Mohon tunggu...
Emmanuel Astokodatu
Emmanuel Astokodatu Mohon Tunggu... Administrasi - Jopless

Syukuri Nostalgia Indah, Kelola Sisa Semangat, Belajar untuk Berbagi Berkat Sampai Akhir Hayat,

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Diskusi dalam Grup WA

2 Oktober 2018   01:13 Diperbarui: 2 Oktober 2018   01:20 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Beberapa kali terlibat dalam  d i s k u s i  di "WhatsApp" (WA) dengan teman entah sesama warga grup WA atau teman yang melontar  m a s a l a h  dan mengudang tanggapan.

Pengalaman yang indah dengan seorang teman Facebook. Saya katakan "beliau" karena lebih senior, mengundang secara khusus kepada saya bahkan minta tanggapan. Senior saya ini sarjana filsafat, mantan dosen, gemar dalam bidang Pancasila dan Kejawen. Istimewanya minta kepada saya untuk memberi pendapat saya terhadap artikel singkatnya tetapi tanggapan saya harus dalam bahasa Jawa Halus. Karena hormat saya maka dalam merespon dan memberi tanggapan, saya selalu mengulang singkat dan minta konfirmasinya atas persepsi/pemahaman saya pada artikelnya betapa pun panjang singkat tulis beliau. Selanjutnya saya analisa dan saya banding unsur2 gagasan beliau dengan kacamata saya. Saya sekedar taat azas logika dan lebih fenomenologis saja. Sederhana dekat dengan realita keseharian. Sementara saya melihat sepertinya beliau  memandang dengan psikologi transpersonal dan sangat bersemangat. Maka bagi saya (maaf kalau beliau membaca tulisan ini dan kurang setuju) beliau cenderung menegasikan hal-hal yang bagi saya cukup dinisbikan. Tetapi dari jawabannya nampaknya beliau tidak menyalahkan tanggapan saya justru sebaliknya menghargai dan berterima kasih.

Pengalaman lain yang agak pahit adalah kritik dan keberatan saya terhadap suatu gerakan pembaharuan terhadap organisasi dimana sayapun sebagai anggota. Dan terjadi beberapa dialog yang mengarah kepada argument ad hominem. Sebab dia banyak kali menuduh kaum tua khususnya saya yang tertua sebagai pihak tidak bisa move on. 

 dalam hal pembaharuan didalam organisasi kami itu, banyak saksi menyaksikan bahwa saya selalu menjadi pendukung bahkan pelopor pembaruan, termasuk mengusulkan keterlibatan kaum muda demi regenerasi dalam organisasi. Tetapi dialog di WA itu saya tutup dan saya biarkan yang muda merasa benar sepenuhnya. Catatan saya gerakan dan pribadi pendukung akhirnya mengundurkan diri juga, entah dengan bagaimana rasa hatinya sehubungan dengan semangat yang menggebu diawalnya itu.

Pengalaman lain berikutnya mengikuti curhat dari teman lewat WA. Diceritakan bahwa temannya seorang ibu, mantan manager sebuah perusahaan nasional, yang sering memancing pembicaraan dialog dengan teman saya itu, tentang pendampingan anak dan pengembangan kepribadian. Tetapi rupanya tidak pernah terjadi wawancara berkesinambungan antar mereka.  

Ceritanya ibu itu selalu tidak sabaran dan teman saya dituduh bicaranya berputar-putar, atau ibu itu mintanya yang serba siap dilaksanakan,dengan demikian dialog selalu terputus.  Dia seorang ibu yang cukup otoriter tetapi berhasil membangun anak yang dewasa bertanggung jawab berkepribadian kuat. Kepribadian otoriter, disiplin, dan sukses pernah memimpin manageman kantor yang besar. 

Rupanya kesuksesan masa lalu itu sungguh menjadi kebanggaannya. Setelah statusnya menjadi mantan Ibu Manager, dia cukup "disegani" teman2 diluaran kerja. Ini juga pernah dikeluhkan. Dan sebenarnya juga hal itu pula yang menurut kisah teman saya itu dia ingin bantu membereskannya. Meski teman itu akhirnya merasa bahwa pada saatnya ibu itu pasti akan menemukan sendiri dan disadarkan jati dirinya.  Dan mungkin dengan pendekatan yang pernah terjadi harga dirinya sudah lebih didekatkan pada jati dirinya. Kerendahan hatinya akan tumbuh beserta semakin handalnya dalam sikap sosialnya

.Diskusi dalam grup WA sangat kerap karena ditantang merespon meski tidak perlu kita berlanjut dengan diskusi. Seperti seorang Krisnamurti menulis di salah satu WA grup gemar baca, tg 28 Sept yl, demikian : "Cara Menyikapi Masalah" yang justru bisa menjadi masalah. Karena. Masalah tidak akan jadi masalah, bila tidak Anda permasalahkan.  (dilanjutkan Krisnamurti:) Setelah menekuni NLP, saya menemukan bahwa semua respon kita tergantung keadaan sedang kita (alami) saat itu saja. Artinya "Kemampuan mengelola keadaan diri menjadi sangat penting" Karena saat kita gembira, masalah gelappun menjadi peluang untuk bercahaya, bukan ?"(Krinamurti salam dari Yogya 28.9.18) .   

 Pandangan yang membawa pesan pentingnya kemampuan kelola suasana hati/diri orang untuk hadapi masalah, saya tangkap sebagai pandangan yang menisbikan permasalahan. Dan yang nisbi itu jangan ditiadakan/dianggap tidak ada.. Sementara saya melihat dari realita bahwa semua peristiwa atau obyek apapun itu mempunyai dasar untuk menjadi masalah karena selalu memiliki keterbatasan dan sekaligus nilai. Nilai adalah prinsip yang selalu dipertemukan oleh manusia dengan kehendak bebasnya. 

Dengan kehendak bebas manusia selalu membuat pilihan berhadapan dengan kwalitas, prioritas, dan keterbatasan/batasan2 yang nyata. Keterbatasan, Nilai, dan kehendak bebas manusia, yang saya bayangkan betapa masifnya karakter seseorang, dalam bumi diri orang itu sekali waktu akan terjadi seperti lempengan bumi Asia, dan lempengan Australia saling - saling bergeseran saling mendesak sehingga akan terjadi tanpa diduga gempa besar merubah semuanya. Dengan WA kali ini ada hal yang mungkin debatable tetapi memang tidak terjadi diskusi, antara Krisnamurti dan saya.

Merenungkan tentang suatu peristiwa juga bisa disodorkan gaya yang lain dari pada umumnya. Misalnya terhadap peritiwa Gempa di Sulawesi, seorang sahabat Iskandar Zulkarnain memberi sudut pandang yang beda. 

Tulisan singkat Sdr.Iskandar di Facebook itu memperoleh tanggapan luar biasa. Dipaparkan disana lengkap peristiwanya, akibat akibat langsung dari gempa dan tsunami, waktunya lokasinya, dan dampaknya. Yang berbeda adalah menurut istilah yang dipakai adalah "melihat sisi lain" dari biasanya yaitu sisi positip. Seperti korban yang dilihat sebagai mati syahid, kerusakan sebagai peluang pembangunan kembali, sara sosial yang terjadi akan di perbarui. Ada seleksi alami dalam proses pemulihan. Efek politik dan sosial yang positip telah terjadi di Aceh, di Jepang. diimaginasikan sebagai awal kebangkitan di Poso.dan Donggala 

Dibawah tulisan itu saya menulis sebagai berikut : Boleh dibilang setiap peristiwa punya dimensi kronos, dan dimensi khoiros. Khoiros (peluang Rahmat) hanya ditangkap oleh jiwa beriman. 

Dengan menulis itu itu memang saya mengakui penulis  Iskandar Zulkarnain  itu beriman maka bisa melihat dalam peristiwa itu "peluang diberikannya Rahmat"  kepada Donggala dan Palu oleh Tuhan. Ada dialog saling memahami dan menghargai antara saya dan Sdr Iskandar Zulkarnain melalui media Facebook.

Pembelajaran yng saya dapat :  Ada diskusi terjadi di WA atau media seperti Facebook. Diskusi itu pemecahan dan atau analisa terhadap peristiwa. Analisa itu ditentukan banyak kali situasi diri seseorang. Setiap peristiwa mempunyai sisi positip negatip. Setiap peristiwa mengandung unsur keterbatasan dan nilai. Nilai adalah target kehendak manusia yang bebas didukung oleh segenap kemampuan dan kapasitasnya.

Teliti dan pecahkan masalah dengan melihat dan mendekatkan keterbatasan dengan kemauan. Pada titik temu itu setiap masalah bisa dipecahkan, dan pilihan dijatuhkan. 

Belajarlah melalui setiap media yang tersedia.

Salam dan hormatku tolong terima dari saya.

Ganjuran, 2 Oktober 2018

Emmanuel Astokodatu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun