Seandainya nanti di tempat kita, Serbelawan ni Huta, akan diadakan program Makan Bergizi Gratis (MBG), pasti suasananya bakal heboh bukan main---bukan cuma anak-anak yang senang karena bisa makan enak tanpa bayar, tapi juga para orangtua yang tiba-tiba jadi akuntan rumah tangga dadakan, sibuk menghitung: Kalau makan sudah ditanggung pemerintah, berarti uang jajannya bisa dikurangi, kan?
Nah, di sinilah drama kecil nan jenaka itu dimulai---karena di balik sepiring lauk pauk bergizi, muncul dilema batin: bagaimana nasib uang jajan, simbol kasih sayang sekaligus gengsi sosial anak sekolahan itu? Dulu, uang jajan di Serbelawan ni Huta bukan cuma buat beli gorengan, tapi juga buat beli pertemanan---yang punya lebih bisa traktir, yang tak punya tetap ikut tertawa, asal tahu tempat duduknya di dekat pintu kantin.
Sekarang, dengan uang jajan MBG , orangtua mulai berpikir inovatif: ada yang alokasikan sisa uang jajan untuk tabungan, ada juga yang teralokasi spontan jadi tambahan beli paket data, karena katanya, biar bisa pantau anak lewat status WA-nya. Padahal uang jajan kecil itu punya fungsi besar: melatih tanggung jawab, mengukur keinginan, dan belajar menunda lapar keinginan sebelum lapar perut. Seperti kata Buya Hamka, Orang yang pandai bukanlah yang banyak uangnya, tapi yang tahu kapan harus menggunakan uangnya. Jadi, kalau MBG benar datang ke Serbelawan ni Huta, semoga orangtua tak sekadar menghemat, tapi juga memahami: uang jajan bukan sekadar bekal ke kantin, melainkan bekal menuju kedewasaan---meski nominalnya kadang cuma cukup untuk baksi pentol dan segelas teh manis dingin yang penuh makna sosial dan aroma solidaritas kampung.
Kata orang, zaman sudah maju --- tapi ada satu hal yang tak pernah lekang oleh waktu: uang jajan anak sekolah. Ia bukan sekadar lembaran rupiah, melainkan simbol status sosial paling jujur di dunia anak-anak. Di kantin, nominal uang jajan bisa menentukan apakah seseorang duduk di meja bakso atau cukup di pinggiran gorengan.
Dulu, banyak dari kita yang punya rumus hidup sederhana: uang jajan = harga mie sop/bakso + es lilin + sisa buat main PS. Orangtua pun punya strategi unik. Ada yang kasih harian (biar nggak boros), mingguan (biar belajar ngatur), atau bulanan (biar sekalian latihan jadi bendahara keluarga). Kadang, uang itu sudah termasuk transport, makan siang, dan---tak jarang---biaya darurat fotokopi tugas yang ketinggalan.
Lalu datanglah program Makan Bergizi Gratis (MBG). Perut anak-anak dijanjikan kenyang, bergizi, dan bahagia. Tapi efek sampingnya muncul di meja dapur: Kalau makan di sekolah udah gratis, uang jajannya dikurangin aja ya?
Nah, di sinilah drama kecil dunia parenting dimulai. Soalnya, jarang ada yang membahas ke mana perginya uang jajan yang dihemat itu. Apakah benar jadi tabungan? Atau diam-diam bertransformasi jadi top up e-wallet emak buat belanja online "karena lagi diskon ? ha ha
Padahal, uang jajan bukan cuma urusan perut. Ia mengajarkan anak soal nilai ekonomi, sosial, dan rasa percaya diri. Lewat uang jajan, anak belajar menunda kesenangan, memilih prioritas, bahkan menolak ajakan teman yang konsumtif. Dan ya, bagi sebagian anak, punya uang jajan yang cukup juga berarti punya keberanian buat nongkrong tanpa minder.
Jadi, meskipun program MBG sudah membuat perut kenyang, mungkin uang jajan tetap perlu --- bukan untuk jajan semata, tapi sebagai pelajaran hidup kecil tentang cara menghargai uang dan memahami diri sendiri.
Mungkin, uang jajan bukan lagi soal beli bakso petol atau ciki ciki, tapi tentang bagaimana anak belajar mengatur hidupnya sendiri. Siapa tahu, dari uang dua ribu yang disisihkan hari ini, lahir generasi yang bisa menabung mimpi, bukan sekadar menabung recehan.
Dan buat para orangtua, jangan remehkan uang jajan --- karena di situ ada cinta yang dikemas dalam bentuk uang kertas lecek, diselipkan di tangan kecil sebelum berangkat sekolah, sambil pesan lembut: Jangan jajan sembarangan, ya. Yang kadang artinya lebih dalam: Jangan salah memilih dalam hidup.