Mohon tunggu...
Atih Ardiansyah
Atih Ardiansyah Mohon Tunggu... Dosen - Pemberi Beasiswa

Mendirikan Cendekiawan Kampung, sebuah platform yang mempertemukan Genius Kampung dengan pemberi beasiswa (Scholarship Providers) | Follow IG: @cendekiawankampung | www.cendekiawankampung.id

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Cendekiawan Kampung dan "Maung Bodas"

2 Januari 2021   23:37 Diperbarui: 2 Januari 2021   23:49 674
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mempertemukan Genius Kampung asal Maluku, Manaan Tihun (tengah) dengan pemberi beasiswa program KSB STMIK Alfath, Sukabumi (Dok. CK, 2020)

Saya menaruh minat yang besar terhadap pembangunan kampung, terutama manusianya. Minat ini muncul, selain karena saya berasal dari sana, juga karena gelisah melihat kampung yang tak banyak berubah setelah sekira lima tahun saya tinggalkan untuk keperluan studi lanjut di Fakultas Ilmu Komunikasi, Prodi Manajemen Komunikasi, Universitas Padjadjaran pada 2006 – 2011.


Saya lahir pada 12 Juni 1987 di Kampung Dahu, Kecamatan Cikedal, Pandeglang, Banten, dari sebuah keluarga kurang mampu. Ayah saya tidak sekolah dan memiliki pekerjaan yang tidak diinginkan oleh anak-anaknya, yakni seorang Tukang Ngobor Bangkong (pemburu kodok). Ibu hanya tamat SD dan bekerja sebagai buruh emping (penganan khas Banten).


Bagi anak kampung seperti saya, bisa mengecap pendidikan tinggi adalah mimpi yang teramat mewah. Teman-teman saya di kampung kerap bercerita bahwa saya sangat beruntung bisa kuliah dan beroleh beasiswa. Di kampung saya, bisa kuliah, apalagi dengan beasiswa merupakan sebuah kebanggaan. Beasiswa, dalam persepsi orang tua di kampung saya merupakan ganjaran setimpal untuk kegigihan sekaligus otak yang encer. Saya mendapatkan beasiswa melalui program Indonesia Managing Higher Education for Relevancy and Eficiency (I-MHERE), Universitas Padjadjaran.


Semasa kuliah, saya memiliki prestasi yang bagus terutama di bidang kreatif. Sejak kuliah saya sudah menulis di beberapa media seperti Pikiran Rakyat, Tribun Jabar, Majalah Sabili, Majalah Percikan Iman, Majalah Mata, Majalah Inspirasi, dan lain-lain. Buku pertama saya berjudul Beginilah Seharusnya Hidup terbit pada tahun kedua kuliah di Penerbit Indiva Media Kreasi (2007). Buku tersebut merupakan anak tangga pertama untuk buku-buku lain yang diterbitkan Penerbit Mizan, Elex Media Komputindo, Diva Press, Lingkar Pena Publishing House, Tiga Serangkai, sampai Gramedia Pustaka Utama. Aktivitas tersebut membuat saya mendapatkan penghargaan dari Rektor Unpad dalam ajang Unpad Award, pada 2009.


Nyatanya, menggenggam gelar Sarjana Ilmu Komunikasi sekaligus penulis professional tidak membuat saya berani pulang ke kampung, apalagi mengabdikan diri di sana. Orang-orang di kampung memandang saya sebagai “lain bangsa urang”, istilah yang merujuk pada seseorang yang jauh untuk dijangkau. Saya tidak punya teman di kampung dan kesulitan untuk berbaur dengan masyarakat. Keinginan agar semakin banyak anak di kampung yang terinspirasi dan menempuh pendidikan tinggi makin jauh panggang dari api.


Pada titik itu, saya merasa ada sesuatu yang keliru. Sayangnya, kesadaran itu tak dibarengi dengan keberanian untuk melakukan perubahan.


Setelah tiga tahun menghabiskan waktu di Bandung sebagai penulis penuh waktu, pada 2014 saya menikahi gadis asal Banten bernama Irma Zakiyah. Sepekan setelah menikah, saya mengajak istri untuk pergi ke Bandung. Akan tetapi, kesadaran yang saya dapatkan tentang betapa jauhnya jarak saya yang sarjana dengan masyarakat di kampung benar-benar menggelisahkan. Hanya sebulan berada di Bandung, masih pada 2014, saya mengajak istri untuk pindah ke Purwakarta. Mondok di Pesantren Al Muhajirin sambil kuliah S2 Komunikasi Politik di Universitas Islam Bandung.


Selama di pesantren saya banyak merenung tentang peran apa yang bakal saya ambil di kampung. Satu hal berharga yang saya dapatkan selama di pesantren, berkat interaksi yang intens dengan KH. Abun Bunyamin (pimpinan Pondok Pesantren Al Muhajirin), adalah menemukan visi hidup. Pada sebuah buku catatan yang sekarang entah ke mana, saya pernah menuliskan visi hidup, “Menjadi model manusia pewaris sabda Nabi Muhammad Saw: ‘Sebaik-baik dirimu adalah yang memberikan manfaat bagi sesamanya’.”


Pada 2016 selepas lulus S2, saya pulang ke Banten dan mendirikan perpustakaan di ruang tamu mertua. Saya dan istri menamainya Taman Baca Masyarakat (TBM) Indung. Di sana saya dan istri mengajak anak-anak dan remaja untuk membaca dan berkegiatan di bidang literasi. Itu kegiatan yang sedikit banyak mengobati kegalauan saya, karena merangkul dua hal sekaligus: gairah di dunia literasi dan keinginan berdekat-dekat dengan masyarakat.

Kegiatan di TBM Indung (Dok.Pribadi, 2017)
Kegiatan di TBM Indung (Dok.Pribadi, 2017)
TBM Indung-lah yang jadi embrio Cendekiawan Kampung (CK), yang saya dirikan dan gulirkan bersama istri. Cendekiawan Kampung akhirnya menjadi pelabuhan peran saya. Melalui lembaga ini, bersama para relawan, saya ingin menghimpun kepedulian sebanyak-banyak orang untuk memberikan kesempatan kepada anak-anak kampung untuk mendapatkan beasiswa kuliah, didampingi lalu diajak untuk mengambil peran sebagai maestro kampung. Mereka harus menjadi inspirasi warga kampung sekaligus lokomotif utama untuk lebih berdaya dengan pendidikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun