Mohon tunggu...
Aufa_s
Aufa_s Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Aufa Septian adalah seorang mahasiswa Hubungan Internasional yang suka menulis dan punya ambisi besar untuk berdampak kepada orang sekitar dan dunia.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Bagaimana Rapuhnya Nasionalisme dalam Menjaga Kesatuan dan Mencegah Terjadinya Konflik Sosial?

14 April 2021   01:15 Diperbarui: 14 April 2021   01:20 640
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Sebelum jauh menjelaskan tentang Nasionalisme dan bagaimana dampaknya dalam kehidupan modern di masa sekarang, mari pikirkan sejenak tentang beberapa fenomena yang terjadi. Dalam kasus Indonesia minsalnya, bagaimana menjelaskan keprihatinan masyarakat di Sumatera terhadap bencana alam yang terjadi di timur Indonesia seperti gempa Palu atau NTT padahal mereka tidak pernah bertemu dan dibataskan jarak yang sangat jauh sekitar 4000-5000 kilometer. 

Jika jawabannya adalah kemanusian, lantas kenapa tidak terjadi hal yang sama saat bencana alam terjadi Malaysia yang juga memakan korban. Padahal secara geografis, historis, dan budaya masyarakat di Sumatera yang notabene melayu lebih dekat kepada penduduk di Malaysia daripada penduduk di Indonesia timur yang berbeda ras, bahasa, dan berpisah jarak yang sangat jauh. 

Hal yang sama terjadi hampir di seluruh belahan dunia. Fenomena seperti perang saudara, konflik suku, konflik agama, dan lain-lain menunjukan bahwa ada sebuah hal yang sangat ajaib dan misterius yang terkadang bisa menyatukan dan bisa pula memisahkan, dan hal tersebut adalah Nasionalisme.

Singkatnya, Nasionalisme adalah sebuah perasaan yang membuat seseorang merasa bahwa ia adalah bagian dari sebuah bangsa (Inggris : Nations) yang merupakan kumpulan orang yang lebih banyak dan membuatnya seolah-olah memiliki hak dan kewajiban terhadap bangsa tersebut. 

Sebagai contoh, seseorang di Aceh yang merasa adalah bagian dari bangsa Indonesia akan merasa termasuk dalam bagian masyarakat yang tinggal di Jawa, oleh karena itu ia merasa berhak membela saudaranya di Jawa jika terjadi sesuatu dan berkewajiban melakukan sesuatu yang benar untuk membela bangsa nya, bangsa Indonesia. 

Bangsa Indonesia sendiri diartikan sebagai sekelompok orang yang banyak dan majemuk yang terbentang dari Sabang sampai Merauke yang kemudian membentuk negara yang disebut dengan Indonesia. Masyarakat yang tergabung di dalam bangsa ini akan merasa bahwa masyarakat lain adalah bagian dari dirinya walaupun tidak pernah bertemu satu sama lain.

Sejatinya, Nasionalisme ini hanyalah sebuah ilusi yang tidak ada alasan yang kuat untuk membuat seseorang menjadi saudara walaupun tidak pernah bertemu, namun hal ini efektif dalam membentuk persaudaraan. Bangsa Indonesia sendiri terbentuk karena adanya klaim sejarah yang sama, dimana adanya penjajahan Belanda di masa lampau membentuk solidaritas kolektif yang menyatukan semua suku dan masyarakat yang dijajah oleh penjajah yang sama, sehingga semua bekas jajahan Belanda pada saat itu merasa adalah satu kesatuan yang kemudian bergerak melawan Belanda dan mendirikan sebuah negara yang mengikat saat Belanda angkat kaki dari Indonesia. Konsensus persatuan antara suku-suku atau masyarakat yang tidak pernah bertemu ini dimulai dari hal-hal kecil seperti pembentukan serikat dagang, organisasi lintas masyarakat atau suku, sumpah pemuda dan lain-lain.

Sekilas Nasionalisme menunjukan semua sisi positif dalam membangun persatuan dan kesatuan, namun kenyataan banyak juga perpecahan yang terjadi disebabkan oleh Nasionalisme. Masyarakat yang tadinya bersatu karena alasan yang kuat seperti sejarah maupun kebudayaan namun tidak dalam bangsa yang sama dapat menimbulkan perpecahan bahkan peperangan. Sebagai contoh, kita bisa melihat bagaimana relasi antara penduduk Melayu Sumatera dengan Melayu Malaysia, dua masyarakat ini pernah dipimpin oleh raja atau pemerintahan yang sama, memiliki bahasa, kebudayaan, agama, bahkan hubungan darah yang sama. 

Tidak jarang terkadang seseorang di Aceh atau Deli (sebuah daerah di sumatera utara) memiliki saudara atau paman kandung di Malaysia atau Singapura. Namun, ketika Aceh dan Deli memilih bergabung kedalam negara Indonesia dan wilayah di semenanjung malaka juga pecah kedalam negara yang berbeda seperti Malaysia dan Singapura, masyarakat yang dulunya pernah bersatu dan diklaim serumpun pun terpisah perlahan-lahan. Orang-orang di Aceh tidak tahu menahu lagi tentang perkembangan atau kabar di Malaysia pun mereka lebih paham tentang situasi politik dan kebudayaan masyarakat Jawa karena indonesia yang masih sangat Javasentris. 

Bahkan, pada tahun 1960-an meletus perang antara Indonesia dan Malaysia yang terkenal dengan Ganyang Malaysia, dan bagaimana masyarakat Melayu Sumatera juga harus ikut dalam usaha membinasakan saudara lama mereka di Malaysia. Hal ini juga yang terjadi di perang Korea antara Korea Selatan dan Korea Utara, yang notabene nya adalah saudara dengan hubungan darah, harus saling membunuh karena memiliki nasionalisme, bangsa, dan negara yang berbeda.

Nasionalisme di propagandakan lewat media maupun pendidikan. Minsalnya, pada setelah perang dunia pertama, daerah kekuasaan Turki Utsmani yang pernah berada dalam pemerintahan yang sama selama ratusan tahun harus terpecah dalam bangsa-bangsa yang kecil dan menjadi puluhan negara yang berdaulat sendiri setelah di propagandakan oleh dunia barat yang memenangkan perang dunia pertama dimana Turki Utsmani saat itu kalah dan harus rela daerah kekuasaannya yang jauh dari pusat kekuasaan di bagi-bagi oleh Inggris, Perancis, dan negara pemenang perang dunia satu lainnya. 

Kemudian, di masing-masing negara ini di propagandakan lah tentang identitas nasional masing-masing, seperti di Indonesia bagaimana presiden Soekarno selalu mengatakan bahwa Indonesia adalah satu kesatuan yang berdiri sendiri dari Sabang sampai Merauke di setiap pidatonya di awal kemerdekaan. Dan hal itu berlanjut di dunia modern melalui media, pendidikan, dan lain-lain. 

Misalnya klub sepak bola yang bertanding di kancah internasional bisa membangkitkan rasa nasionalisme ketika mereka bertemu dengan bangsa atau negara lain. Suporter sepak bola dari Indonesia siap berkelahi dengan suporter bola dari Malaysia ketika ada sesuatu yang terjadi, hal ini memperjelas jarak antara bangsa yang berbeda namun dilain sisi memperkuat nasionalisme, hal ini terjadi pada final piala AFF 2010.

Namun, dalam perkembangannya Nasionalisme tidak selalu bisa menjadi faktor pemersatu suatu masyarakat yang majemuk. Dalam skala yang lebih kecil, rasa Nasionalisme bahkan seolah-olah tidak ada. Sebagai contoh, jika terjadi perkelahian antar suku atau agama yang terjadi di Kalimantan antara suku Dayak dan Madura, atau di Ambon antara penduduk agama Islam dengan Kristen. 

Masyarakat yang bertikai seolah-olah meninggalkan rasa nasionalisme mereka dan siap membunuh orang yang tadinya diklaim sebangsa, walaupun mereka akan bersatu jika terdapat gangguan dari luar, namun saat tidak terjadi apa-apa maka nasionalisme saja tidak cukup untuk menjadi alasan untuk tidak bertikai.

Dalam konflik yang lebih mikro, rasa Nasionalisme seolah dipertanyakan kembali keuntungan dan kerugiannya. Masyarakat mulai menggunakan rasio dalam menimbang-nimbang nilai Nasionalisme dalam hidup mereka. Dan ketika mereka tidak menemukan jawabannya maka tidak masalah bertikai bahkan dengan sesama bangsa ketika merasa kepentingan mereka terganggu.

Kesimpulan dari tulisan ini bukanlah untuk meruntuhkan persatuan dengan menunjukan sisi kekurangan dari Nasionalisme, melainkan sebagai bahan pertimbangan dan analisa tambahan untuk membahas Nasionalisme dari segi akademik. Penulis menyarankan bahwa dalam situasi pertikaian yang mengaburkan nilai nasionalisme, maka peran serta lembaga negara yang sifatnya lebih mengikat justru harus diperkuat. 

Dalam kondisi normal mungkin konsep nasionalisme bisa memberikan rasa aman dan tentram dalam kehidupan bernegara, karena seseorang bisa melakukan aktifitasnya dengan aman tanpa harus merasa khawatir akan diganggu oleh masyarakat yang berbeda dengannya karena merasa berada dalam bangsa yang sama. 

Namun, dalam kondisi tertentu negara harus menggunakan instrumen yang lebih tegas untuk menjaga kedamaian dan persatuan selain mengandalkan propaganda dari konsep Nasionalisme. Dan terkahir, tulisan ini menekankan bahwa jangan sampai karena fanatik buta dengan Nasionalisme itu menjadi justifikasi untuk merendahkan bahkan melakukan serangan terhadap masyarakat yang dianggap dari bangsa yang lain, seperti yang terjadi dalam perang saudara, perang Indonesia dan Malaysia, Perang Korea, dan pertikaian-pertikaian lainnya. Hendaklah tetap mengedepankan rasa kemanusiaan, karena sejatinya diatas bangsa yang sama kita semua adalah sesama manusia, sehingga prinsip Humanity seharusnya adalah yang utama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun