Mohon tunggu...
Aten Dhey
Aten Dhey Mohon Tunggu... Penulis - Senyum adalah Literasi Tak Berpena

Penikmat kopi buatan Mama di ujung senja Waelengga. Dari aroma kopi aku ingin memberi keharuman bagi sesama dengan membagikan tulisan dalam semangat literasi.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Demo, Salah Siapa?

10 Oktober 2020   22:08 Diperbarui: 10 Oktober 2020   22:20 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Indonesia sedang gawat demo. Ada aksi dimana-mana. Massa pendemo datang dengan harapan agar suara mereka didengar. Ada kesan, pemerintah bermain aksi di belakang kepentingan kelompok tertentu. Suara pendemo datang merongrong para pembuat keputusan yang katanya berat sebelah. Tidak pro terhadap kemanusiaan. 

Kalau saja saat ini saya berada di pusat-pusat aksi gerakan masssa, pasti saya masuk dalam lingkup para pendemo itu. Datang dengan kekuatan massa. Turun ke jalanan berteriak minta keadilan ditegakan. Saya akan melempari aparat dengan batu dan membakar emosional massa. 

Saya akan menjadi yang terdepan untuk merangsek masuk ke gedung-gedung pemerintah. Memecahkan kaca. Membakar ban mobil. Melakukan orasi-orasi yang berpihak pada kepentingan rakyat dan menelanjangkan kelemahan pemerintah.

Saya pasti mengabadikan momen ini di depan kamera-kamera pembuat berita. Berkoar-koar agar kata-kata saya terterah para headline berita di halaman pertama sebuah media cetak atau media online. Indentitas saya menjadi jelas, "Penyambung suara dari kaum tak bersuara."

Saya berpikir bahwa terkadang aksi saya yang membabi buta itu, tidak seratus persen benar. Justru salah seratus persen. Mengapa demikian? Ada kesadaran bahwa demo tidak selamanya benar. Menjadi benar jika tujuan di balik demo itu jelas. Tahu, apa dasar di balik demo tersebut.

Mirisnya, sekarang banyak aksi dilakukan tanpa tahu sebab musababnya. Pendemo datang tanpa menyaring informasi yang benar. Berita dari media tanpa lisensi dijadikan catatan kaki untuk berorasi. 

Orasi dijadikan referensi untuk membenarkan asumsi pribadi. Fakta dipeletir tanpa berdiskusi. Pengeras suara seperti mempertegas bahwa ada suara yang diperas. Kuat berdalih tanpa merunut ke fakta asali.

Demo itu seyogianya adalah sebuah aksi massa yang berangkat dari akal sehat. Tanpa akal sehat demo tidak berefek. Justru akan muncul kekacauan yang semakin memperumit persoalan. Jika jelih melihat, sebenarnya ini sebuah lagu lama yang kembali diputar.

Fakta publik berbicara bahwa di belakang semuanya ada oknum-oknum yang mengobok-obok emosi massa. Ada yang mengendalikan remote kontrol. Sekali ditekan bisa menutup akal sehat dan menyasar emosi massa. Remote itu bertujuan untuk mengabsenkan diskusi publik tanpa rasio berpikir yang jelas.

Pemerintah harus jelih melihat kekacauan di negeri ini. Fakta yang dipersoalkan sekarang terlalu sering dibuat hoaks. Perlu keberanian untuk membuka semuanya di ruang publik. 

Hasil sidang dan pengesahan undang-undang yang dianggap sebagai biang kerok, dimuat ke ruang publik. Beri pencerahan agar semuanya menjadi terang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun