hal yang mudah apalagi kalau aku (cuma) diam aja,”

Perempuan yang memiliki hobi memancing ikan itu juga membeberkan, jika sejak melakukan climate strike, dirinya tidak lagi mengenal yang namanya minder.

Nala menyadari, bahwa ada kepuasan tersendiri yang ia rasakan setiap menyelesaikan misi tersebut. Yang awalnya dibelenggu perasaan awkward karena dilihat orang-orang, kemudian mulai menerima dan biasa terhadap tatapan-tatapan bingung itu, hingga buncahan rasa bangga pada diri karena telah berbuat dan melakukan sesuatu.

“Kepercayaan diri, itu datang dari aksi. Ketika aku melakukan aksi gowes ini, setiap aksi gowes itu membuahkan satu bola kepercayaan diri yang tertanam di dalam diriku. Semakin aku climate strike aku semakin percaya diri,” tuturnya.

Saat mendengar pernyataan Nala ini, kepalaku yang tadi sliweran Maudy Ayunda sontak mengalami galat 404 not found, familiar ‘kan?

Wajah Maudy yang tadinya HD 4K, tiba-tiba bruwet. Tiba-tiba saja digantikan wajah Si Superstar fisika, Isaac Newton. Mirip kartun Inside Out, tanpa sadar ternyata bola-bola ingatanku me-recall hukum III-nya Newton tentang aksi-reaksi. Ilmuwan pengguna tangan kiri itu menyatakan, jika aksi akan menghasilkan reaksi. Makanya, setiap gaya aksi sama besar dengan gaya reaksinya. Aksi baik bereaksi baik, dan sebaliknya.

Hal ini aku logikakan sama dengan aksi positif Nala yang ternyata membawa banyak pelajaran-pelajaran hidup baginya. Aksi baik bereaksi baik, dan sebaliknya. Pokoke ngono, lah.

Berkecimpung di dunia aktivis lingkungan sejak 2021, aku hakul yakin Nala juga nimbrung di banyak kegiatan climate strike. Gadis yang juga suka dodongkal — kue tradisional yang berasal dari tepung beras, gula merah, dan kelapa asli Bogor — itu rupanya sering ikut kampanye digital bahkan gerakan internasional yang diinisiasi Greta, Fridays for Future. Sampai baru-baru ini ketika sudah (agak) MVP, Nala Aprilia Si Aktivis Iklim naik level menjadi moderator sampai edukator. Karena belajar ilmu psikologi, Nala lebih sering membahas bagaimana kesadaran dan perilaku manusia dalam menciptakan lingkungan yang waras.

Makin Nala bercerita, jujur saja aku makin jiper. Gadis kelahiran 2004 itu tampaknya sangat mungkin jadi bahan pembanding tetangga dengan anaknya.

Bisa dibayangkan, kalimat-kalimat seperti,

“Nala tuh masih muda sudah itu,”

atau

“Nala loh rajin anu, kon gaweanne hape-an tok, ”

dan perbandingan anak tetangga versus Nala lainnya.

Of course, it is indeed good things. Seperti yang kubilang tadi, Nala bukan lagi bercita-cita, tetapi dia kemungkinan jadi sebuah cita-cita.

“Biasanya kalau membangun habit baru, itu membutuhkan kurang lebih 3 bulan. Misalkan aku 3 bulan rutin bawa tumbler, itu udah melekat ke karakter kita. Ketika kita nggak bawa tumbler, kita tuh bakal ‘ih ini bukan aku banget, deh.. kok aku bawa botol plastik sih..’ ada rasa-rasa nggak enak nantinya,”

Mendengar ini, pendapatku soal Nala yang ramah bertambah jadi Nala yang punya jiwa pejuang. Dalam perjalanannya menjadi pegiat lingkungan, aku menduga-duga Nala juga banyak mengalami pasang surut semangat.

Namun, aku rasa jika Nala memilih ngalah dengan diam dan tidak berbuat apa-apa, hari ini pastilah bukan dia yang aku wawancara. Hari ini, pasti juga tidak ada nama Nala Aprilia di cerita icikiwir bin asolole ini.

Kembali aku teringat dengan salah satu sajak penyair nyeni Indonesia Chairil Anwar yang bilang, “Sekali berarti, sudah itu mati”.

Sepenggal bait dalam puisi bertajuk Diponegoro itu setidaknya berarti besar bagi diriku. Yang tidak kusangka, Nala ternyata menjadi salah satu perwujudan dari bait itu.

Namun, tidak hanya Nala atau Greta, aku yakin, aku, kamu, dan kita semua juga bisa menjadi berarti seperti yang digaungkan Si Binatang Jalang itu.

Sikap-sikap sekecil menghabiskan makanan, buang sampah pada tempatnya, bawa tas belanja dan botol reusable, sampai sepedaan sambil bawa poster “PUKUL MUNDUR KRISIS IKLIM”. Semuanya berarti bagi diri dan bumi.

Karena maha benarlah yang dibilang Nala bahwa tidak ada planet B, C, atau bahkan planet rasa strawberry matcha, kalau yang ini saja diperlakukan semena-mena.

Rasanya, obrolan ini tidak hanya sekadar penunaian tugas akhir semester, tetapi juga bikin kenyang dahaga dan lapar wawasanku. Sampai pada kopi susuku yang tinggal setengah, obrolan kami pun berakhir dengan membayar 2M, Makasih Mbak, yang kuucapkan dengan nada setulus-tulusnya lagu Tulus.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun