Mohon tunggu...
ASWAN NASUTION
ASWAN NASUTION Mohon Tunggu... Kontributor Tetap

Menulis adalah bekerja untuk keabadian” Horas...Horas ..Horas

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Buzzern dan Influencer

24 September 2025   09:21 Diperbarui: 24 September 2025   09:21 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bayangkan zaman dahulu kala, sebelum ada sinyal Wi-Fi. Buzzer itu bukan orang, tapi lebih ke konsep. Mereka adalah para jurnalis yang 'disuap' untuk menulis artikel baik tentang produk tertentu, atau 'geng tukang gosip' di acara TV yang tiba-tiba membicarakan isu politik. Tujuan mereka sama: menciptakan 'buzz' atau isu. Hanya saja, mediumnya masih kuno, Koran, majalah, atau televisi. Biaya untuk menjadi buzzer zaman ini sangat mahal dan eksklusif, hanya bisa diakses oleh segelintir orang. Lalu datanglah internet dengan kecepatan 56 kbps yang bersuara 'tiiit-tiiit-tuut-tuuut'. Buzzer mulai bermigrasi ke dunia maya. Mereka masih individual, tapi mereka berkumpul di forum-forum internet seperti Kaskus atau milis. Sistemnya lebih terorganisir, tapi masih sederhana. Sebuah kampanye bisa dilakukan dengan meminta beberapa orang untuk memposting di forum yang berbeda atau saling membalas komentar di blog. Ini adalah cikal bakal jaringan, semacam 'grup WhatsApp zaman purba. Dan terjadilah revolusi! Facebook dan Twitter hadir. Ini adalah 'ladang emas' bagi para buzzer. Dengan fitur retweet, share, dan tagar, pesan bisa menyebar secara eksponensial dalam hitungan detik. Di sinilah istilah 'buzzer' benar-benar menjadi populer. Jaringan mulai terbentuk dan terkoordinasi dengan sangat baik. Buzzer bisa serentak melancarkan serangan isu atau kampanye, membuat sebuah topik menjadi trending dalam waktu singkat. Jangkauan menjadi segalanya.

Saat ini, buzzer telah naik kelas menjadi industri yang terorganisir rapi. Mereka tidak lagi hanya sekumpulan orang, tapi seringkali adalah bagian dari agensi komunikasi profesional.Jaringan buzzer modern bekerja dengan sistem yang sangat terukur. Mereka menggunakan data dan analisis untuk menentukan target audiens yang paling efektif. Mereka adalah 'tentara digital' yang siap melancarkan kampanye untuk siapa pun yang membayar, baik itu produk, isu sosial, atau politik. Penggunaan buzzer dan influencer dalam pemilihan presiden, gubernur, bupati, dan lurah di Indonesia telah menjadi fenomena yang signifikan, terutama sejak Pemilu 2014. Praktik ini berkembang pesat seiring dengan meningkatnya penggunaan media sosial dan peranannya sebagai alat komunikasi politik.

Secara umum, praktik buzzer dan influencer dalam politik di Indonesia meliputi beberapa hal berikut:

Pembentukan Opini Publik: Mereka digunakan untuk menciptakan, mengarahkan, dan memperkuat opini publik di media sosial. Strategi yang umum digunakan adalah dengan membanjiri lini masa dengan konten-konten yang mendukung atau menyerang kandidat tertentu.

Penyebaran Narasi Positif dan Negatif: Tim buzzer dan influencer bekerja untuk membangun citra positif bagi kandidat yang mereka dukung dan pada saat yang sama, menyebarkan narasi negatif, bahkan disinformasi dan hoaks, untuk menjatuhkan lawan politik.

Penggunaan Tagar dan Topik Tren: Salah satu taktik yang paling sering dipakai adalah membuat tagar (hashtag) dan topik percakapan menjadi tren di media sosial seperti Twitter (sekarang X). Hal ini dilakukan dengan mengunggah dan me-retweet cuitan secara masif dan terstruktur.

Amplifikasi Informasi: Mereka berfungsi sebagai alat untuk mengamplifikasi informasi dari tim kampanye atau kandidat itu sendiri. Informasi ini bisa berupa visi-misi, program kerja, atau klarifikasi atas isu yang beredar.

Perang Narasi: Di setiap pemilihan, terutama di Pilpres, terjadi "perang narasi" di media sosial. Pihak yang pro dan kontra saling menyerang dengan narasi yang telah disiapkan. Tim buzzer seringkali menjadi garda terdepan dalam perang ini, seringkali menggunakan akun anonim atau bot untuk menyembunyikan identitas asli mereka.

Memanfaatkan Akun Bot: Untuk meningkatkan jangkauan dan frekuensi, tim buzzer sering menggunakan akun bot yang secara otomatis mengunggah atau me-retweet konten. Hal ini membuat topik tertentu terlihat seolah-olah dibicarakan oleh banyak orang secara organik.

Sistematis dan Berbayar: Di balik layar, aktivitas buzzer ini seringkali terorganisasi dalam sebuah tim atau agensi komunikasi digital. Ada koordinator, admin, dan buzzer di lapangan. Mereka bekerja secara profesional dan mendapatkan bayaran, seringkali berdasarkan metrik tertentu seperti jumlah like, retweet, atau jangkauan konten.

Meskipun seringkali disamakan, ada perbedaan mendasar antara buzzer dan influencer dalam konteks politik:

Buzzer: Cenderung beroperasi secara anonim atau menggunakan akun palsu/bot. Fokus mereka adalah membanjiri media sosial dengan konten yang sama secara masif untuk membentuk opini publik. Seringkali, aktivitas mereka kurang transparan dan tidak selalu etis, bahkan cenderung menyebarkan hoaks atau ujaran kebencian.

Influencer: Memanfaatkan popularitas dan kredibilitas yang sudah mereka bangun di media sosial. Mereka biasanya menggunakan nama asli dan memiliki pengikut yang loyal. Peran mereka lebih kepada memengaruhi opini publik melalui konten yang lebih terpersonalisasi, seperti video, podcast, atau tulisan yang dikemas secara menarik. Mereka mungkin tidak selalu terang-terangan berpolitik, tetapi pandangan mereka memiliki bobot bagi pengikutnya.

Istilah "buzzer" sering kali dikaitkan dengan akun anonim atau bayaran, sehingga sulit untuk menyebut nama individu yang secara terang-terangan  mengidentifikasi diri sebagai buzzer. Namun, ada beberapa tokoh atau akun yang sering disebut-sebut sebagai bagian dari fenomena buzzer atau influencer politik, baik karena dukungannya yang vokal maupun karena tuduhan yang dilontarkan kepada mereka.

Beberapa nama yang sering muncul dalam diskusi publik terkait influencer atau buzzer politik di Indonesia antara lain: Jonru Ginting: Dikenal sebagai pendukung Prabowo-Hatta pada Pilpres 2014. Ia sering dituduh melakukan agitasi politik, menyebarkan kebencian, dan hoaks yang menyerang Joko Widodo. Kasus-kasusnya bahkan berujung pada proses hukum. Rudi Valinka (akun @kurawa): Dikenal sebagai pendukung Jokowi-Ahok. Akunnya sering kali memposting pendapat politik dan membela pemerintahan Jokowi. Ia pernah dilantik sebagai staf khusus menteri, yang memicu sorotan publik. Denny Siregar, Eko Kuntadhi, dan Ade Armando: Mereka adalah contoh tokoh yang memiliki pengikut dan pandangan politik yang kuat, seringkali berpihak pada pemerintah. Pandangan mereka seringkali memicu perdebatan dan kontroversi di media sosial.

Pandji Pragiwaksono, Ferry Irwandi, dan Raymond Chin: Ketiganya merupakan contoh influencer yang sering membahas isu-isu politik dengan gaya yang lebih kritis dan analitis melalui konten video atau podcast. Mereka tidak berafiliasi secara langsung dengan kandidat tertentu, namun pandangan mereka sangat memengaruhi opini publik.

Perlu dicatat bahwa fenomena buzzer dan influencer politik ini terus berkembang. Seiring dengan perubahan platform media sosial, strategi yang digunakan pun ikut berubah, dari Twitter ke Instagram, TikTok, hingga YouTube. Hal ini menunjukkan bahwa peran media sosial dalam politik Indonesia semakin tak terpisahkan. Strategi buzzer dalam pemilihan presiden di Indonesia terus berubah dan berevolusi dari satu periode ke periode berikutnya. Ini bukan sekadar pergantian tahun, tapi juga adaptasi terhadap perubahan teknologi, tren media sosial, dan demografi pemilih.

Di tahun 2014, Twitter adalah medan pertempuran utama. Strateginya relatif sederhana namun efektif: Platform Dominan: Twitter menjadi pusatnya. Perang terjadi di lini masa, dengan setiap pihak membanjiri timeline dengan tagar yang mendukung atau menyerang kandidat. Konten: Isu yang dimainkan lebih banyak berbasis narasi teks, berita, dan hoaks. Buzzer akan menyebarkan ulang (retweet) informasi yang sama secara masif untuk membuatnya viral. Narasi: Narasi yang dibangun masih bersifat "hit and run." Tujuan utamanya adalah menyebarkan keraguan atau dukungan tanpa perlu konten yang terlalu rumit. Ini adalah awal dari fenomena buzzer yang terorganisir.

Memasuki 2019, media sosial sudah lebih matang, dan begitu juga strateginya : Platform Dominan: Selain Twitter, Facebook dan Instagram juga menjadi sasaran. Hal ini memaksa tim buzzer untuk beradaptasi dengan konten visual. Konten: Ini adalah era keemasan meme, infografis, dan video pendek. Kontennya dirancang agar mudah dibagikan (shareable) dan diserap, tidak hanya sekadar teks. Narasi: Polarisasi narasi mencapai puncaknya. Istilah "cebong vs. kampret" menjadi identitas politik yang kuat. Strategi buzzer lebih fokus pada memperkuat identitas kelompok pendukung dan mengalienasi lawan.

Di Pilpres 2024, strategi buzzer kembali berubah drastis, terutama dengan populernya TikTok dan YouTube : Platform Dominan: TikTok menjadi "medan perang" baru. Konten vertikal yang cepat dan menghibur menjadi kuncinya. YouTube juga penting untuk konten berdurasi lebih panjang, seperti podcast. Konten: Strategi kini berfokus pada video pendek, challenge, dan konten yang terlihat "organik." Tujuannya bukan lagi hanya menyebarkan hoaks, tapi menciptakan "vibes" atau citra personal yang disukai anak muda. Buzzer juga sering membuat video yang terlihat seperti pandangan pribadi yang jujur. Narasi: Narasi lebih halus dan personal. Daripada menyerang langsung, sering kali narasi diarahkan untuk membangun citra kandidat sebagai sosok yang dekat, "relatable," dan otentik.

Singkatnya, evolusi strategi buzzer ini mencerminkan bagaimana tim kampanye mengikuti tren media sosial, dari fokus pada teks di Twitter, lalu ke visual di Instagram, hingga akhirnya ke video pendek yang viral di TikTok.

Dalam era digital ini, Buzzern dan Influencer telah menjadi profesi yang menggiurkan bagi banyak orang. Dengan kemampuan mereka dalam mempengaruhi opini dan perilaku audiens, mereka dapat meraup keuntungan finansial yang signifikan. Namun, di balik gemerlapnya dunia digital, kita perlu ingat bahwa menjadi Buzzern atau Influencer yang sukses tidak hanya tentang memiliki banyak pengikut, tetapi juga tentang mempertahankan integritas dan kredibilitas.

Jadi, jika ingin menjadi Buzzern atau Influencer yang sukses, jangan lupa untuk selalu menjadi diri sendiri, jujur, dan autentik. Dan jika tidak, jangan khawatir,  juga bisa menjadi "Influencer" di rumah, mempengaruhi keluarga sendiri untuk kepentingan dan maksud tujuan yang di harapkan . Ahaaa

Fenomena buzzer tidak dapat dihindari, terutama menjelang pemilihan umum. Buzzer dapat mempengaruhi opini publik dengan menyasar pemilih yang belum memiliki pilihan pasti. Oleh karena itu, penting untuk mencerdaskan pemilih agar tidak terpengaruh oleh informasi palsu yang disebarkan oleh buzzer. - Ali Sahab.

Horas Hubanta Haganupan.

Horas ...Horas ... Horas

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun