Sementara Dodo singkat berkomentar, "wellcome to the real life, Ahmad."
"Ya. Benar katamu Dodo." Usman membenarkan.
"Hidup ini bukan seperti yang kita sekolahkan atau kuliahkan. Di sana kita diyakinkan bahwa hidup ini adalah baik adanya, dan bertindaklah dengan baik, sebagaimana moral dan etika. Kenyataanya, seperti kata Thomas Hobbes, "homo homini lupus," manusia adalah serigala bagi sesamanya. Ada insting dalam diri manusia untuk makan sesamanya."
"Maknyus. Super pencerahan, "sapere aude," si Ahmad ini. Si Ahmad sedang berpikir lepas dari cengkraman dogma-dogma pembangunan dengan jargon-jargon kesejahteraan," Usman yang suka usil menepuk tangan, memuji-muji Ahmad.
"Tanpa Ahmad sadari, cara berpikirnya sudah implementasikan perkataan Karl Marx: Bukanlah kondisi manusia yang menentukan kesadaran sosial masyarakat, tetapi sebaliknya, kondisi sosial masyarakatlah yang menentukan kesadaran. Mata Ahmad terbuka oleh krisis pembangunan di daerah kita," balas Dodo tampak seperti akademisi congkak, mengisap rokok dalam-dalam lalu menggulung-gulung semburan asapnya. Di sebelahnya, Usman menepuk bahu berkelakar, "cah cah, sok-sok filsuf."
Sementara itu, malam semakin larut. Suara-suara mesin tak lagi terdengar. Cahaya lampu semakin ceriah diselimuti gelap. Pemuda-pemuda itu terus lanjutkan alur kebersamaan malam itu, hingga ayam berkokok untuk pertama kalinya.
***
Ada beberapa orang yang hendak mengubah kesan buruk itu. Salah satunya Ahmad. Ahmad, sang pemuda asli 100% Kampung Air Labuan Bajo, insan terdidik bergelar sarjana perikanan dari PTN di Makassar. Aku mengenalnya sebagai pemeluk laut yang fanatik. Alasannya: bukannya terhanyut berebutan takhta PNS, ia memilih menelayan, lanjutkan tradisi leluhurnya.
Kesan didaktis yang disimpulkan darinya, sekolah adalah sarana untuk membuka wawasan ilmu, biar lebih kreatif dan inovatif, bukan parasit ke Negara. Atau, lebih rasional dalam berpikir, biar tidak terjebak dalam tipu-tapu yang menggerogoti hari-hari para nelayan seperti dialami ayahnya.
Memang, tradisi melaut kuat dalam dirinya. Beberapa hari setelah dilahirkan, ayah merendam dirinya di laut, sebagai simbol kesatuan dan perjanjian, bahwa siapapun dari sukunya yang lahir adalah milik laut.