Mohon tunggu...
Dewi Aufa Salma
Dewi Aufa Salma Mohon Tunggu... Mahasiswa

menyukai hal-hal baru

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Wong Lio Ngerti Opo: Rahasia Tenang Ala Stoikisme

5 Mei 2025   16:39 Diperbarui: 5 Mei 2025   16:39 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Stoic Text Sculpture' Metal Poster by Vars|Displate

Sebuah ungkapan “Wong Lio Ngerti Opo” akhir-akhir ini menarik perhatian banyak orang dan sering dikaitkan dengan aliran filsafat Stoikisme. Lantas, apakah ungkapan tersebut memang selaras dengan prinsip Stoikisme?

Ungkapan “Wong Lio Ngerti Opo” merupakan reaksi perlawanan terhadap komentar orang yang tidak ada habisnya, yang seringkali mengkritik perjalanan hidup kita, baik saat kita sedang di titik terendah maupun sedang meraih kesuksesan.

Stoikisme adalah aliran filsafat Yunani-Romawi kuno yang berusia lebih dari 2.000 tahun, yang mengajarkan tentang bagaimana hidup dengan bijak di tengah-tengah kesulitan hidup. Stoikisme menekankan pentingnya mengendalikan emosi dan pikiran, seperti sedih, marah, cemburu, dan curiga, agar hidup menjadi lebih tenang dan damai. Ketenangan dan kedamaian ini hanya dapat diperoleh dengan memfokuskan diri pada hal-hal yang dapat kita kendalikan dan menerima apa yang tidak dapat kita kendalikan dengan lapang dada.

Salah satu prinsip utama dalam Stoikisme adalah The Dichotomy of Control, atau Dikotomi Kendali, yang membedakan antara hal-hal yang berada di bawah kendali kita dan hal-hal yang tidak berada di bawah kendali kita. seperti yang dikatakan oleh Epictetus: “Some things are up to us, some things are not up to us.” Dengan memahami perbedaan ini, kita dapat fokus pada hal-hal yang dapat kita kendalikan dan menerima hal-hal yang tidak dapat kita kendalikan dengan lebih bijak.

Kita tahu bahwa manusia adalah makhluk sosial, dan seperti yang dikatakan Marcus Aurelius dalam Meditations, “Semua manusia diciptakan untuk satu sama lain.” Namun, manusia juga bisa menjadi homo homini nyebelin - manusia yang menyebalkan bagi manusia lainnya. Kita sering kali menjadi sumber frustrasi bagi orang lain dengan ulah dan perkataan kita, seperti basa-basi yang menyebalkan seperti “Kapan nikah?”, “Kapan punya anak?”, atau “Kok kamu gendutan sekarang”'. Untuk menghadapi pertanyaan-pertanyaan tersebut dan tindakan menyebalkan lainnya, kita dapat menggunakan teknik S-T-A-R.

1. Stop: Berhenti sejenak ketika kita merasakan emosi negatif. Jangan terus larut dalam perasaan tersebut.

2. Think dan Assess: Setelah menghentikan emosi, kita bisa berpikir secara rasional dan menilai situasi. Bertanya kepada diri sendiri, "Apakah emosi saya ini terjadi karena sesuatu yang di dalam kendali saya atau di luar kendali saya?"

3. Respond: Setelah menggunakan nalar, kita merespons dengan prinsip bijak, adil, menahan diri, dan berani. Dengan demikian, kita dapat menghadapi situasi dengan lebih tenang dan terkendali.

Setelah memahami teknik S-T-A-R untuk menghadapi omongan orang, kita juga dapat menerapkan prinsip-prinsip stoikisme dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, ketika sedang mengemudi, tiba-tiba lampu merah menyala dan kita harus berhenti. Kita merasa marah dan frustrasi karena harus menunggu giliran kita. Namun, dengan menerapkan prinsip stoikisme, kita dapat menghadapi situasi seperti ini dengan lebih tenang dan sabar. Dengan fokus pada hal-hal yang dapat dikendalikan dan menerima apa yang tidak dapat dikendalikan, kita dapat mengurangi stres dan kecemasan. Dengan demikian, kita dapat meningkatkan kesadaran diri dan menghadapi situasi dengan lebih efektif.

“Wong Lio Ngerti Opo” dalam filsafat Jawa mencerminkan sikap untuk tidak terlalu mempedulikan pendapat orang lain yang tidak dapat kita kendalikan. Ini relevan dengan prinsip Stoikisme, “Dikotomi Kendali”, yang membedakan antara hal-hal yang dapat dan tidak dapat kita kendalikan. Dengan menerapkan prinsip ini, kita dapat fokus pada hal-hal yang dapat kita kendalikan, mengurangi stres dan kecemasan, serta hidup dengan lebih bijak.

Ungkapan ini merefleksikan pentingnya menerima dan melepaskan diri dari pendapat orang lain, serta fokus pada hal-hal yang dapat kita kendalikan. Dengan demikian, kita dapat meningkatkan kesadaran diri dan menghadapi situasi dengan lebih efektif.(Sumber: Manampiring, Henry. 2018. Filosofi Teras)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun