ATIKA NOVA TRIANA / 191251083
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS AIRLANGGA
Program Keluarga Berencana (KB) telah lama menjadi bagian dari strategi nasional untuk mengendalikan pertumbuhan penduduk dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Namun, pelaksanaannya tidak selalu berjalan mulus. Di berbagai daerah, muncul pro dan kontra yang mencerminkan kompleksitas sosial, budaya, dan kesehatan masyarakat. Dua studi terbaru---satu di Kabupaten Malinau dan satu di Kelurahan Piyungan---menunjukkan bahwa kebijakan KB dan dampaknya terhadap kesehatan reproduksi wanita usia subur masih menjadi perdebatan yang relevan.
Studi kasus di Kabupaten Malinau mengungkapkan bahwa sejak tahun 2012, pemerintah daerah menghentikan suplai alat kontrasepsi ke fasilitas kesehatan pemerintah. Kebijakan ini dilatarbelakangi oleh keinginan untuk meningkatkan jumlah penduduk di wilayah pedalaman dan perbatasan. Meskipun penggunaan kontrasepsi tidak dilarang, masyarakat harus mengaksesnya secara mandiri melalui sektor swasta. Hal ini menimbulkan kesenjangan akses, terutama bagi kelompok miskin dan mereka yang tinggal di daerah terpencil. Selain itu, penyuluhan tentang KB dibatasi, dan tenaga kesehatan tidak diperbolehkan memberikan informasi spesifik mengenai alat kontrasepsi di fasilitas pemerintah.
Di sisi lain, studi kuantitatif oleh Rahmawati dan Wijaya menunjukkan bahwa penggunaan kontrasepsi memiliki hubungan signifikan terhadap kesehatan reproduksi wanita usia subur. Hal ini dapat dilihat dari 80 responden, sebagian besar menggunakan kontrasepsi hormonal seperti suntik, pil, dan implant. Namun, setengah dari pengguna KB pernah berhenti atau berganti metode karena efek samping yang dirasakan. Efek tersebut meliputi gangguan menstruasi, penurunan libido, dan ketidaknyamanan fisik. Meskipun KB dapat menurunkan risiko kanker serviks dan meningkatkan indeks pembangunan manusia, angka putus KB terus meningkat dari tahun ke tahun, mencapai 29% pada 2017.
Perbedaan persepsi antara stakeholder, provider, dan pengguna KB menjadi tantangan utama. Seperti halnya di Malinau, beberapa tokoh masyarakat menolak KB karena alasan religius dan budaya, menganggapnya bertentangan dengan ajaran agama dan nilai keluarga besar. Sementara itu, tenaga kesehatan tetap berupaya menyediakan layanan KB secara sembunyi-sembunyi bagi masyarakat yang memiliki indikasi medis, demi menjaga profesionalisme dan hak kesehatan reproduksi.
Kondisi ini menunjukkan bahwa pelaksanaan program KB tidak bisa dipisahkan dari konteks lokal. Kebijakan yang terlalu sentralistik atau tidak sensitif terhadap nilai-nilai masyarakat dapat menimbulkan resistensi dan menghambat pencapaian tujuan kesehatan masyarakat. Di sisi lain, pendekatan yang terlalu longgar dapat menyebabkan ketidakteraturan dalam pelaporan, distribusi alat kontrasepsi, dan edukasi publik.
Kesimpulannya, program KB memiliki dampak yang signifikan terhadap kesehatan masyarakat, namun pelaksanaannya harus tetap mempertimbangkan aspek sosial, budaya, dan hak reproduksi. Pro dan kontra yang muncul bukanlah hambatan, melainkan sinyal bahwa kebijakan KB perlu dirancang secara partisipatif dan adaptif. Pemerintah daerah dan tenaga kesehatan harus bersinergi untuk memastikan bahwa setiap individu memiliki akses terhadap informasi dan layanan KB yang aman, efektif, dan sesuai kebutuhan.
KATA KUNCI: Akses, Kebijakan, Kesehatan, Kontrasepsi, Reproduksi.
DAFTAR PUSTAKA
Bawing, P., Padmawati, R.S., & Wilopo, S.A. 2017. Analisis Pelaksanaan Kebijakan Program Keluarga Berencana: Studi Kasus di Kabupaten Malinau. BKM Journal of Community Medicine and Public Health, 33(12), 615--622.
Rahmawati, M.R., & Wijaya, L.N. 2024. Kesehatan Reproduksi: Efek Program Keluarga Berencana (KB) terhadap Wanita Usia Subur. Jurnal Kesehatan Madani Medika, 15(1), 106--115.