Bayangkan zaman dahulu kala, sebelum ada sinyal Wi-Fi. Buzzer itu bukan orang, tapi lebih ke konsep. Mereka adalah para jurnalis yang 'disuap' untuk menulis artikel baik tentang produk tertentu, atau 'geng tukang gosip' di acara TV yang tiba-tiba membicarakan isu politik. Tujuan mereka sama: menciptakan 'buzz' atau isu. Hanya saja, mediumnya masih kuno, Koran, majalah, atau televisi. Biaya untuk menjadi buzzer zaman ini sangat mahal dan eksklusif, hanya bisa diakses oleh segelintir orang. Lalu datanglah internet dengan kecepatan 56 kbps yang bersuara 'tiiit-tiiit-tuut-tuuut'. Buzzer mulai bermigrasi ke dunia maya. Mereka masih individual, tapi mereka berkumpul di forum-forum internet seperti Kaskus atau milis. Sistemnya lebih terorganisir, tapi masih sederhana. Sebuah kampanye bisa dilakukan dengan meminta beberapa orang untuk memposting di forum yang berbeda atau saling membalas komentar di blog. Ini adalah cikal bakal jaringan, semacam 'grup WhatsApp zaman purba. Dan terjadilah revolusi! Facebook dan Twitter hadir. Ini adalah 'ladang emas' bagi para buzzer. Dengan fitur retweet, share, dan tagar, pesan bisa menyebar secara eksponensial dalam hitungan detik. Di sinilah istilah 'buzzer' benar-benar menjadi populer. Jaringan mulai terbentuk dan terkoordinasi dengan sangat baik. Buzzer bisa serentak melancarkan serangan isu atau kampanye, membuat sebuah topik menjadi trending dalam waktu singkat. Jangkauan menjadi segalanya.
KEMBALI KE ARTIKEL