Mohon tunggu...
Hasto Suprayogo
Hasto Suprayogo Mohon Tunggu... Konsultan - Hasto Suprayogo

Indonesian creative designer & digital marketing consultant | astayoga@gmail.com | http://www.hastosuprayogo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mendamaikan Logika dan Agama

21 November 2017   01:12 Diperbarui: 21 November 2017   01:41 1206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Logic | sumber: Chronicle.com

Sidang pembaca, ijinkan saya bertanya.

Menurut Anda, mungkinkah logika dan doktrin agama bertemu? Bisakah logika dan doktrin agama beriringan? Atau maukah Anda mendamaikan logika dan agama?

Mengapa saya bertanya demikian. Tak lain karena tak hanya sekali, saya mencoba berdiskusi dengan mereka yang mengaku mendasarkan diri pada doktrin agama, namun tidak logis dalam berargumentasi membela pendapatnya. Mungkin, Anda pun pernah mengalami serupa.

Sebelum Anda mengkritik pernyataan saya tersebut dan menyatakan tak semua orang yang mendasarkan diri pada agama akan tidak logis berargumentasi, iya saya sepakat. Tak semua, pun saya tidak menyebut semua.

Umumnya mereka yang saya temui, yang tidak logis ini, adalah kawan-kawan yang tengah 'menemukan' keberagamaannya. Sebagian besar mereka bagian dari kelas menengah perkotaan, dengan minim jejak religiusitas sebelumnya. Bergabung dalam lingkar pengajian dengan kecenderungan pemaknaan Islam secara tekstual.

Sidang pembaca,

Fenomena ini saya mulai benar-benar sadari saat bekerja di sebuah perusahaan di ibukota. Di mana sekelompok rekan kerja, rajin membombardir milist karyawan dengan tulisan-tulisan sarat nukilan ayat dan hadist. Namun, tak ada dialog di sana. Tak ada ruang diskusi. Tak ada tanggapan kala ditanya. Yang ada monolog.

Tak sedikit kolega kerja yang bergabung dengan kelompok ini. Mungkin karena suara kelompok ini keras. Mungkin karena kelompok ini militan. Mungkin karena kelompok ini menawarkan pemaknaan yang simple, tidak njlimet, hitam putih dan instant.

Mengadopsi doktrin yang pelan namun pasti merubah mindset mereka tentang pemaknaan agama. Bergeser dari pendengar monolog, menjadi penyebar monolog.

Saya juga menemukan simbolisme memainkan peran penting, amat penting jika tidak menyebut paling penting. Simbol berupa atribut fisik, tampilan, jargon dan yel-yel, kostum hingga preferensi frasa dalam berbahasa.

Sidang pembaca,

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun