Udara dingin. Angin semakin kencang. Katrol penarik tanah dari sumur itu mulai berbunyi. Sejak pagi dia tak pernah berhenti. Mungkin oli kotor yang dioleskan semalam telah kering.Â
"Tarik," teriak Fredi dari dalam sumur.Â
Hari ini tepat sembilan hari sumur paroki di Bibin digali. Sudah ada tanda-tanda air. Tanah mulai becek. Kata beberapa pekerja tanah kuning sudah menunjukkan sumber mata air.Â
"Besok pasti air sudah dapat," ungkap Fridus sambil mengguling rokok kreteknya.Â
Suasana di tempat gali sumur semakin ramai. Beberapa orang menyempatkan waktu untuk datang melibatkan diri. Sumur kini mencapai lima meter.Â
"Irgi bawakan kopi dan ubi jalarnya," pinta Pater Gabo.Â
Tanah galian terus diangkat dari dalam sumur. Oka, Acong, Rius, Raka, Febro, dan Marsel mencairkan suasana dengan cerita konyol masa lalu.Â
"Dulu pastoran sangat ramai. Remi, seorang anak kompas memiliki kelainan dengan tidur di sembarang tempat. Dia pernah tidur di bangku gereja," kenang Acong sembari menertawai cerita itu.Â
Rius menambahkan, "Pernah sekali dia bersama Pater Seli mengikuti misa di Sukabitetek. Saat itu dia dengan Pater pergi menggunakan motor. Saat tiba, Remi tertidur nyenyak di atas motor, hahaha."
Senja mulai hilang. Langit mulai gelap.Â
"Mari kita minum kopi bersama. Fredi, ayo naik. Kita cukupi pekerjaan hari ini," kata Pater Gabo.Â
"Kita harus mencari bapak yang menemukan sumber air ini. Kita harus membuat adat. Tanah Timor sangat ketat kalau berurusan dengan adat. Jadi besok ketika airnya dapat kita akan membuat adat. Jangan main gila dengan adat jika tidak ingin ada di antara kita yang sakit," terang bapa Ose.
Aku heran mendengar celoteh darinya.Â
"Apakah hujan yang tak kunjung datang di Nurobo ini terhalang karena urusan adat? Jika demikian, dosa apa yang telah dilanggar oleh semua penghuni tanah ini. Jika tidak berdamai, apa yang akan terjadi? Entahlah. Itu urusan hati yang harus direfleksikan semua orang," pikirku sambil berjalan meninggalkan sumur yang masih misteri itu.