Mohon tunggu...
Hasto Suprayogo
Hasto Suprayogo Mohon Tunggu... Konsultan - Hasto Suprayogo

Indonesian creative designer & digital marketing consultant | astayoga@gmail.com | http://www.hastosuprayogo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Belajar dari Manfaat Mematikan Internet ala Togo

23 November 2017   16:15 Diperbarui: 25 November 2017   21:08 6254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: gettyimages

Ada cerita menarik dari Togo. Untuk Anda yang tidak familier dengan kata ini, Togo adalah sebuah negara di Afrika barat dekat Sahara. Selama sepekan, pada bulan September 2017 lalu, pemerintah Togo mematikan akses internet di negerinya.

Yes, atas perintah Presiden Faure Gnassingbe, internet di negara terkecil di Afrika ini dipadamkan. Tak ada lagi akses ke Facebook, Youtube, dan Whatsapp. Begitu pula segala layanan bisnis berbasis jaringan internet matik total. Bank, perkantoran, institusi layanan publik terhambat beroperasi.

Semua karena Sang Presiden, yang sudah terpilih 3 periode ini tengah berupaya meredam aksi protes massa dan oposisi yang telah berlangsung lama. Kubu penentang ini menggunakan media sosial untuk mengorganisasi aksi dan massa guna mengakhiri pemerintahan rezim keluarga Gnassingbe yang bercokol lebih dari 50 tahun di negeri berpendudukan 7,5 juta jiwa tersebut.

Pemadaman internet ini mengagetkan warga Togo. Mereka awalnya menyangka ada masalah degan layanan telekomunikasi. Mereka banyak yang mencoba me-restart smartphone maupun router modemnya. Tak sedikit yang coba men-top up paket internetnya. Tak ada yang berhasil, sampai mereka sadar bahwa semua itu akibat ulah pemerintah.

Kaum kelas menengah yang khawatir dengan mandeknya transaksi perbankan pun mengular, mengantre menarik uang. Mereka takut ada rush sehingga membentengi diri dengan uang cash. Situasi kacau di mana-mana.

Namun, di balik kekacauan, ada hal-hal positif yang terjadi di Togo. Mayoritas anak muda Togo adalah pengangguran, dan mereka banyak menghabiskan waktu berselancar internet dan menggunakan Whatsapp, terutama untuk mencari partner kencan. Yep, bagi masyarakat Togo, Whatsapp layaknya Tinder. Seks bebas adalah hal umum di Togo, dan Whatsapp adalah sarana perantaranya.

Begitu internet mati, Whatsapp mati, warga Togo awalnya kelimpungan. Mereka pun mula mencoba mengalihkan perhatian dan menghabiskan waktu ke hal lain. Dan banyak yang positif. Berdasarkan liputan di The Guardian, yang didasarkan penelitian oleh Mawuna Koutonin menyebut dampak positif padamnya internet adalah:

  1. Warga Togo lebih serius bekerja, lebih fokus menyelesaikan tugas pekerjaannya dibanding sebelumnya saat ada internet.
  2. Warga lebih banyak menghabiskan waktu di taman-taman dan area publik dengan beraktvitas fisik, terutama olahraga.
  3. Minat baca meningkat, dengan koran, majalah dan buku-buku yang sebelumnya terbengkalai dan diacuhkan kembali dicari dan disimak.
  4. Interaksi antar warga secara fisik kembali terjalin, dengan mereka yang berlalu lalang di jalan kembali saling bertegur sapa dan berbagi rokok--point ini mungkin ga sepenuhnya positif.
  5. Keluarga lebih banyak menghabiskan waktu bersama, khususnya saat makan malam, sehingga suasana lebih harmonis.
  6. Anak-anak muda yang sebelumnya menghabiskan waktu berselancar, atau mencari partner seks lewat Whatsapp jadi lebih sering berkumpul, berdiskusi soal masalah sosial politik. Akibatnya barisan oposisi alih-alih mengendur justru semakin menguat dengan darah baru dari anak-anak muda yang marah atas tindakan pemerintah ini.

Meski pemadaman internet di Togo hanya berlangsung sepekan, namun dampaknya sangat terasa bagi warga negara bekas jajahan Jerman ini. Bahkan belakangan muncul gerakan untuk mematikan internet di tempat atau waktu tertentu, seperti klub baca dan sekolahan.

Menurut Anda, bagaimana jika hal ini diterapkan di Indonesia?

Mungkin tidak mematikan secara penuh layanan internet, namun membatasi akses internet di tempat-tempat tertentu, seperti sekolah, perpustakaan, atau mungkin di rumah.

Harus diakui, banyak dari kita yang lebih banyak menghabiskan waktu mematut di depan layar smartphone, dibanding bercengkrama dengan keluarga, kawan atau saudara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun