Terlepas dari hebohnya berita Keraton Agung Sejagat di Purworejo, kini di Bandung muncul sekelompok orang yang menamai mereka sebagai Sunda Empire dan mengklaim anggotanya berasal dari 54 negara.Â
Pasalnya, akun YouTube bernama Alliance Press International mengunggah sebuah video berupa wawancara dengan salah satu petinggi di kelompok itu bernama HRH Rangga.Â
Video sendiri diunggah pada 6 Juli 2019. Dalam video itu, pria berseragam dengan topi flat cap biru muda itu bercerita soal Sunda Empire-Earth Empire. Menurutnya, Sunda Empire-Earth Empire itu merupakan sebuah kekaisaran matahari, kekaisaran bumi.
Kutipan dari sekelompok yang viral itu mengatakan bahwa "Dalam menyambut Indonesia baru yg lebih makmur dan sejahtera, dgn system pemerintahan dunia yg dikendalikan dari koordinat 0.0 di Bandung sebagai Mercusuar Dunia. Masa pemerintahan Dunia yg sekarang akan segera berakhir sampai dgn tgl 15 Agustus 2020. Mari kita persiapkan diri kita utk menyongsong kehidupan yg lebih baik dan sejahtera. Agar kita tdk menjadi budak di negara sendiri dan hidup hanya utk membayar tagihan yg terus naik dan biaya hidup yg terus melambung tinggi apalagi biaya pendidikan anak yg tdk gratis, setelah itu kita tua dan mati, terus pikniknya kapan?".
Kalaulah para pengikut Keraton Agung Sejagat diminta setor uang dan dijanjikan jabatan. Ada yang menyetor Rp 3 juta hingga Rp 110 juta demi mendapat jabatan yang dijanjikan oleh sang 'raja' dan 'ratu' keraton itu. Apakah modus Sunda Empire-Earth Empire sama?
Seperti diketahui untuk kasus Keraton Agung Sejagat, polisi telah menangkap 'Raja' Toto Santoso (42) dan 'Permaisuri' Fanni Amidania (41).Â
Keduanya telah ditetapkan sebagai tersangka dan dikenai pasal tentang Penipuan dan Perbuatan Onar dan bisa jadi modus kasus empire earth empire juga sama, yakni melukan penipian atau ada maksud terselubung dari pengakuannya tersebut.
Menurut ahli Sosiolog Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta Drajat Tri Kartono mengatakan, ada dua kemungkinan fenomena tersebut bisa muncul. Pertama, adanya rasa kekecewaan terhadap negara dan pemerintahan yang tidak mampu memberikan ketenangan.
"Ada kemungkinan juga karena kekecewaan terhadap pemerintah Indonesia yang bertahun
tahun isinya kok berantem terus, seolah-olah negara tidak bisa membawa kedamaian ketenteraman dan keadilan," kata Drajat kepada Kompas.com, Selasa (14/1/2020).
Kedua adalah adanya kepercayaan kepada nilai-nilai fatalistik tentang masa lalu yang masih kuat di masyarakat. "Karena kepercayaan kepada sistem dan nilai-nilai fatalistik tentang itu yang masih kuat di masyarakat.Â
Makanya ada orang yang mendeklarasikan itu," paparnya. Menurutnya, kepercayaan atau keyakinan tentang bangsa Jawa yang besar ini sudah ada dari dulu sampai sekarang.
Terlepas dari maksud yang sebenarnya, ia tetap harus diproses dalam jalur hukum. Karenanya jika hal semacam ini dibiarkan maka akan terus terjadi hal yang serupa, untuk itu perlu adanya pengawasan serta pengontrolan aparat terhadap organisasi-organisasi yang akan memecah belah bangsa ini.