Mohon tunggu...
Atep Afia Hidayat
Atep Afia Hidayat Mohon Tunggu... profesional -

Pemerhati sumberdaya manusia dan lingkungan

Selanjutnya

Tutup

Nature

Tanam Pohon dan Selamatkan Ekosistem Jakarta

1 Agustus 2011   23:02 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:10 327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Oleh : Atep Afia Hidayat - Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI Jakarta) meskipun luas wilayahnya relatif kecil, yaitu hanya 661,52 km2 daratan, berstatus daerah propinsi yang dikepalai oleh seorang Gubernur. Hal itu mengingat posisinya yang begitu strategis, menjadi pusat semua aktivitas politik, Hankam, perekonomian, sosial budaya, pendidikan, dan sebagainya. Posisi DKI Jakarta menjadi semakin penting dengan munculnya era globalisasi di semua bidang. DKI Jakarta menjadi tulang punggung atau garis depan dari berbagai proses interaksi global. Ternyata wilayah daratan yang hanya 0,035 persen dari luas wilayah Republik Indonesia itu dihuni oleh sekitar 4 persen penduduk Indonesia. Berdasarkan Sensus Penduduk 2010, jumlah penduduk DKI Jakarta mencapai hampir 9,6 juta jiwa. Ekosistem Jakarta sudah berada dalam posisi yang tidak seimbang (disequilibrium). Kondisi sumberdaya alam sudah terkuras dan nyaris habis. Unsur-unsur seperti air bersih, udara bersih, jumlahnya amat terbatas. Sebagian besar air dan udara berada dalam wujud yang paling tercemar. Bahkan di kawasan-kawasan tertentu udaranya tergolong paling kotor di dunia. DKI Jakarta sudah padat dengan penduduk, hingga sebagian pemukiman tak layak huni. Pemukiman kumuh tersebar secara merata di lima kota yang ada, baik Jakarta Pusat, Jakarta barat, Jakarta Utara, Jakarta Timur dan Jakarta Selatan. DKI Jakarta memang tak mugkin lagi memberikan kehidupan yang nyaman bagi sebagian penduduknya, maka tak heran jika sebagian warga lantas mencari tempat pemukiman di daerah penyangga seperti Kota Sepok, Bekasi, Tangerang dan Tangerang Selatan, bahkan ada yang sampai Kabupaten Tangerang, Bogor dan Bekasi. Kondisi ekosistem Jakarta semakin terdegradasi. Memang ada upaya penyelamatan atau pemulihan, namun hasilnya tak bisa diharapkan terlalu banyak. Sebagai contoh Proyek Kali Bersih (Prokasih), yang hingga saat ini masih cukup populer, hasilnya memang cukup lumayan, paling tidak bisa meningkatkan minat sebagian penduduk untuk turut memelihara kebersihan sungai. Namun gebrakan tersebut tampaknya baru sampai taraf "menggugah" kesadaran sebagian penduduk, dan belum berhasil "menggerakan" penduduk untuk terjun ke sungai-sungai dan membersihkannya dari berbagai limbah. Sungai-sungai di Jakarta umumnya masih tampak kusam, hitam-legam, bahkan ada yang mengandung bahan berbahaya beracun. Tak dapat dipungkiri, masih ada kalangan pengusaha atau penduduk biasa yang "membandel" membuang limbah atau sampah dengan seenaknya. Tidak mustahil perairan sekitar Jakarta mengandung logam berat dalam konsentrasi yang melampaui ambang batas yang ditetapkan, tak lain karena masih banyak kalangan industri yang "nakal", tak menggubris peringatan dinas-instansi yang berwenang. Sudah selayaknya pengusaha yang "membandel" tersebut "dijewer". Dalam lokakarya Mengacities of the Pacific Rim : the Burder of Air Pollution di Jakarta, pertengahan Februari 1993, antara lain terungkap, bahwa Jakarta merupakan satu dari delapan kota besar dunia yang paling kotor udaranya. Sumber utama pencemaran udara di Jakarta ialah kendaraan bermotor, yang sebagian besar sistem pembakarannya tak sempurna, hingga gas karbon monoksida, nitrogen oksida dan hidrokarbon terlepas ke udara. Menurut data tahun 1990, ternyata di Jakarta ada sekitar 1,65 juta kendaraan bermotor, dan tahun 2011 ini melonjak menjadi sekitar 12 juta. Merupakan jumlah terbanyak dibanding jumlah kendaraan bermotor propinsi lain, termasuk Jawa Timur yang mencapai 9,2 juta. Maka tak heran jika kemacetan lalulintas mewarnai wajah Jakarta hampir setiap jam. Di Jakarta tiada hari tanpa kemacetan lalulintas. Kecuali pada hari lebaran yang memang sebagian besar penghuninya "mudik". Seluruh kendaraan bermotor di Jakarta tersebut, tentu saja mengeluarkan gas buangan, sisa pembakaran, yang jika digabungkan secara keseluruhan bisa mencapai jutaan liter. Padahal hampir setiap detik udara kotor itu dihembuskan, apalagi jika ditambah polutan asal industri dan rumah tangga. Untuk menetralisir dampak pembakaran Bahan Bakar Minyak (BBM) tersebut tentu tidak mudah, sebab hingga saat ini belum ada alat dan teknologi canggih untuk meredam tingkat polusi sebesar itu. Upaya yang ditempuh selama ini baru dalam taraf "introduksi" atau langkah awal, umpamanya melalui "Program Langit Biru". Untuk menetralisir dampak pencemaran udara, di Jakarta perlu terus dikembangkan program penghijauan, seperti melalui gerakan sejuta pohon. Pohon yang ditanam meliputi pohon pelindung, pohon produktif dan pohon hias. Gerakan sejuta pohon di DKI Jakarta hendaknya bukan sekedar basa-basi, terutama mengingat fungsi vegetasi yang amat strategis dalam ekosistem. Dalam suatu kawasan padat seperti Jakarta, pohon tak ubahnya berperan sebagai "paru-paru" kota, yang bertugas membersihkan udara kota, menyerap polutan, dan mempertinggi kadar oksigen. Salah satu aktivitas pohon atau tumbuhan ialah melakukan fotosintesis, di mana karbon dioksida bereaksi dengan air plus dukungan cahaya, untuk membentuk glukosa ditambah oksigen. Dengan adanya berjuta-juta di Jakarta, diharapkan konsentrasi karbon dioksida dan berbagai polutan lainnya bisa menurun, selain itu kondisi udara pun diharapkan semakin bersih. Jakarta memang sangat kekurangan pepohonan. Hutan yang ada di Jakarta hanya sekitar 475 hektar, atau hanya sekitar 0,72 persen dari luas wilayah secara daratan keseluruhan. Itupun sebagian besar justru berada di wilayah Kepulauan Seribu yang termasuk Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu.  Sebagian besar permukaan DKI Jakarta memang ditumbuhi hutan beton dan aspal, yang justru berdampak kurang menguntungkan terhadap kondisi ekosistem. Dengan berdirinya gedung-gedung pencakat langit umpamanya, jelas menyebabkan penyinaran matahari berlangsung tidak optimal. Hal tersebut menimbulkan degradasi terhadap kualitas ekologi. Persoalan lingkungan di Jakarta memang makin rumit dan kompleks, namun dengan adanya upaya program kali bersih, program langit bersih dan penanaman sejuta pohon, diharapkan menjadi fenomena yang positif terhadap pemeliharaan lingkungan secara global, (Atep Afia, pengelola http://www.pantonanews.com)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun