Mohon tunggu...
ASWAN NASUTION
ASWAN NASUTION Mohon Tunggu... Kontributor Tetap

Menulis adalah bekerja untuk keabadian” Horas...Horas ..Horas

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

VOC ( Vereenigde Osdtindische Compagnie )

20 September 2025   07:14 Diperbarui: 20 September 2025   07:14 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Korupsi di Indonesia bukanlah budaya yang sepenuhnya berasal dari didikan penjajahan Belanda, melainkan fenomena yang sangat kompleks dengan akar historis yang panjang, bahkan sebelum era kolonial. Namun, tidak dapat disangkal bahwa sistem yang diterapkan oleh Belanda berperan besar dalam memperburuk dan menyistematisasi praktik korupsi di Indonesia.

Korupsi dalam bentuknya yang primitif sudah ada sejak masa kerajaan-kerajaan di Nusantara. Praktik seperti pungutan upeti yang berlebihan atau penyalahgunaan kekuasaan oleh penguasa lokal untuk memperkaya diri sendiri bukanlah hal yang asing. Sistem kekuasaan yang patrimonial, di mana semua sumber daya dan kekayaan dianggap milik penguasa, juga turut berkontribusi pada praktik penyelewengan.

Penjajahan Belanda, terutama pada masa VOC, justru melembagakan dan memperluas korupsi. VOC terkenal sebagai sebuah perusahaan yang sangat korup, bahkan akronimnya sering diplesetkan menjadi "Vergaan Onder Corruptie" (hancur karena korupsi). Belanda memperkenalkan struktur birokrasi yang rumit dan sentralistis. Hal ini membuka banyak celah bagi para pejabat Belanda maupun penguasa pribumi yang ditunjuk untuk memungut biaya tidak resmi atau suap. Kebijakan ini mewajibkan rakyat menanam komoditas ekspor. Namun, sistem ini juga mendorong korupsi karena para pejabat lokal, yang ditunjuk oleh Belanda, seringkali menyelewengkan hasil panen atau memeras rakyat demi keuntungan pribadi. Untuk mempertahankan kekuasaannya, Belanda sering bekerja sama dengan elit lokal dan memberikan mereka jabatan atau kekuasaan sebagai imbalan. Sistem patronase ini menciptakan hubungan yang penuh nepotisme dan menjadi fondasi bagi korupsi modern.

VOC atau Vereenigde Oostindische Compagnie (Perusahaan Hindia Timur Belanda) memang terkenal sebagai entitas yang sangat korup, dan korupsi ini menjadi salah satu penyebab utama kehancurannya. Korupsi yang terjadi di VOC bukan hanya dilakukan oleh pejabat rendahan, tetapi juga oleh para petinggi di kantor pusat dan di wilayah jajahan. Korupsi di dalam VOC bukan sekadar tindakan individu, melainkan sudah menjadi bagian dari struktur dan budaya organisasi itu sendiri hal; ini di sebabkan oleh Para pegawai VOC, baik yang ditempatkan di Batavia maupun di pos-pos perdagangan lainnya, digaji sangat rendah. Sementara itu, mereka dituntut untuk hidup mewah demi menjaga status sosial di hadapan masyarakat pribumi. Kesenjangan ini menciptakan celah besar bagi mereka untuk mencari penghasilan tambahan melalui cara-cara ilegal. VOC memegang hak monopoli penuh atas perdagangan rempah-rempah. Namun, alih-alih menguntungkan perusahaan, monopoli ini sering disalahgunakan oleh pejabat VOC. Mereka menjual rempah-rempah secara ilegal ke pedagang lain atau memonopoli komoditas lain untuk keuntungan pribadi. Banyak pejabat VOC yang diam-diam menjadi pedagang pribadi. Mereka menggunakan fasilitas dan kapal VOC untuk menyelundupkan barang-barang, sehingga keuntungan yang seharusnya masuk ke kas perusahaan justru masuk ke kantong pribadi mereka.

Korupsi yang merajalela secara perlahan menggerogoti VOC dari dalam, hingga akhirnya menyebabkan kebangkrutan dan pembubarannya. Praktik korupsi menyebabkan kebocoran kas yang sangat parah. Pendapatan yang seharusnya besar dari monopoli perdagangan justru berkurang drastis karena banyaknya penyelewengan. Karena korupsi sudah menjadi hal umum, disiplin kerja dan loyalitas terhadap perusahaan menjadi sangat rendah. Pejabat yang seharusnya mengawasi malah menjadi pelaku, sehingga sistem kontrol menjadi lumpuh. Akibat kerugian finansial dan biaya perang yang terus membengkak, VOC menanggung utang yang sangat besar. Pada akhir abad ke-18, utang VOC mencapai sekitar 136 juta gulden, jumlah yang fantastis pada masa itu.

Pada akhirnya, VOC tidak mampu lagi menanggung beban operasional dan utang. Pada 31 Desember 1799, VOC secara resmi dibubarkan oleh pemerintah Belanda. Wilayah kekuasaannya, termasuk Hindia Belanda (sekarang Indonesia), diambil alih langsung oleh Pemerintah Kerajaan Belanda. Pembubaran VOC menjadi bukti nyata bahwa korupsi yang masif, sistematis, dan dibiarkan berlarut-larut bisa menghancurkan sebuah organisasi yang tadinya sangat kuat. Kisah VOC menjadi pelajaran penting bahwa integritas dan transparansi adalah kunci keberlanjutan sebuah institusi, baik itu perusahaan maupun negara. VOC bubar karena ia adalah entitas bisnis yang gagal dan tidak lagi relevan dengan perubahan zaman. Pemerintah Belanda memutuskan untuk mengambil alih aset dan wilayahnya, karena nilai strategisnya masih tinggi, namun model bisnis VOC sudah tidak berkelanjutan

Setelah kemerdekaan, praktik-praktik korupsi yang telah mengakar selama masa kolonial tidak hilang begitu saja. Sebaliknya, hal itu berlanjut dan bahkan berkembang. Korupsi semakin terstruktur di era Orde Baru di bawah Presiden Soeharto, yang dikenal dengan praktik Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme (KKN). Korupsi pada masa ini tidak hanya melibatkan pejabat, tetapi juga pengusaha dan militer, menciptakan sebuah jaringan yang sangat sulit diberantas. Meski telah ada upaya masif seperti pembentukan KPK, korupsi tetap menjadi tantangan besar. Hal ini disebabkan oleh kelemahan sistem hukum, rendahnya kesadaran hukum, dan faktor-faktor budaya seperti sikap pragmatis, serta kurangnya pendidikan dan etika antikorupsi.

Perbandingan antara kehancuran VOC dan potensi Indonesia di masa depan adalah perdebatan yang menarik dan penting. Meskipun keduanya sama-sama besar dan memiliki masalah korupsi, konteksnya sangat berbeda. Indonesia sebagai sebuah negara berdaulat memiliki kompleksitas yang jauh melampaui sebuah perusahaan dagang seperti VOC. Secara harfiah, sangat kecil kemungkinan Indonesia akan "bubar" sebagai sebuah negara. Indonesia memiliki dasar konstitusi, wilayah, dan populasi yang sangat kuat. Namun, ancaman yang dihadapi Indonesia bukanlah pembubaran, melainkan disintegrasi, perpecahan, atau kegagalan menjadi negara yang makmur dan stabil. Korupsi yang merajalela dapat memicu perpecahan. Jika kesenjangan sosial dan ekonomi semakin melebar, dan pemerintah pusat dianggap tidak adil atau korup, hal ini bisa memicu gerakan separatisme di daerah-daerah yang kaya sumber daya alam. Ini adalah ancaman yang jauh lebih serius daripada "pembubaran" negara. Korupsi dapat membuat Indonesia kehilangan kontrol atas sumber daya alamnya. Jika perusahaan-perusahaan asing dapat dengan mudah menyuap pejabat untuk mendapatkan konsesi yang tidak adil, maka kekayaan alam Indonesia akan mengalir keluar, sementara masyarakat hanya mendapat sedikit keuntungan. Korupsi yang sistematis akan menghancurkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga negara, termasuk parlemen, peradilan, dan kepolisian. Tanpa kepercayaan ini, sistem pemerintahan akan sulit berjalan efektif, yang bisa berujung pada kekacauan sosial dan politik.

Indonesia tidak akan bubar seperti sebuah perusahaan, tetapi berpotensi menjadi "failed state" atau negara yang gagal. Negara gagal adalah negara yang tidak mampu lagi menjalankan fungsi-fungsi dasarnya, seperti menjaga keamanan, memberikan pelayanan publik, dan menegakkan hukum.

Meskipun praktik korupsi di Indonesia memiliki kemiripan dengan VOC, ancaman yang dihadapi berbeda. VOC bubar karena ia adalah sebuah perusahaan yang gagal dan digantikan oleh entitas negara yang lebih kuat (Pemerintah Belanda). Sebaliknya, Indonesia sebagai sebuah negara tidak memiliki "pengganti". Ancaman terbesar bagi Indonesia dari korupsi adalah disintegrasi bangsa dan kegagalan negara. Oleh karena itu, memerangi korupsi bukan hanya masalah etika, tetapi juga masalah kelangsungan hidup bangsa. Korupsi yang dibiarkan akan menggerogoti pilar-pilar negara, seperti keadilan, kesejahteraan, dan persatuan, yang bisa berujung pada perpecahan atau kehancuran. Indonesia adalah sebuah negara berdaulat dengan jutaan penduduk dan wilayah yang luas. Negara tidak bisa "bubar" dalam arti yang sama dengan perusahaan. Tidak ada "pihak lain" yang akan mengambil alih Indonesia secara keseluruhan.

Namun, yang mungkin terjadi adalah skenario yang jauh lebih buruk: Indonesia menjadi negara gagal (failed state). Negara gagal adalah negara yang: Tidak mampu mengontrol wilayahnya: Korupsi yang merajalela melemahkan penegakan hukum dan memicu gerakan separatisme di daerah-daerah yang merasa diperlakukan tidak adil. Tidak dapat memberikan pelayanan dasar: Uang rakyat yang dikorupsi tidak digunakan untuk membangun infrastruktur, pendidikan, atau kesehatan, sehingga kualitas hidup masyarakat merosot tajam. Kehilangan legitimasi: Rakyat tidak lagi percaya kepada pemerintah dan lembaga-lembaga negara karena dianggap korup dan tidak peduli pada kesejahteraan mereka. Kondisi ini tidak berarti Indonesia bubar menjadi beberapa negara kecil secara resmi, tetapi bisa menciptakan kehancuran sosial, ekonomi, dan politik dari dalam. Negara akan tetap ada di peta, namun fungsinya tidak berjalan. Jadi, jika korupsi tidak ditangani, Indonesia mungkin tidak akan "bubar" seperti VOC. Namun, ancamannya jauh lebih nyata dan mengerikan: kehancuran secara perlahan dari dalam yang menggerogoti

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun