Mohon tunggu...
Atika Sari
Atika Sari Mohon Tunggu... Lainnya - ~Atika~

خير الناس أنفعهم للناس

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Upaya Mengatasi Radikalisme dan Terorisme Atas Nama Agama melalui Moderasi Beragama

7 Juli 2020   03:12 Diperbarui: 7 Juli 2020   03:11 686
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lahirnya golongan Islam fanatik dan golongan Islam yang moderat karena beragamnya interpretasi ayat-ayat al-Qur'an tentang jihad fii sabilillah. Pada kalangan yang fanatik, jihad hanya dimaknai secara tekstual, yaitu perang yang sesungguhnya dengan jiwa raga, harta benda sebagai ibadah tertinggi dengan jaminan surga. Berbeda dengan kalangan moderat yang memaknai jihad dengan kontekstual, yaitu sebagai usaha sungguh-sungguh dalam mengekang hawa nafsu manusiawi agar tidak melakukan hal-hal yang dilarang agama, jihad juga dimaknai sebagai berjuang dalam mencari nafkah untuk keluarga, menuntut ilmu, dan makna lainnya. Dari pemaknaan jihad yang tekstual itulah yang melahirkan paham dan tindakan yang radikal di kalangan masyarakat Islam begitupun di kalangan pelajar.


Radikalisme adalah suatu perubahan sosial dengan jalan kekerasan, meyakinkan dengan satu tujuan yang dianggap benar tapi dengan menggunakan cara yang salah. Radikalisme dalam artian bahasa berarti paham atau aliran yang mengingikan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis. Namun, dalam artian lain, esensi radikalisme adalah konsep sikap jiwa dalam mengusung perubahan.


Terjadinya aksi-aksi kekerasan dan terorisme di dunia dan di Indonesia khususnya sebagai hasil ekspresi pemahaman fundamentalisme Islam yang senantiasa dikaitkan dengan al-Qur'an. Salah satu ayat al-Qur'an yang diinterprestasi secara radikal oleh golongan tertentu dalam Islam, sehingga melahirkan tindak kekerasan dan radikalisme adalah Q.S At-taubah ayat 29:


قَٰتِلُوا۟ ٱلَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ وَلَا بِٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ وَلَا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥ وَلَا يَدِينُونَ دِينَ ٱلْحَقِّ مِنَ ٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْكِتَٰبَ حَتَّىٰ يُعْطُوا۟ ٱلْجِزْيَةَ عَن يَدٍ وَهُمْ صَٰغِرُونَ

Artinya: "Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari Kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk".

Dalam tafsir al-Maraghi diceritakan bahwa ayat ini adalah ayat yang pertama kali turun berkenaan dengan perang terhadap ahli kitab (musyrik), karena ada sekelompok nasrani yang khawatir dengan ajaran Muhammad lalu mereka mengumpulkan pasukan dari suku Arab yang beragama Kristen dan bergabung dengan kekuasaan Romawi untuk menyerang kaum Muslimin, sehingga kaum Muslimin merasa cemas terlebih setelah mereka mendengar bahwa pasukan sudah sampai di dekat Yordania. Kekecewaan kaum Muslimin tersebut dijawab oleh Allah dengan menurunkan ayat tersebut. Jadi perlu ditegaskan disini bahwa al-Qur'an merupakan kitab universal, maka ayat-ayatnya harus dipahami secara holistic dan komprehensif dan tidak diambil secara sepotong-sepotong.

Haedar Nashir (Ketua Umum PP Muhammadiyah) berujar bahwa pentingnya nilai moderasi dalam bergama merupakan pangkal menumbuhkan dan mengeksplorasi ajaran agama yang damai dan teduh. Moderasi agama adalah jalan tengah yang mengedapankan nilai keadilan, di mana bergama atau berprilaku sesuai dengan porsi yang telah ada. Tidak ada intrik untuk melebihkan atau mengurangi sebuah ajaran sebagaimana yang banyak terjadi di era saat ini. 

Dengan moderasi agama, kita akan menjalankan agama sesuai dengan apa yang telah dibawa oleh Nabi Muhammadid kepada kita. KH. Mustafa Bisri menganalogikan bahwa moderasi agama ibarat perintah makan dan minum tanpa harus berlebih-lebihan (Al-A'raf ayat 31):


يٰبَنِيْٓ اٰدَمَ خُذُوْا زِيْنَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَّكُلُوْا وَاشْرَبُوْا وَلَا تُسْرِفُوْا ۚ اِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِيْنَ

Artinya: Wahai anak cucu Adam! Pakailah pakaianmu yang bagus pada setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.
Kita tentu tahu bahwa radikalisme agama, atau konflik kekerasan yang banyak terjadi karena adanya prilaku berlebihan sehingga mereduksi nilai keadilan sebagai pondasi utama bermasyarakat. Agama dalam hal ini juga tentu harus dipahami dengan pemahaman yang adil agar tidak menimbulkan prilaku yang berujung pada konflik.


Agama yang tidak dijalankan dengan adil akan membuat agama itu menjadi dagangan untuk mengelabui fakta yang ada. Oleh sebab itulah, ketika agama diangkat sebagai isu yang menyebabkan kekacauan akan serta-merta dibenarkan tanpa pengetahuan dan proses dialog terlebih dahulu. Agama hanya akan dikooptasi sebagai barang untuk membenarkan segala tindakan yang dilakukan, sehingga banyak kelompok yang memiliki kepentingan menjadikan agama sebagai pendorong untuk menimbulkan kekacauan demi tercapainya sebuah kepentingan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun