Mohon tunggu...
Emmanuel Astokodatu
Emmanuel Astokodatu Mohon Tunggu... Administrasi - Jopless

Syukuri Nostalgia Indah, Kelola Sisa Semangat, Belajar untuk Berbagi Berkat Sampai Akhir Hayat,

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Wacana Senyum dan Senyum Wacana

17 Februari 2017   04:16 Diperbarui: 17 Februari 2017   04:26 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Akan dipaparkan disini sebuah perjalanan nalar tentang wajah dalam alur demikian ini : setelah membuat kasalahan, membuat refleksi, merunut nasehat nenek moyang, mengolah fenomena, melalui wacana, mengecap pembelajaran, dan tersenyum sendiri. 

Kesalahanku itu ini : Sekali waktu pernah aku melihat di fb sepasang wajah perempuan, seperti saudara foto bersama. Wajah pertama terkesan babyface, kinderlyk, bukan kinderactig, seperti anak tidak kekanak-kanakan, sederhana. Wajah yang kedua seperti saudaranya lebih dewasa. Dibawah gambar itu sudah ada dua komentar, yang menyatakan keduanya cakep, dan pertanyaan apa hubungan mereka, siapa punya wajah yang muda itu. Tanpa berfikir panjang aku ikut berkoment.

“Bocah cantik dan pendampingnya gak kalah cantik”. Dan ada balasan pertama bukan dari siempunya wajah dewasa, yang membagikan foto itu, yang aku cukup kenal. Tetapi dari yang lain, kira kira senilai dengan ini : “Heeemm”. (Apa ya artinya?) Selanjutnya si wajah dewasa memberi penjelasan bahwa “bocah” itu adalah temannya, dan dikatakan sedang menanti kelahiran bayinya….. Inilah kesalahan yang aku buat.

Refleksiku mulai disini : Foto, gambar adalah sebenarnya penghadir orang. Foto dan komentar adalah sebentuk komunikasi. Komunikasi tidak langsung, setengahnya non verbal, dengan media atau peralatan pengantara foto dan tulisan. Fotonya sebagai subyek sebelah sana menghadirkan signal-signal yang pembaca disebelah sini menangkapnya. Foto tanpa keterangan cukup memberi signal yang tidak lengkap pula. 

Maka terjadi komentar dan/atau respon yang kurang pas. Semula dari pihak pembaca hanya kenal betul dengan yang berwajah terkesan lebih dewasa, dan tanpa perkenalan disitu bagi wajah babyface. Padahal diharapkan dalam foto-wajah kita bisa menangkap dan menterjemahkan : posisinya (tunduk, tengadah, tengok kiri kanan), raut muka (bersih, muram, berlinang airmata), pandangan mata (kerdip, belalak/ melotot, kerling) mimik atau mulut dan bibirnya terbuka atau tertutup.

Berfikir tentang kesan dan respon yang seperti dimaksud sebenarnya kita sampai pada “Cara komunikasi” yang dikenal dengan sebuatan “Non-Verbal Language” atau “Non-verbal communication” juga “Non-verbal behaviour”.  Sejarah mencatat nama Charles Darwin sebagai ‘pelopor’ pembelajaran bahasa tubuh. Bukunya yang berjudul The Expression of the Emotions in Man and Animals tahun terbit 1872. ini telah mendorong banyak orang melakukan pembelajaran tantang bahasa tubuh. Sebagai contoh misalnya Prof.Birdwhistell memperkirakan jumlah komunikasi-non-verbal yang kita lakukan sesungguhnya lebih banyak daripada komunikasi-verbal kita. 

Bahasa tubuh, kadang menyiratkan pesan yang amat kuat kepada lawan bicara, atau kepada siapapun yang kepadanya bahasa itu ditujukan. Dicatat dikatakan perempuan lebih peka menangkap bahasa tubuh, dan pasangan lansia dikatakan banyak menggunakan bahasa tubuh daripada verbal. Bahasa tubuh adalah bahasa menggunakan signal dengan alat gerak tubuh, maka siapa saja yang memiliki tubuh tentu mampu menggunakannya. Memang non verbal language ini bahasa antar suku antar budaya bahasa.

Akan tetapi focus yang ingin kuambil adalah wajah, hal mana yang menjadi lantaran kesalahan yang aku buat. Wajah dengan senyum dan kerdipan mata menurut nasehat nenek moyang harus menjadi gelagat yang kami harus pandai pandai membaca. Konon dipaparkan bahwa raja harus tidak banyak bicara, tetapi cukup memberi “sasmita” (signal) dan para “kawula” (abdi) harus bisa “tanggap ing sasmita” (peka pada signal). Signal tidak sekedar informasi tetapi informasi mengandung pesan perintah. 

Disini tentu banyak kegagalan dan sesat tafsir sebab kerap kali kita itu gampang percaya pada apa yang kita inginkan. Orang Romawi kuno bilang Quod volumus libenter credimus. (Apa yang kita maui, dengan senang hati segera kita percayai). Pesan informative mudah diterima dan ditanggapi menjadi pesan harapan, -kemauan, -perintah, bila itu sesuai dengan keingingan kita. Sebagai contoh kaki isteri yang capek, diangkat minta dipijat suami, suami yang bernafsu merespon seakan isterinya minta pijatan yang lain. Ada nesehat pembelajaran yang lain dari nenek moyang untuk menjaga kesalahan seperti itu yaitu : Sing bisa rumangsa ojo rumangsa bisa. (Hendaknya kau bisa merasa, jangan merasa bisa …) Dikedepankan pesan kepekaan tanggap, bukan rasa mampu.

Sebenarnya pesan nesehat itu ada dalam wacana atau kerangka piker kepemimpinan Jawa di Trah Mangkunaran. Kuang lebih dikatakan bahwa pemimpin itu (dan semua warga) harus : Rumangsa melu Handarbeni, Wajib Hangrungkebi, Mulat Sarira Hangrasa wani. (artinya:) Merasa/sadar ikut memiliki, wajib membela, melihat diri sadar berani. Maka nasehat “sing bisa rumangsa” dan larangan “ojo rumangsa bisa”, akan menjadi pelaksanaan / implementasi dari nasehat yang lebih luas ini. 

Ini menjadi jelas bila kita mencoba meng imaginasikan kesalahan saya diatas. Apabila aku kenal sebelumnya, apabila aku diberi tahu sebelumnya, tentu aku tidak menulis asalasalan itu. Informasi tentang foto tidak aku tangkap keseluruhan, sehingga babyface itu menutup fakta umur dan realita bahwa sipemilik itu seorang bakal ibu yang telah menanti melahirkan putera.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun