Di era digital yang serba cepat seperti saat ini, media sosial tidak lagi sekadar menjadi sarana untuk berbagi informasi, melainkan telah berkembang menjadi wadah ekspresi diri, khususnya bagi generasi muda. Di antara berbagai ekspresi tersebut, muncul sebuah tren yang menjadi simbol dari keresahan masyarakat, salah satunya tren tagar #KaburAjaDulu.Salah satu wujud ekspresi yang tengah ramai di kalangan masyarakat saat ini adalah penggunaan tagar di media sosial. Dengan hanya satu simbol "#", berbagai isu seperti persoalan sosial, kondisi psikologis, hingga fenomena budaya dapat tersebar secara cepat dan luas. Ungkapan ini dianggap sebagai bentuk kekecewaan masyarakat Indonesia, khususnya yang dirasakan oleh generasi muda, terhadap masalah tekanan akademik, beban pekerjaan, atau kekecewaan terhadap kehidupan sosial, hingga rasa cemas yang tidak tertuntaskan.
Bagi sebagian orang, tagar ini hanyalah sekadar hiburan yang terasa nyata dengan keseharian. Namun, bila dicermati secara lebih dalam, di balik tren populer ini justru bisa mengandung potensi bahaya yang tidak bisa diabaikan dan harus dikaji dengan kritis.Secara makna, kata "kabur aja dulu" merujuk pada tindakan pelarian, yakni upaya menjauh tanpa menyelesaikan masalah terlebih dahulu. Pelarian ini bisa bersifat fisik, seperti menghilang dari lingkungan sosial atau aktivitas sehari-hari, maupun secara emosional dan mental, yang berarti mengabaikan tanggung jawab atau memilih untuk menyerah.Fenomena tren tagar #KaburAjaDulu muncul sebagai wujud keinginan masyarakat untuk mencari peluang yang lebih menjanjikan di luar negeri, baik dalam hal pendidikan maupun karier pekerjaan. Banyak anak muda menggunakan tagar ini untuk menyuarakan keinginan melepaskan diri dari rutinitas, tekanan, dan ekspektasi.
Menurut sebagian orang, tren ini merupakan bentuk pengekspresian diri yang normal dan layak untuk dihormati. Dalam budaya yang kerap menuntut produktivitas tinggi dan kompetisi ketat, pelarian dianggap sebagai bentuk perlawanan terhadap sistem yang terlalu menekan.Namun, dari sudut pandang kontra, tren ini justru dikhawatirkan menormalisasi sikap menghindar dan menyerah terhadap tantangan. Lebih dari itu, tren ini ditakutkan bisa menjadi cerminan dari lemahnya daya tahan mental, berkurangnya rasa cinta tanah air dan nasionalisme terhadap negara, menurunnya semangat untuk bertahan, serta pudarnya nilai-nilai perjuangan dalam menghadapi kenyataan hidup.Kekhawatiran pun semakin meningkat ketika tagar ini menyebar luas tanpa adanya filter atau penyaringan, bahkan digunakan dalam konteks yang seharusnya diperlakukan dengan benar. Alih-alih menjadi sarana ekspresi yang positif, banyak unggahan yang mengaitkan tren #KaburAjaDulu dengan keluhan tentang stres berat, tekanan mental, bahkan tanda-tanda depresi, namun disampaikan dengan gaya humor atau visual yang menarik.Keadaan ini bisa memperkeruh situasi karena menjadikan persoalan yang serius terlihat sepele, serta mendorong individu membenarkan sikap menghindar alih-alih mencari penyelesaian.
Tren #Kabur Aja Dulu tidak hadir dalam ruang hampa. Tren ini muncul dan berkembang di tengah kondisi sosial yang kompleks, dengan tekanan hidup dan ketidakpastian masa depan yang makin berat bagi generasi muda. Dalam hal seperti inilah, frasa "kabur aja dulu" menjadi semacam mantra baru yang terasa membebaskan. Namun, di balik rasa lega yang sementara itu, tersembunyi banyak potensi persoalan yang patut dikritisi secara serius.
Berikut adalah aspek yang menjadi pandangan kontra terhadap tren tersebut, mulai dari akibatnya terhadap karakter individu, dampak psikologis jangka panjang, dan pembentukan sosial budaya baru yang merugikan. Poin-poin berikut menjelaskan secara lebih rinci bagaimana tagar #KaburAjaDulu dapat menimbulkan efek yang tidak diinginkan jika dibiarkan berkembang tanpa kontrol dan kesadaran kritis:
1.Normalisasi Pelarian dari Tanggung Jawab
Salah satu poin utama yang dikritisi dari tren #KaburAjaDulu adalah kecenderungannya menormalisasi sikap menghindar dari tanggung jawab. Di antara banyaknya postingan di media sosial, tagar ini sering dipakai untuk menggambarkan situasi sulit seperti stres akibat tugas kuliah, masalah dalam hubungan, tekanan kerja, atau kegagalan mencapai tujuan pribadi. Reaksi yang timbul selanjutnya adalah mengambil keputusan untuk "kabur aja dulu." Ungkapan ini bukan hanya sekadar luapan emosi, melainkan juga berubah menjadi solusi instan yang menarik dan memberikan kelegaan sesaat, walaupun hal itu tidak menyentuh inti permasalahan. Padahal, dalam kehidupan sehari-hari, tidak semua masalah bisa diselesaikan dengan cara 'menghilang.' Tanggung jawab sebagai pelajar, anak, teman, maupun profesional tetap harus dijalankan dan diselesaikan. Jika kebiasaan ini terus dilestarikan, masyarakat akan cenderung menghadapi masalah dengan menghindar, bukan mencari solusi. Dalam jangka panjang, kondisi ini dapat membentuk pribadi yang rapuh saat menghadapi rintangan, kurang tangguh, dan cepat menyerah ketika berada di bawah tekanan.
2.Romantisasi Gangguan Mental dan Keputusasaan
Tren #KaburAjaDulu kerap dikemas dalam bentuk yang lucu dan estetik, misalnya dengan ilustrasi karakter yang sedang kabur membawa koper, atau video pendek dengan musik sendu yang menggambarkan kelelahan mental. Konten-konten ini memang tampak menghibur dan relatable, namun di balik itu terdapat bahaya laten: romantisasi keputusasaan dan gangguan mental. Ketika pelarian digambarkan dengan cara yang menggemaskan dan mendapat banyak "like" serta komentar dukungan, seseorang yang benar-benar mengalami gangguan mental bisa merasa cukup hanya dengan memposting perasaannya di media sosial, tanpa mencari bantuan profesional. Ini sangat berbahaya karena bisa membuat kondisi mentalnya semakin buruk tanpa penanganan yang tepat Masalah kesehatan mental tidak pantas dijadikan sebagai gaya atau tren, melainkan perlu ditangani secara serius dengan bantuan psikologis atau pengobatan medis yang tepat.
3.Memudarnya Ketangguhan dan Mentalitas Generasi Muda
Dalam dunia pendidikan dan karier, tantangan dan tekanan adalah hal yang tidak dapat dihindari. Dalam menjalani proses belajar, bekerja, menjalin hubungan, dan menuju kedewasaan, tantangan pasti akan muncul. Di sinilah letak pentingnya memiliki ketangguhan mental (resiliensi) serta keterampilan dalam menyelesaikan masalah (problem solving). Tren #KaburAjaDulu, jika tidak dikritisi secara sadar, dapat melemahkan kemampuan tersebut. Seseorang bisa merasa bahwa lari dari situasi sulit adalah hal yang wajar, bahkan dianjurkan. Dampaknya bisa sangat merugikan, terutama dalam jangka panjang, karena keberhasilan hidup bergantung pada kemampuan menghadapi realitas, bukan menghindarinya. Kebiasaan untuk menghindar justru membuat seseorang kehilangan peluang belajar dari kegagalan, memperbaiki kesalahan, dan membentuk karakter yang kuat.
4.Munculnya Budaya "Validasi Eskapisme" di Media Sosial
Media sosial saat ini memiliki kekuatan besar dalam membentuk opini dan perilaku kolektif. Ketika satu bentuk pelarian seperti #KaburAjaDulu mendapatkan validasi besar melalui komentar-komentar positif dan "likes" berlimpah, ini bisa menciptakan norma baru yang menyimpang: bahwa kabur adalah sesuatu yang lumrah, bahkan keren. Validasi terhadap eskapisme seperti ini menyesatkan. Pelarian emosional seharusnya tidak menjadi bagian dari identitas sosial yang dibanggakan, melainkan sinyal bahwa ada sesuatu yang harus diperbaiki, baik di dalam diri maupun di lingkungan sekitar. Namun, jika kebiasaan menghindar terus dianggap sebagai solusi yang wajar, maka seseorang akan semakin sulit untuk mengambil tindakan yang lebih sehat, seperti berdialog dengan orang lain, meminta pertolongan, atau mencari cara penyelesaian yang lebih positif.
5.Menghambat Solusi Struktural dan Reformasi Sistem
Sebagian orang menggunakan tagar #KaburAjaDulu sebagai bentuk sindiran terhadap sistem yang menekan: sistem pendidikan yang terlalu menuntut, dunia kerja yang eksploitatif, atau masyarakat yang kurang empati. Namun sayangnya, sindiran tersebut sering berhenti pada pelarian individu, bukan pada upaya kolektif untuk memperbaiki sistem. Jika pelarian terus dijadikan reaksi utama, maka pembahasan mengenai perubahan sistem tidak akan pernah terlaksana.Individu akan memilih keluar daripada memperjuangkan perubahan. Sebagai akibatnya, sistem yang bermasalah akan tetap bertahan karena tidak ada motivasi untuk melakukan perbaikan. Padahal, sejarah menunjukkan bahwa perubahan besar muncul dari keberanian individu maupun kelompok dalam menghadapi sistem, bukan dari penghindaran.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI