Mohon tunggu...
Aurelius Haseng
Aurelius Haseng Mohon Tunggu... Freelancer - AKU yang Aku tahu

Mencari sesuatu yang Ada sekaligus tidak ada

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Minotaur Labirin Labuan Bajo

8 Januari 2021   08:09 Diperbarui: 8 Januari 2021   18:03 1228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto by JONNY | http://firsttimewanderer.com/

Pada tanah-tanah itu telah dibangun hotel dan resort. Bukan hanya itu, tebing-tebing berbatu, juga padang rumput yang ditumbuhi lontar berdiri papan informasi: land for sale, atau tanah ini milik dengan kuasa hukum. Jika berdiri di atas bukit-bukit ber-view, pada tanah-tanah itu terlihat barisan patok-patok putih membelah bukit.

Lanjut aku beberkan fakta: wajar orang-orang kecil menjual tanah. Itu karena tidak ada panutan yang diberikan oleh pemangku kuasa. Lihat saja sang pemimpin, ia melacur kepada pemodal-pemodal asing dan plat merah Jakarta. 

Tanah PEMDA yang menjadi aset kita bersama dia embat dengan sangat rapi. Anehnya, perkara hukumnya di kejaksaan dan pengadilan tidak menuai hasil. Aset daerah lenyap tanpa bukti-bukti. Desas-desus yang beredar, "jangan dipublikasikan terang-terangan, nanti mengganggu pariwisata." Nah, inilah yang membuat kejahatan itu bersukacita.

"Dodo... Dodo. Hahaha... Kamu benar, tapi tidak berarti kamu menyerahkan? Ada banyak cara perlawanan. Dan jujur saja, jika tidak menjunjung kemanusiaan dalam pembangunan, Labuan Bajo akan dimangsa oleh kemolekannya?

"Apalagi maksudnya?"

"Ingat mitologi Minotaur, banteng bertanduk dengan badan manusia. Kenal juga Jorge Luis Borges. Ya. Ia menulis dalam Ibn Hakkan al Bokhari, Dead in His Labyrinth: manusia pada pangkalnya mati dalam labirinnya sendiri." Dodo mengangguk-angguk. "Jika tidak dikritik dan dipertentangkan kehadiran pariwisata, bisa saja kita warga-warga lokal terjebak dalam labirin pariwisata, yang kesepian serupa mereka yang hidup di tengah labirin padang pasir."

Kami berdua meninggalkan perahu menuju rumah. Di perjalanan kami berbagi kretek, memberi kesegaran bagi adrenalin yang kendur.

Dalam hati bergaung pikiran pesimis: apakah pariwisata super premium Labuan Bajo adalah dermaga yang dipercayakan sebagai gerbang menuju dunia baru? Membawa manusia-manusia lokal dalam suasana ambigu? Terasing? Kami hanya penonton? Semoga tidak ada yang korban dari geliat pariwisata ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun