Mohon tunggu...
Aufa AzizahPutri
Aufa AzizahPutri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa yang tertarik dalam bidang Hukum, Politik, Ekonomi, dan Sosial

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Dilematik Dugaan Malpraktik: Siapakah Pihak yang Bertanggung Jawab?

6 Juni 2022   16:59 Diperbarui: 6 Juni 2022   18:01 970
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Tetes Mata (Dokpri)

Jagat media massa sempat digemparkan dengan munculnya berita terkait kasus seorang anak yang mendapatkan kesalahan tindakan medis usai menjalani serangkaian pengobatan pada sebuah Puskesmas Ulak Karang di kota Padang, Sumatera Barat. 

Kejadian ini bermula ketika seorang anak inisial AK berusia sekitar 12 tahun merasakan keluhan pada mata bagian kirinya. Anak tersebut bersama dengan orang tuanya kemudian memeriksa mata tersebut kepada tenaga kesehatan di Puskesmas. 

Namun, akibat tak terduga terjadi selepas kesalahan pemberian obat kepada pasien. Obat tetes telinga yang digunakan pada mata pasien menyebabkan gatal dan infeksi.

Korban kemudian melakukan pemeriksaan ke berbagai Rumah Sakit (RS). Hasil menunjukkan bahwa korban menderita penyakit pada kornea mata akibat infeksi, cedera, atau paparan zat iritatif. Kondisi AK yang tidak kunjung membaik membuatnya harus mendapat rujukan ke RS lain untuk peninjauan lebih lanjut. 

Dalam proses rujukan tersebut pengobatan ditanggung oleh Puskesmas. Akan tetapi, dugaan menyatakan bahwa informasi perkembangan dan diagnosa kesehatan mata AK sebagai korban tidak dijelaskan secara transparan.

Selain itu, permasalahan lain yang muncul adalah pihak Puskesmas tidak ingin memberikan pertanggungjawaban secara penuh kepada korban. Akibat kejadian ini, korban dinyatakan kesulitan beraktivitas karena mengalami gangguan mata seperti pandangan yang buram serta panas di area sekitar mata. Hal ini membuat pihak keluarga merasa tidak terima dan menganggapnya sebagai tindakan malpraktik.  Lantas apa yang dimaksud dengan malpraktik?


Malpraktik merupakan praktik kedokteran yang dilakukan secara salah atau tidak tepat, serta menyalahi undang-undang dan kode etik kedokteran, dan dari kesalahan tersebut dapat terjadi hal yang buruk terhadap pasien. Hasil yang buruk itu tergantung dari prosedur atau bagaimana tindakan medis dilakukan (Notoatmodjo, 2010).

Kasus tersebut masuk ke dalam malpraktik karena telah memenuhi unsur-unsur malpraktik. 

Pertama, adanya kelalaian dilihat dari kesalahan dalam memberikan obat tetes telinga untuk mata pasien. 

Kedua, kasus tersebut memenuhi unsur dilakukannya oleh tenaga kesehatan yaitu pemberi layanan kesehatan puskesmas. 

Ketiga, unsur standar pelayanan medik tidak terpenuhi  karena tidak ada transparansi informasi perkembangan dan diagnosa pasien oleh pihak puskesmas. 

Terakhir, pasien mengalami kerugian berupa cacat mata sehingga seluruh unsur malpraktik telah terpenuhi.

Adapun kasus tersebut tergolong ke dalam Malpraktik Etik dan Malpraktik Pidana, mengapa demikian? Malpraktik Etik terjadi karena tenaga kesehatan telah melanggar seperangkat standar etis, berupa penolakan pemberian informasi dan diagnosa pasien. 

Selanjutnya, disebut Malpraktik Pidana karena terjadi kecerobohan yang mengakibatkan gangguan penglihatan pada pasien (Isfandyarie, 2005). Setelah ditinjau, ditemukan beberapa permasalahan. Maka dari itu, diperlukan analisis lebih lanjut melalui perspektif hukum.

Melihat kembali kasus sebelumnya, pihak-pihak yang dapat diduga terlibat diantaranya adalah apoteker, dokter, dan Puskesmas. Pemberian obat berdasarkan resep dokter kepada pasien merupakan tugas apoteker yang dalam hal ini dikategorikan sebagai tenaga kesehatan. 

Dalam kasus yang terjadi, apoteker diduga salah memberi obat tetes mata yang menyebabkan kecacatan pada mata pasien. Apabila kesalahan pemberian obat adalah murni kelalaian apoteker, maka dapat dikenakan sanksi pidana maksimal tiga tahun sebagaimana tercantum dalam Pasal 84 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan).

Kendati demikian, kesalahan pemberian obat dapat pula bertitik tolak pada dokter mengingat hubungannya dengan apoteker adalah pemberi kuasa. Dokter merupakan pihak yang berwenang dalam memberikan medical treatment, termasuk menuliskan resep obat pasien. 

Apabila dokter melakukan kesalahan dalam menulis resep dan apoteker lalai dalam memberikan obat ke pasien, maka jeratan pidana tidak hanya ditujukan pada apoteker, tetapi juga dokter. Kesalahan dapat dipertanggungjawabkan oleh dokter secara pribadi apabila apoteker telah menjalankan tugasnya sesuai dengan standar pelayanan kefarmasian.

Sejatinya, dalam menentukan siapa yang bertanggung jawab terhadap kesalahan pemberian obat ini sangat diperlukan transparansi pihak pelayanan kesehatan. 

Sayangnya, dalam kasus tersebut pihak Puskesmas menolak memberikan informasi. Padahal, transparansi termasuk ke dalam ruang lingkup kinerja Puskesmas. 

Apabila mengacu pada Pasal 8 UU Kesehatan pun, pasien berhak menerima informasi tindakan serta pengobatan yang telah atau akan diterima dari tenaga kesehatan kepadanya. 

Tak hanya itu, tindakan Puskesmas yang enggan bertanggung jawab atas kesalahan pemberian obat pun melanggar prinsip penyelenggaraan pelayanan kesehatan sebagaimana tercantum pada Pasal 54.

Apabila mengacu pada Pasal 29 huruf l Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (UU RS), Puskesmas memiliki kewajiban untuk memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur. Tindakan Puskesmas yang menolak transparansi dokumen kepada pasien telah melanggar kewajibannya. 

Terhadap pelanggaran ini, Puskesmas dapat dikenakan sanksi administratif berupa teguran lisan, teguran tertulis, atau denda dan pencabutan izin sebagaimana tercantum dalam Pasal 29 ayat (2). Pasien dalam hal ini berhak mengetahui, apakah kesalahan tersebut ada pada resep obat dokter atau tidak karena akan berimplikasi pada subjek yang dapat dimintakan pertanggungjawaban. 

Secara umum, terdapat beberapa langkah hukum yang dapat ditempuh oleh korban demi mendapat pertanggungjawaban. Merujuk pada Pasal 66 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (UU Praktik Kedokteran), tindakan dokter yang sekiranya merugikan dapat dilaporkan kepada Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). Dalam hal ini, laporan tersebut tidak akan mencabut hak korban untuk kembali menuntut pidana atau menggugat perdata di pengadilan.

Gugatan perdata dapat diajukan kepada Pengadilan Negeri setempat berdasarkan Pasal 1365 dan 1367 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer). Apabila tindakan malpraktik telah memenuhi unsur delik pidana, korban dapat mengajukan laporan berdasarkan Pasal 359 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Pasal 190 UU Kesehatan. 

Adapun dalam hal terjadi kelalaian dokter/tenaga kesehatan layaknya contoh kasus di atas, kelalaian tersebut menurut Pasal 29 UU Kesehatan wajib terlebih dahulu diselesaikan melalui jalur mediasi.

Sejatinya, kasus AK merupakan salah satu dari sekian banyak kasus malpraktik yang terjadi karena seluruh unsurnya telah terpenuhi. Pada dasarnya, pihak penyelenggara pelayanan kesehatan memiliki peran penting dalam menyelesaikan kasus-kasus malpraktik.

Hal tersebut berkaitan dengan tanggung jawabnya dalam memberikan transparansi informasi sebagai bentuk informed consent kepada pasien. Dengan adanya kejelasan informasi, pihak yang dapat dimintakan pertanggungjawaban secara etik dan/atau hukum akan lebih jelas.


Artikel ini ditulis oleh:

Amalia Putri

Aufa Azizah Putri

Berlian Zahra Arwaa

Feymi Angelina

Lily Berliana Zahirah

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun