Mohon tunggu...
Aurelius Haseng
Aurelius Haseng Mohon Tunggu... Freelancer - AKU yang Aku tahu

Mencari sesuatu yang Ada sekaligus tidak ada

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Minotaur Labirin Labuan Bajo

8 Januari 2021   08:09 Diperbarui: 8 Januari 2021   18:03 1228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto by JONNY | http://firsttimewanderer.com/

Malam di tengah hiruk pikuk kesibukan kota, bernaung di bawa kilauan cahaya lampu-lampu laut dan darat, berkumpul pemuda-pemuda.

"Teman-teman, dengar ulasan ini. Tadi malam aku menulisnya di perahu. Mungkin aneh dan terasa pemberontakan."

Usman cepat menaggap, "bacalah saja Ahmad, kami sudah tahu, kualitas tulisanmu itu pasti kenyal dan gurih." Rekan-rekan lainnya menyambut dengan tawa ringan.

"Tentunya juga bernuansa kiri. Anti pemerintah. Hahaha." Sambung Usman menambah. Sontak semua riang ketawa.

Dibalut dengan teh hangat dan ikan bakar dari kedai pinggir tanggul air, mereka menyimak dengan saksama coretan ringan Ahmad.

"Kami orang-orang lokal yang beranak pinak di Labuan Bajo, tahun demi tahun, sekarang tergusur oleh pendatang-pendatang berduit. Dari darat, rumau-rumah kami dihimpit gedung-gedung lux tinggi. Dari laut, ketinting-ketinting kecil kami tersisi oleh pinisi-pinisi besar.

Tiap hari, lewat laut dan udara, orang dengan kulit dan bahasa berbeda berdatangan dan menghiasi jalanan. Jalan ke sana kemari seraya ekspresikan dingin, kadang jijik lihat pakaian lusuh dan rumah-rumah reot kami. Mungkin sindiri (?) dengan maskerkan hidungnya dari aroma perkampungan beramis ikan.

Halaman yang biasa remaja berlarian merebut bola, diparkir mobil-mobil berplat DK, L dan B. Laut yang biasa berkerumun anak-anak melatih berenang, mulai keruh dan bersampah. Bising dari mesin-mesin menambah usik, mengganti deburan ombak bagi yang dahulu dirindukan nelayan untuk bersandar.

Dulu kami berkelimpahan, yang berbangga dengan gugusan pulau tempat bersarangnya ikan-ikan yang jinak. Ikan-ikan yang berantrian untuk ditangkap. Kini seperti asing, oleh aturan pembatasan laut pancingan. Aturan yang aneh, sebab tak melibatkan kami merumuskannya.

Biar kami tidak terbelakang, kami dipaksakan belajar bahasa Asing. Bahasa orang-orang yang merampas hak-hak kami. Bukannya menjadi seperti mereka, kami malah menjadi pelayan-pelayan yang siap mengistimewakan mereka."

Seorang diantara mereka langsung tepuk tangan. Yang satunya acungkan jempol sambil mengangguk-angguk. Yang lainnya pula berkomentar singkat, "mantap. Mantap."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun