Hidup Soe Hok Gie itu seperti menulis dengan tinta kejujuran di atas kertas zaman yang lembab oleh kepura-puraan. Ia bukan tokoh yang senang berteriak di podium, tapi lebih suka menulis di buku harian sambil mengkritik dunia---dengan gaya yang bikin orang berpikir sekaligus garuk kepala. Di kampus, Gie dikenal bukan karena gaya rambutnya, tapi karena isi kepalanya yang tajam seperti silet logika. Ia tidak menentang demi keren, tapi karena bosan melihat orang pura-pura setuju padahal takut kehilangan jabatan, relasi, atau undangan makan siang. Seperti katanya sendiri, Lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan kalimat yang bisa bikin siapa pun tersedak kopi kalau direnungkan serius. Gie bukan pemberontak tanpa arah; ia hanya manusia muda yang jujur pada pikirannya, dan itu saja sudah cukup bikin ia tampak berbahaya di zaman di mana kejujuran sering dianggap kelainan genetik. Kalau Gie hidup hari ini, mungkin ia akan jadi influencer yang diblokir tiap minggu karena terlalu jujur di kolom komentar---dan entah kenapa, justru di situlah letak pesonanya: melawan bukan dengan amarah, tapi dengan akal sehat yang tidak bisa disuap.
Kesunyian Soe Hok Gie bukan kesunyian yang bisa disembuhkan dengan playlist Spotify atau secangkir kopi kekinian. Ia sunyi karena pikirannya berisik di tengah dunia yang malas berpikir. Banyak orang menganggapnya pemberontak, padahal mungkin ia hanya lelah melihat begitu banyak yang diam ketika kebenaran diinjak-injak seperti sandal jepit di depan masjid. Ia bukan marah pada dunia, tapi kecewa karena terlalu sedikit orang yang mau jujur, bahkan pada dirinya sendiri. Dalam catatannya, Gie menulis, Kita hidup dalam dunia kepura-puraan, di mana orang yang jujur justru dianggap musuh. Kalimat yang, kalau dipikir-pikir, masih cocok ditempel di bio media sosial zaman sekarang. Bayangkan betapa sepinya Gie: di antara tawa teman-temannya, ia lebih sibuk menimbang makna hidup dan menulis tentang kejujuran di buku catatan usang. Tapi jangan salah, Gie bukan tipe yang baper berlarut-larut. Ia justru menertawakan absurditas hidup---bahwa kadang yang paling waras justru tampak gila. Kalau Gie hidup di era ini, mungkin ia akan nge-tweet begini: Idealisme itu seperti pulsa darurat---kadang disalahgunakan, tapi tanpa itu hidup terasa hampa. Dan mungkin, seperti dulu, dunia tetap tidak paham... tapi setidaknya Gie akan tersenyum kecil, karena sepi pun bisa jadi teman yang jujur.
Kalau Soe Hok Gie hidup di zaman sekarang, mungkin ia bukan lagi menulis di buku harian, tapi di Twitter --- dan sudah diblokir berkali-kali karena terlalu jujur. Ia akan jadi semacam influencer kejujuran yang postingannya selalu bikin orang gelisah, terutama mereka yang hidup dari pura-pura. Dunia digital penuh filter ini mungkin membuat Gie pusing: orang sibuk mempercantik feed, tapi lupa memperbaiki pikiran. Zaman sekarang, kritik tajam seperti Gie bisa langsung diserang komentar, "ih, terlalu sensitif," padahal dia cuma bilang yang benar. Seperti katanya dulu, Lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan. Dan lihatlah, betapa masih relevan kalimat itu --- bahkan mungkin lebih cocok di caption Instagram ketimbang di buku sejarah. Gie hidup di masa demo jalanan, bukan demo diskon, tapi semangatnya sama: melawan ketidakadilan, walau tahu bakal capek sendiri. Ia mungkin akan tertawa geli melihat dunia hari ini, di mana banyak orang ingin perubahan tapi takut kehilangan followers. Ironisnya, Gie yang sudah tiada justru terasa lebih hidup daripada mereka yang sibuk hidup tapi tak pernah berpikir. Dan begitulah --- di tengah zaman yang tak mau diingat, suara Gie justru terdengar makin nyaring, seolah mengingatkan kita: idealisme boleh menua, tapi jangan sampai punah seperti baterai HP di tengah perdebatan online.
Bagi Soe Hok Gie, gunung bukan tempat pelarian, tapi semacam tempat nongkrong dengan Tuhan tanpa jadwal resmi. Di puncak gunung, ia tak butuh sinyal, karena yang ingin ia hubungi bukan manusia, tapi dirinya sendiri. Bayangkan: di saat teman-teman seusianya sibuk berdiskusi soal cinta dan karier, Gie justru sibuk menimbang makna hidup di antara kabut dan batu cadas. Ia menulis, Di puncak gunung aku belajar bahwa kebesaran bukan pada teriakan, tapi pada kesunyian. Sebuah kalimat yang sekarang mungkin akan dijadikan caption foto sunrise, padahal maknanya jauh lebih dalam dari sekadar estetik. Gunung, bagi Gie, adalah simbol kebebasan yang jujur---tak ada topeng, tak ada basa-basi, cuma napas yang tersengal dan pikiran yang terbuka. Lucunya, banyak orang mendaki untuk cari sinyal, sementara Gie mendaki untuk kehilangan sinyal---dari dunia yang bising dengan kepalsuan. Jika hidup adalah pendakian, maka Gie telah mencapai puncaknya bukan karena tinggi langkahnya, tapi karena jujur pada jalannya. Di sana, di antara kabut dan angin yang dingin, ia mungkin tersenyum kecil---karena akhirnya menemukan kebebasan paling sejati: diam, tapi sepenuhnya mengerti.
Soe Hok Gie mati muda, tapi kisahnya menua dengan indah --- seperti lagu lama yang tak pernah basi didengar. Ia seolah membuktikan bahwa umur tidak selalu sejalan dengan kedalaman makna; ada orang hidup lama tapi cuma jadi penonton, sementara Gie hidup singkat tapi panggungnya masih ramai diperbincangkan. Ia menulis, Kematian hanyalah tanda baca; yang penting adalah kalimat yang kita tulis sebelum titik itu datang. Dan betapa benar itu---banyak dari kita sibuk menunda mimpi sambil menunggu "waktu yang tepat," padahal waktu justru jarang sopan menunggu. Ironisnya, Gie yang sering dianggap terlalu serius justru punya selera humor kehidupan: ia tahu hidup ini absurd, tapi malah dihadapi dengan jujur, bukan pura-pura sibuk atau bahagia palsu di media sosial. Kalau Gie hidup sekarang, mungkin dia akan menulis status: Mati muda tak masalah, asal sempat hidup dengan benar. Kalimat yang sederhana tapi bisa bikin banyak orang mikir---karena jujur saja, banyak dari kita belum benar-benar hidup, hanya sekadar online. Dan mungkin itulah pelajaran dari Gie: hidup tidak diukur dari panjangnya napas, tapi dari seberapa tulus kita menuliskan makna sebelum dunia menekan tanda titik terakhir.
Andai Soe Hok Gie hidup di zaman sekarang, mungkin dia bakal pusing bukan karena politik, tapi karena filter Instagram. Ia akan heran melihat betapa banyak orang lebih takut jerawat di kamera ketimbang kepalsuan di kepala. Dunia digital kita sudah jadi panggung besar pencitraan---semua ingin tampak bahagia, sukses, dan tercerahkan, meski di balik layar hidupnya buffering terus. Gie, dengan idealismenya yang polos tapi tajam, pasti cuma menggeleng sambil menulis di caption: Kejujuran itu kayak sinyal di gunung---jarang, tapi kalau ketemu, nyambungnya dalam. Ia tidak akan menulis untuk viral, tapi untuk menyentuh nalar dan nurani yang mulai kedinginan di tengah gemerlap likes dan views. Seperti yang pernah diucapkannya, Lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan, sebuah kutipan yang kini terdengar seperti sindiran paling halus untuk era penuh filter ini. Di dunia di mana semua sibuk menambah pencitraan, Gie justru mengajarkan cara menguranginya. Dan mungkin, jika dia masih ada hari ini, ia tak butuh ribuan followers---cukup beberapa orang yang masih berani berpikir jernih tanpa perlu filter apa pun.
Sosok yang penuh paradoks. Di satu sisi dia sangat idealis, tetapi di sisi lain juga terus mempertanyakan gagasan dan idealismenya sendiri.- Riri Riza ( Sutradara Film Gie )
Horas Hubanta Haganupan.
Horas ...Horas ... Horas
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI