Mohon tunggu...
ASWAN NASUTION
ASWAN NASUTION Mohon Tunggu... Kontributor Tetap

Menulis adalah bekerja untuk keabadian” Horas...Horas ..Horas

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Vonis : Antara Hukum dan Hati Nurani.

16 September 2025   08:06 Diperbarui: 16 September 2025   08:06 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum pidana tidak sekadar matematika, di mana setiap pelanggaran memiliki sanksi yang sudah pasti. Vonis yang dijatuhkan oleh hakim adalah cerminan dari pertimbangan mendalam yang meliputi fakta-fakta hukum, namun juga karakter, sikap, dan rekam jejak pelaku. Keputusan ini bertujuan untuk mencapai keadilan yang seimbang, baik bagi korban, masyarakat, maupun pelaku itu sendiri.

Ketika seorang terdakwa berada di ruang sidang, perhatian hakim tidak hanya tertuju pada bukti-bukti material. Sikap terdakwa selama proses persidangan menjadi cerminan dari penyesalan dan kesadaran hukumnya. Hakim akan memperhatikan apakah terdakwa menunjukkan sikap kooperatif atau justru defensif dan berbelit-belit. Terdakwa yang mengakui perbuatannya secara jujur dan menunjukkan penyesalan mendalam biasanya mendapat pertimbangan yang meringankan. Pengakuan ini tidak hanya mempermudah proses peradilan, tetapi juga menunjukkan adanya kesadaran akan kesalahan. Sebaliknya, terdakwa yang menyangkal perbuatannya, meskipun bukti-bukti sudah jelas, dapat dinilai sebagai tidak kooperatif, bahkan menjadi faktor pemberat. Sikap yang sopan dan menghormati proses hukum mencerminkan penghargaan terhadap institusi peradilan. Sebaliknya, sikap yang arogan, tidak sopan, atau berupaya mengganggu jalannya persidangan dapat menjadi petunjuk adanya resistensi terhadap hukum, sehingga hakim bisa menjatuhkan vonis yang lebih berat.

Lebih jauh lagi, hakim akan melihat riwayat hidup pelaku dan dampak yang ditimbulkan dari kejahatan tersebut. Status sebagai residivis (pelaku yang mengulangi perbuatannya) adalah faktor pemberat utama. Hal ini menunjukkan bahwa hukuman sebelumnya tidak berhasil memberikan efek jera. Dalam konteks ini, vonis yang lebih berat bertujuan untuk melindungi masyarakat dari pengulangan kejahatan dan memberikan pelajaran yang lebih tegas. Motif di balik kejahatan sangat memengaruhi bobot hukuman. Kejahatan yang didasari oleh motif keji, seperti kebencian, keserakahan, atau dendam, dapat memperberat hukuman. Kejahatan yang dilakukan dengan perencanaan matang juga dinilai lebih serius dibandingkan kejahatan yang terjadi karena dorongan sesaat. Hakim akan mempertimbangkan sejauh mana kerugian yang diderita korban, baik secara fisik, psikologis, maupun materiil. Semakin besar dampak negatif yang ditimbulkan, semakin berat pula hukuman yang dijatuhkan, sebagai bentuk keadilan bagi korban.

Secara umum, dasar hukum yang digunakan hakim untuk mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan vonis dapat ditemukan dalam:

  • Pasal-pasal dalam KUHP: Beberapa pasal KUHP secara eksplisit mengatur faktor-faktor yang memperberat hukuman. Contohnya, Pasal 495 KUHP menyebutkan bahwa pengulangan kejahatan (residivis) dapat menambah sepertiga hukuman pokok.
  • Ketentuan Khusus: Undang-undang di luar KUHP juga sering kali memuat ketentuan pemberatan hukuman. Contohnya, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001) mengatur bahwa hukuman bagi pelaku korupsi yang merugikan keuangan negara dalam jumlah besar akan lebih berat.
  • Yurisprudensi: Selain undang-undang, hakim juga berpedoman pada yurisprudensi, yaitu putusan-putusan hakim terdahulu yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Yurisprudensi membantu hakim dalam menafsirkan dan menerapkan hukum secara konsisten, termasuk dalam hal-hal yang memberatkan vonis.
  • Doktrin Hukum: Doktrin atau pendapat para ahli hukum juga menjadi salah satu sumber hukum yang digunakan hakim dalam pertimbangan vonis.

Selain dasar hukum tertulis, pertimbangan hakim juga didasarkan pada faktor-faktor non-hukum yang bersifat normatif dan psikologis. Faktor-faktor ini, meskipun tidak tertulis secara eksplisit, menjadi bagian dari "hati nurani" dan "rasa keadilan" yang harus dimiliki hakim. Sikap Terdakwa di Persidangan: Meskipun tidak ada pasal yang secara eksplisit mengatur bahwa sikap terdakwa (seperti berbelit-belit atau mengakui perbuatan) akan menambah atau mengurangi hukuman, dalam praktiknya, hal ini menjadi pertimbangan utama hakim. Dampak Sosial: Hakim juga mempertimbangkan dampak sosial dari kejahatan yang dilakukan. Kejahatan yang meresahkan masyarakat atau dilakukan terhadap kelompok rentan akan dinilai lebih serius dan memperberat hukuman.

Keyakinan hakim memiliki peran yang sangat penting, bahkan mutlak, dalam menjatuhkan hukuman. Namun, keyakinan ini tidak bisa berdiri sendiri. Dalam sistem hukum pidana Indonesia, keyakinan hakim harus dibangun di atas dasar yang kuat dan sah. Keyakinan hakim berfungsi sebagai penentu akhir. Hakim tidak hanya berperan sebagai "corong undang-undang" yang sekadar membaca pasal dan menjatuhkan hukuman. Hakim adalah perpanjangan dari rasa keadilan masyarakat.

Dalam perkara pidana, tujuan utamanya adalah mencari kebenaran materiil (kebenaran yang sesungguhnya), bukan hanya kebenaran formal. Alat bukti bisa saja terstruktur, tapi keyakinan hakimlah yang akan menuntunnya untuk melihat apakah ada kebohongan, manipulasi, atau fakta-fakta yang tidak terungkap di balik semua bukti tersebut. Keyakinan hakim adalah hasil dari proses internal yang melibatkan akal sehat, hati nurani, dan nilai-nilai keadilan yang hidup di masyarakat. Dalam menimbang putusan, hakim akan mempertimbangkan hal-hal yang tidak tertulis secara harfiah, seperti motif, penyesalan terdakwa, atau dampak sosial dari hukuman yang dijatuhkan. danya syarat keyakinan ini mencegah hakim hanya mengandalkan bukti formal semata tanpa mempertimbangkan aspek kemanusiaan. Bayangkan jika seorang hakim harus menghukum seseorang hanya karena ada dua alat bukti, padahal hakim itu sendiri tidak yakin orang tersebut bersalah. Sistem ini melindungi terdakwa dari putusan yang kaku dan tidak adil.

Dengan demikian, meskipun ada dasar hukum tertulis, putusan hakim tidak melulu bergantung pada pasal-pasal undang-undang. Hakim memiliki kewenangan untuk mempertimbangkan berbagai faktor, baik yang tertulis maupun tidak, untuk mencapai vonis yang adil dan berimbang. Vonis yang dijatuhkan oleh hakim bukanlah sekadar hukuman, melainkan sebuah refleksi dari keseluruhan cerita di balik kejahatan itu sendiri. Setiap elemen, dari sikap terdakwa hingga dampak yang ditimbulkan, dipertimbangkan dengan cermat untuk memastikan bahwa keadilan ditegakkan secara proporsional.

Keyakinan hakim adalah syarat mutlak dalam vonis, tetapi keyakinan itu harus rasional dan logis, yang lahir dari minimal dua alat bukti yang sah dan bukan dari perasaan pribadi atau hal lain di luar koridor hukum. -- Andi Hamzah.

Horas Hubanta Haganupan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun