Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional setiap tanggal 2 Mei. Lebih dari hari penting, seharusnya Hari Pendidikan Nasional menjadi momen refleksi. Apakah sistem pendidikan kita sudah menjangkau semua lapisan masyarakat? Atau justru pendidikan kita masih menjadi privilege untuk kelompok tertentu?
Pendidikan berkualitas adalah pendidikan yang mampu merangkul keragaman, menyesuaikan metode pembelajaran dengan kebutuhan siswa, dan berfokus pada perkembangan siswa. Â Pendidikan yang berkualitas tidak hanya bergantung pada fasilitas yang mewah atau tingginya capaian akademik.
Dalam upaya menjamin mutu tersebut, semua stakeholders menjadi sangat penting. Selain itu, kualitas pendidikan juga sangat bergantung pada para pelaku pendidikan. Seperti yang disebutkan oleh seorang filsuf, John Dewey, di dalam artikel "Penjaminan Mutu Pendidikan Sekolah" karya Toni Toharudin (2022), "Dewey juga menegaskan, kualitas pendidikan sangat bergantung pada seberapa serius para pelaku pendidikan memiliki pemahaman atas tujuan pendidikan." Tidak cukup hanya pemerintah dan sekolah, masyarakat, orang tua, bahkan siswa itu sendiri juga menentukan kualitas pendidikan. Namun, masih banyak ditemukan bahwa komunikasi antara pihak-pihak terlibat kurang intensif.
Ketimpangan dalam akses pendidikan ini mengakibatkan tingginya angka putus sekolah dan biasanya anak-anak tersebut berasal dari keluarga kurang mampu dan daerah suburban pedalaman. Mereka terpaksa drop out karena tidak memiliki biaya untuk sekolah. Seperti yang disebutkan dalam artikel "Pemerataan Akses Pendidikan" karya Toni Toharudin (2021), bahwa "Dengan segala keterbatasan yang dimiliki, mereka terpaksa drop out karena tidak ada lagi biaya atau mereka dipaksa untuk membantu ekonomi keluarga, dan yang lebih tragis lagi menjadi gelandangan di usia belia." Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan belum benar-benar terbuka untuk semua, melainkan untuk mereka yang beruntung secara finansial maupun sosial.
Pendidikan seharusnya menjadi alat utama untuk mengurangi ketimpangan sosial. Salah satu langkah nyata ke arah itu adalah dengan pendidikan inklusif. Konsep yang mendorong semua anak untuk mendapatkan kesempatan belajar bersama di ruang kelas yang sama. Artikel "Pendidikan Inklusif Menghapus Hambatan Bagi Siswa Berkebutuhan Khusus" karya Andre Samudra (2024) menyampaikan dengan bahwa "Pendidikan inklusif menjadi sangat penting untuk memastikan bahwa setiap anak tanpa terkecuali mendapatkan kesempatan yang sama untuk belajar dan berkembang."
Namun, mewujudkan sistem pendidikan yang benar-benar inklusif bukanlah suatu hal yang mudah. Banyak hambatan yang masih menghalangi, baik dari segi sarana, tenaga pendidik, maupun pola pikir masyarakat. Buku Pengantar Pendidikan karya Choirul Umatin, dkk. (2021) juga memperkuat pernyataan ini, di mana dijelaskan bahwa kualitas tenaga pendidik dan kependidikan di Indonesia masih rendah. Adapun faktor-faktor yang menyebabkan hal tersebut adalah: kompetensi profesional bagi tenaga pendidik dan kependidikan belum terinternalisasi dengan baik, kesempatan untuk pengembangan diri kurang merata, dan proses rekrutmen yang kurang profesional.
Tanpa adanya komitmen untuk mengurangi hambatan-hambatan tersebut, pendidikan inklusif hanya akan menjadi omong kosong. Perubahan regulasi saja belum cukup, kita memerlukan perubahan budaya pendidikan. Upaya ini meliputi pelatihan guru agar memahami metode pembelajaran yang bermacam-macam, penyediaan sarana yang aksesibel bagi semua siswa, serta penyesuaian kurikulum agar lebih fleksibel terhadap kebutuhan peserta didik.
Penting juga untuk mengakui bahwa hambatan pendidikan tidak hanya dialami oleh siswa berkebutuhan khusus. Anak-anak dari keluarga miskin, kelompok adat tertentu, minoritas agama, hingga perempuan di beberapa daerah, seringkali mengalami "hambatan kultural" yang tak kalah berat. Maka dari itu, konsep inklusif harus diperluas, tidak semata-mata berbicara tentang disabilitas, melainkan mencakup semua kelompok yang rentan terhadap diskriminasi dan marginalisasi.
Hari Pendidikan Nasional seharusnya dimanfaatkan untuk mengingat kembali bahwa pendidikan itu harus adil, setara, dan dapat diakses oleh semua orang di setiap lapisan masyarakat. Sudah saatnya kita mengubah cara pandang dari yang hanya mengikuti standar umum menjadi pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan setiap peserta didik. Pendidikan seharusnya tidak boleh menjadi alat untuk menyaring siapa yang layak atau tidak dalam masyarakat, melainkan menjadi sarana untuk memberdayakan semua orang agar dapat berkembang.
Mewujudkan pendidikan inklusif berarti kita harus berani mengubah paradigma. Pendidikan tidak lagi sekadar alat untuk mengukur siapa yang layak dan siapa yang gagal, tetapi mejadi ruang aman bagi semua individu mengembangkan potensinya, apa pun kondisinya.
Pengalaman dari negara-negara yang sukses menerapkan pendidikan inklusif seperti Finlandia atau Kanada menunjukkan bahwa inklusivitas bukan mengorbankan kualitas, melainkan justru meningkatkan kualitas pendidikan. Anak-anak belajar tentang empati, kolaborasi, dan berpikir kritis sejak dini, karena mereka diajak hidup bersama dalam perbedaan, bukan diseragamkan.