Mohon tunggu...
atria sartika
atria sartika Mohon Tunggu... -

suka menulis tapi terkadang ketika berada di depan komputer jadi bingun ingin menulis apa.. (^_^)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[PDKT] Kutinggalkan Senja

5 April 2015   03:49 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:31 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Atria Sartika. No. 85

Aku tidak pernah menyangka bahwa akan ada masa aku membenci senja. Sejak 7 tahun lalu, saat masih berseragam putih abu-abu, aku selalu dibuat terpesona oleh kilau jingganya. Matahari yang sedang mengucap selamat tinggal pada langit selalu menyajikan sihir tak terpatahkan.

Karena senja, aku pun melakukan pengejaran. Mendaki gunung hingga puncak berharap bisa menikmati mentari pagi agar pesona senja tidak lagi membiusku. Namun tetap saja, senja selalu bisa memerangkapku.

Demi senja aku berjuang mengumpulkan setiap lembar rupiah agar bisa meminang sebuah kamera canggih yang ku yakini bisa mengabadikan senja seperti harapku. Sayangnya, senja selalu bak candu tanpa jalan keluar. Tidak pernah cukup. Lagi dan lagi. Aku selalu merasa akan ada senja yang lebih indah esok hari.

Namun kini, untuk pertama kalinya aku tak lagi menghiraukan senja. Sengaja kujejak anjungan padat ini demi menatap lembayung mencium lautan. Menenggelamkan diri perlahan namun tanpa permisi. Hari ini awan sedang tidak ingin menyapa mentari. Hingga hari itu jingga bulat sempurna.

Sayangnya, tidak ada semangat dalam diriku untuk menakan shutter kamera. Kalimat itu kembali terngiang.

“Kita harus berpisah, Fahmi. Lepaskan aku. Aku tidak ingin membebanimu lebih jauh,” kalimat perpisahan itu disampaikan Putri sambil menatapku. Linang air matanya membanjiri pipi.

Aku berusaha mencegah keputusannya. Selalu ada jalan keluar pikirku. “Apa tidak ada hal lain yang bisa kita usahakan?” tanyaku pada Putri. Tidak sanggup kulepaskan tangannya. Sebab aku tahu, jika kali ini aku melepaskannya. Dia tidak mungkin kembali.

“Tidak ada jalan keluar. Kecuali kamu bisa mengumpulkan 70 juta dalam semalam,” bisik Putri lirih. Setelah itu, ia meninggalkanku tenggelam di sudut kafe di bilangan jalan Pettarani itu. Tempat kami biasa bertemu setelah menyelesaikan tumpukan pekerjaan.

Setelah Putri berlalu, aku tahu aku butuh ketenangan. Maka senja ku jadikan pilihan. Merasa buntu, tanpa ide tentang tempat yang tepat untuk menyapa jingga. Ku pacu motor menuju anjungan Pantai Losari.

***

Hari ini, aku kembali berdiri memandang senja. Ditemani genggaman tangan gadisku. Putri. Menikmati hari terakhir cuti kami setelah melangsungkan pernikahan. Aku ingin kembali menyapa senja yang sempat ku abaikan selama 5 bulan ini. Terlalu sibuk dan tertekan mengejar cinta sejati yang tidak mampu kulepaskan.

“Terima kasih karena tidak pernah menyerah, sayang. Ku sayang ki,” bisik Putri sekali lagi. Kalimat ini puluhan kali dibisikkan Putri padaku.

Saat mengetahui bahwa untuk meminang Putri aku harus menyediakan uang sebesar 50 juta demi sebuah adat yang mengikat ia dan keluarganya, aku merasa ada pukulan telak menghujamku.

Bagaimana mungkin aku memiliki uang sebanyak itu? Aku masih harus membiayai ibu dan adik-adikku di Garut. Penempatanku di Makassar karena bekerja di bank swasta kuterima karena gaji yang menjanjikan yang bisa kupakai membiayai keluarga. Penugasan itu juga yang membawaku mengenal Putri.

Kebersamaan kami selama setahun lebih ternyata membuatku yakin bahwa Putri, apoteker yang ku kenal di apotik dekat kantor, bisa menjadi ibu yang hebat untuk anak-anakku. Sayangnya aku tidak pernah menduga bahwa untuk memperistri seorang perempuan Makassar, aku harus mampu memenuhi permintaan uang panai yang ditetapkan keluarganya.

Dari mana aku bisa mendapatkan 70 juta dalam hitungan hari?

Ditambah lagi dengan datangnya kabar bahwa ada seorang laki-laki kaya dan bergelar bangsawan Makassar yang siap melamar Putri. Maka semakin pupuslah harapan kami.

Namun, sore itu, selepas menatap senja di Pantai Losari dan menyadari arti penting Putri. Aku pun memberanikan menemui Tetta. Menyampaikan agar aku diberi waktu 3 bulan mengumpulkan sejumlah uang yang ditetapkan. Ini kulakukan tanpa sepengetahuan Putri. Sejak itu aku tidak pernah menghubungi Putri sekalipun. Sebab pikirku, aku tidak perlu memberi Putri harapan. Jika aku gagal memenuhi 3 bulan itu, Putri akan semakin terluka karena harapan yang terus dipupuk.

Ternyata Tuhan, tidak menyia-nyiakan do’a dan setiap tetes keringat hamba-Nya. Selama 3 bulan itu, ku cari cara mendapatkan uang dengan berbagai cara. Mengirit uang hidup sebisa mungkin. Mengikuti lomba fotografi, jurnalistik, dan kompetisi menulis. Menekuni kembali hobi semasa kuliah dulu. Menjadi citizen jurnalism. Mengirim berbagai artikel ke media Dan 3 bulan berlalu. Uangku masih kurang 5 juta. Akhirnya kugadaikan kamera dan motorku untuk memenuhi 70 juta dalam 3 bulan itu.

Senja, tahukah kau? Putri layak untuk setiap perasan keringat yang kuteteskan. Ia layak untuk perpisahan yang kulakukan padamu. Sebab hanya dia perempuan yang mampu mendampingiku dari nol kembali. Ia rela hidup di rumah kontrakan kecil demi mengisi kembali tabunganku. Dan ia melakukannya tanpa mengeluh.

Mungkin butuh hitungan tahun hingga aku kembali mengabadikan kemilaumu. Namun hingga saat itu, kerinduanku padamu akan diisi oleh gelak tawa dan celoteh riang bocah cilik yang aku dan Putri besarkan dengan penuh cinta.

NB : Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community

Silahkan bergabung di group FB Fiksiana Community

Panggilan Bapak dalam bahasa Makassar

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun