Sebenarnya, sejauh mana peran sekolah formal dalam kontribusi terhadap pendidikan dan capaian akademik siswa?
Pertanyaan itu menjadi suatu refleksi tersendiri bagi banyak orang. Pada masyarakat Indonesia sendiri, dengan jumlah sekolah formal yang masih belum merata di berbagai wilayahnya, jawaban dari pertanyaan tersebut tidak dapat dijawab dengan pasti. Â Hal in terjadi karena definisi pendidikan sendiri sering kali tidak diterapkan secara harfiah. Pendidikan akademik sebagai proses pengembangan diri, pada berbagai tempat dengan sekolah formal yang masih minim, belum berjalan dengan baik karena keterbatasan akses pendidikan dasar. Namun, pada daerah padat penduduk serta pembangungan yang sudah maju, sekolah formal kehilangan posisinya sebagai tempat utama dalam mendapatkan pendidikan akademik. Di wilayah-wilayah tersebut, lembaga bimbingan belajar (bimbel) justru semakin didambakan dan dianggap sebagai salah satu cara yang lebih efektif dalam mendukung capaian akademik siswa. Sekolah formal yang seharusnya menjadi tempat utama dalam praktik transfer ilmu pengetahuan dan nilai, menjadi sekadar tempat untuk pelengkap administrative saja. Ketimpangan ini menjadi nyata adanya pada masyarakat dewasa ini.
Bimbel sendiri tidak datang begitu saja lalu menggusur posisi penting sekolah formal bagi anak-anak. Fenomena ini muncul dari berbagai faktor yang mempengaruhi kapitalisasi pencapaian akademik lewat lembaga bimbingan belajar ini. Faktor-faktor seperti rendahnya kualitas guru di Indonesia karena tidak ada pemberdayaan hingga faktor masing-masing individu. Namun, faktor seperti tuntutan atau ekspektasi lingkungan sekitar yang mempengaruhi permintaan dari lembaga-lembaga seperti ini, juga tidak dapat dilupakan. Selain itu, faktor seperti krisis kepercayaan terhadap kualitas pendidikan formal yang sering kali tidak memenuhi standar yang diinginkan atau dirasakan, baik dari sudut pandang orangtua maupun sudut pandang siswa, memberikan alasan lain bagi lembaga bimbingan belajar ini untuk tumbuh. Hal ini menunjukkan bahwa, meskipun pembangunan telah meningkat di banyak wilayah padat penduduk di Indonesia, kualitas pengajaran di sekolah formal masih belum dapat mengakomodasi keberagaman kebutuhan siswa secara memadai.
Lantas, di sinilah privilege berperan besar dalam menentukan siapa yang dapat mengakses bimbel sebagai pendidikan akademik non formal. Siswa yang berasal dari keluarga mampu memiliki akses lebih terhadap pendidikan akademik. Mereka dapat memilih bimbel terbaik atau mengikuti kelas privat dengan tujuan mendapatkan ilmu yang lebih luas dan tinggi. Namun, siswa yang tidak dapat mengakses itu semua harus berusaha keras secara mandiri untuk meraih mimpi yang sama luas dan tingginya dengan mereka yang dapat mengakses ilmu tersebut hanya karena mereka punya uang untuk meraihnya.
Isu mengkhawatirkan dari fenomena ini datang dari bagaimana ketimpangan yang dihasilkan telah dinormalisasikan dan diidealkan di tengah-tengah masyarakat urban saat ini. Tak jarang lembaga-lembaga seperti itu, mulai berani bekerja sama dengan beberapa sekolah formal  untuk memberikan pelayanan yang lebih intensif pada siswa/i yang ingin meraih capaian akademik tertentu. Lantas, tidak heran jika pemikiran bahwa mereka harus segera mendaftar bimbel sesaat mereka sudah menginjakan kaki pada tahun terakhir mereka di sekolah tersebut terasa seperti kewajiban. Pihak sekolah pun, sering kali membuka jalannya, seakan-akan mereka mengaku bahwa sumber daya pengajar mereka belum mampu untuk membawa siswanya meraih capaian akademik tersebut.
Bukan berarti saya mendiskreditkan peran guru di sekolah formal yang mungkin belum mampu memberikan pengajaran secara maksimal kepada siswanya, Namun, permasalahan ini jauh lebih structural. Hal memunculkan pertanyaan baru seperti, "Ke mana perginya fungsi negara dalam menjamin pemerataan pendidikan?"
Pertanyaan tersebut dikhususkan kepada para pemangku kebijakan yang seharusnya lebih berfokus dalam memberdayakan para pengajar sebagai penyampai ilmu pengetahuan. Selain itu, ini juga bukan salah para orangtua yang memiliki sumber daya untuk memberikan akses ilmu yang lebih tinggi lagi kepada anaknya. Isu ketimpangan pendidikan ini tidak dapat diselesaikan dengan sekadar melarang atau menutup lembaga bimbingan belajar, karena akar masalahnya terletak pada ketimpangan akses dan kualitas pendidikan formal yang belum tuntas diperbaiki. Jika dibiarkan, pendidikan hanya akan menjadi mekanisme reproduksi sosial. Tempat di mana hanya si kaya yang semakin kaya akan pengetahuan dan si miskin menjadi tertinggal karena tidak mampu "membeli" pembelajaran. Komersialisasi serta kapitalisasi pendidikan menjadi isu yang harus segera diselesaikan secara sistemik.
Sebagai pelajar, kita percaya bahwa ilmu adalah hak milik semua orang, dan sudah semestinya ia diberikan secara adil, setara, dan tanpa diskriminasi ekonomi. Pendidikan seharusnya tidak menjadi barang mewah, melainkan sarana utama dalam membentuk sumber daya manusia yang berkualitas untuk masa depan bangsa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI