Mohon tunggu...
Emmanuel Astokodatu
Emmanuel Astokodatu Mohon Tunggu... Administrasi - Jopless

Syukuri Nostalgia Indah, Kelola Sisa Semangat, Belajar untuk Berbagi Berkat Sampai Akhir Hayat,

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Geliat Ramadhan Di Dusunku

20 Juni 2015   10:59 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:43 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Geliat maksudku dinamika yang tidak spektakuler. Yang spektakuler itu seperti gelora serakahnya usulan uang aspirasi yang belum tentu inspiratif itu.
Sudah menjadi kebiasaan sederhana Simpan Pinjam RT dusunku biasa menyelenggarakan tutup buka simpanan dan pinjaman menjelang hari Lebaran. Artinya siapa pinjam mengembalikan sepenuhnya, disusul pengurus membagikan kembali simpanan dan pengembalian 50% jasa pinjaman yang pernah distor. 6 hari setelah itu lagi warga boleh meminjam ulang dari Kas kekayaan bersama para warga itu. Itu kebiasaan Usaha Bersama Simpan Pinjam RT kami, ini sudah berjalan sejak lebih dari duapuluh tahun.
Eloknya dipihak ibu-ibu juga membuat kebiasaan yang serupa. Lebih-lebih dari segi waktu : “kegiatan di bulan Ramadhan menjelang Lebaran”. Eloknya lagi kegiatan ibu-ibu membagi keuntungan ini tentu sehari setelah kegiatan bapak-bapak selesai dimana bapak-bapak itu boleh pinjam modal lagi. Dengan demikian para Bapak dan ibu dalam setiap keluarga masing-masing bergantian memutar modal keluarga: “bergantian pegang stir di bulan Ramadhan ini”, kata mereka. Inilah dinamika menggeliat.

Sedikit lain gaya geliat Ramadhan bagi penjual bubur disudut dusunku. Setiap pagi saya dan isteri pergi ke gereja. Sepasang merpati lanjut usia menata meja dipinggir jalan disudut dusun. Kakek menurunkan dari kronjot (tempat barang yang dipasang di bagase sepeda) panci-panci berisi makanan pagi, bubur dan segala temannya. Sayapun sehabis ibadat pagi mampir membeli snack berupa kethiwul dan ketan hitam, empat bungkus masing-masing seharga seribu. Murah meriah Nikmat dan kenyang bersama secangkir kopi tiap pagi.
Bapak ibu sahabat kami itu masih bisa menghidangkan makanan kecil yang demikian murahnya. Mereka menghidupi keluarganya termasuk diri mereka 5 orang. Setiap hari setelah habis jualannya dari jam 5 hingga jam 7.30 pagi, mereka berdua berbelanja ke pasar desa. Sangat sering saya melihat mereka pulang dari pasar kurang lebih jam 10 pagi lewat depan rumah kami. Dari mereka kami tahu mereka sepulang dari pasar lalu istirahat, dan bapak kemudian pergi kesawah dan atau mencari rumput untuk lembunya. Ibu menjelang senja menyiapkan kebutuhan memasak dan jam 20.00 atau sebelumnya sudah kembali ke tempat tidur karena jam 02.00 sebelum ayam jantan itupun berkokok ibu itu sedah bangun memasak bubur dan kawan-kawannya bakal jualan pagi harinya.
Pada awal bulan Ramadhan beberapa hari yang lalu kami tidak melihat lansia kesayangan kami itu berjualan. Setelah saya telusur kerumahnya, ternyata sahabat lansia ini menghormati bulan Puasa. Maka saya semakin tertarik ingin belajar bagaimana geliat mereka untuk menghidupi keluarganya selama bulan puasa ini. Sebab dalam perkiraan ekonomis saya, tampaknya usaha kecil itu sungguh sangat berarti besar buat mereka sekeluarga.
Secara kasar modal dipagi hari mereka siapkan sebesar Rp. 50 – 60 ribu dan hasilnya sekitar Rp.90 – 100 ribu. Jadi hasilnya sekitar 100 % alias lipat dua. Mereka melayani dan di”perhitung” kan untuk sekitar 40-50 bayi dan orang dewasa tetangga sekitar dan para penunggu pasien rumah sakit.
Untuk bisa mencapai kondisi itu, mereka telah merintis usaha itu dari menngambil tempat usaha nebeng di depan pintu rumah tetangga seratus meter lebih masuk dusun, sekarang mereka memasang meja dibawah empat lembar seng ditopang bambu didepan sebuah rumah sakit. Investasinya untuk tempat dan peralatan tidak kurang dari 500 ribuan.
Saya melihat : 1) kepentingan utama usaha itu sebagai dukungan kebutuhan makan sekeluarga,
2) modal yang bagi meraka pas pasan, dan
3) investasi barang dan tenaga yang sudah lama ditanam,
4) relasi atau pelanggan yang sudah berkembang.
Saya berfikir usaha kecil ini yang buat ukuran masyarakat Jakarta atau pandangan Menteri dan DPR.RI yang menghitung “penghargaan” terhitung dengan ‘milyar’, usaha sahabat saya ini sepertinya tidak berharga. Namun menantang saya ikut mencari solusi bagaimana di bulan Ramadhan ini keluarga itu bisa menggeliat dan bertahan. Setelah kasak kusuk kesana kesini ternyata akhirnya masyarakat dapat memahami dan dengan tanpa keberatan sahabat itu kembali menjual buburnya.
Salamku hormatku
Astokodatu

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun