Fenomena media sosial yang kini begitu dekat dengan kehidupan generasi Z dan Alpha membuat satuan pendidikan tidak lagi bisa memisahkan diri dari dinamika digital.
Hampir setiap hari kita bisa melihat berbagai konten kreatif yang dihasilkan murid, mulai dari video singkat di TikTok, reels yang penuh ekspresi, hingga vlog kegiatan yang dengan cepat menyebar ke berbagai platform.
Ada sisi positif dari tren ini, karena murid belajar untuk mengekspresikan diri, mengasah kreativitas, bahkan meningkatkan keterampilan komunikasi digital.
Namun di balik itu, muncul pula sisi yang berisiko, seperti konten yang tidak pantas, viral negatif yang mencoreng nama baik satuan pendidikan, atau tekanan sosial yang berlebihan bagi murid.
Satuan pendidikan tidak boleh hadir sekadar sebagai pemadam kebakaran yang bereaksi setelah masalah muncul, melainkan sebagai pengelola ruang aman bagi murid dalam menyalurkan kreativitasnya.
Posisi strategis satuan pendidikan adalah sebagai fasilitator, tempat murid belajar bahwa kebebasan berekspresi harus berjalan seiring dengan tanggung jawab dan etika.
Hal ini sejalan dengan pandangan dalam buku Pendidikan Karakter Era Digital yang menekankan bahwa dunia digital bukan sekadar ruang hiburan, tetapi juga ruang pembiasaan nilai. Murid perlu dikenalkan pada cara bersikap di dunia maya sebagaimana mereka berinteraksi di dunia nyata.
Kreativitas murid di media sosial seharusnya tidak dipandang sebagai ancaman, melainkan peluang. Dengan bimbingan yang tepat, kreativitas tersebut bisa diarahkan untuk memperkuat literasi digital, kemampuan storytelling, desain, public speaking, hingga kerja sama.
Penelitian Ulfa Nurfitri Aprilia tentang Strategi Pendidik MI dalam Membentuk Etika Digital pada Peserta Didik di Era Media Sosial membuktikan bahwa pendidik memiliki peran penting dalam membentuk etika digital murid melalui pembiasaan, pendampingan, dan teladan nyata.
Maka, satuan pendidikan yang bijak seharusnya memberi ruang melalui kegiatan yang terstruktur, misalnya dengan mengadakan lomba konten edukatif, festival literasi digital, atau proyek kolaboratif yang memungkinkan murid menunjukkan ide-idenya secara positif. Dengan cara ini, ekspresi murid tetap tumbuh, sementara martabat satuan pendidikan tetap terjaga.
Di banyak satuan pendidikan, kita bisa melihat praktik-praktik sederhana yang berdampak besar. Misalnya, ada sekolah menengah yang membuat kanal YouTube khusus untuk menayangkan karya murid berupa film pendek, musikalisasi puisi, atau podcast edukatif. Kehadiran kanal ini tidak hanya memberi ruang apresiasi, tetapi juga membangun budaya digital yang sehat di antara murid.
Ada pula madrasah yang mengadakan kompetisi konten Islami di Instagram, sehingga murid belajar menyampaikan pesan moral dengan cara yang relevan dengan dunia mereka.
Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa ketika kreativitas diberi ruang yang tepat, murid dapat menghasilkan karya yang bermakna sekaligus menjaga identitas positif lembaganya.
Namun, ruang digital bukanlah dunia tanpa batas. Justru karena luas dan cepatnya arus informasi, murid membutuhkan pagar etika yang jelas.
Buku Membentuk Karakter Anak di Satuan Pendidikan Melalui Literasi Digital menegaskan bahwa literasi digital yang sehat justru memperkuat karakter murid, bukan melemahkannya.
Di sinilah pendidik berperan penting. Pendidik tidak cukup hanya memberi larangan, tetapi harus hadir sebagai pembimbing yang menjelaskan mengapa sebuah konten layak atau tidak layak dipublikasikan.
Murid perlu diajak memahami dampak jangka panjang dari setiap postingan, bahwa jejak digital bersifat permanen dan bisa memengaruhi masa depan mereka.
Keterlibatan orang tua juga tidak kalah penting. Dunia digital adalah bagian nyata dari kehidupan murid, sehingga orang tua tidak bisa hanya menyerahkan tanggung jawab pengawasan pada pendidik.
Di rumah, orang tua dapat mengajak diskusi ringan seputar konten yang sedang tren, memberikan contoh bagaimana menyikapi informasi hoaks, atau mendampingi anak saat mengunggah karya kreatif. Dengan begitu, ada kesinambungan antara pembelajaran di sekolah dan pembiasaan di rumah.
Selain pendidik dan orang tua, komunitas juga bisa menjadi mitra strategis. Satuan pendidikan dapat menjalin kerja sama dengan komunitas kreatif atau praktisi digital untuk memperkaya pengalaman murid.
Belajar langsung dari para konten kreator yang sudah berpengalaman memberi wawasan baru tentang bagaimana ide bisa diwujudkan menjadi karya yang bernilai dan berdampak luas.
Tidak jarang, kegiatan semacam ini juga memantik semangat murid untuk melihat dunia digital sebagai peluang karier yang menjanjikan, bukan sekadar ruang hiburan semata.
Namun, di balik semua peluang itu, tantangan terbesar tetap ada pada membangun budaya digital yang bermartabat. Sering kali, murid terjebak dalam logika popularitas instan, berlomba mencari like, views, atau followers tanpa memikirkan isi dan nilai dari konten yang dibuat.
Inilah titik di mana satuan pendidikan harus menanamkan kesadaran kritis. Murid perlu diarahkan bahwa nilai sebuah karya tidak hanya diukur dari seberapa viral konten tersebut, tetapi dari seberapa besar manfaat yang bisa dirasakan oleh orang lain.
Di sinilah pentingnya pendekatan kontekstual. Buku Pendidikan Karakter Gen Z di Era Digital menegaskan bahwa generasi ini memerlukan bimbingan yang relevan dengan dunia mereka, bukan sekadar aturan yang mengikat.
Artinya, pembelajaran etika digital harus dikaitkan dengan pengalaman sehari-hari murid. Misalnya, saat ada kasus viral negatif, pendidik bisa menjadikannya bahan diskusi kelas untuk mengajak murid berpikir kritis tentang apa yang seharusnya dilakukan. Dengan cara ini, etika tidak lagi abstrak, tetapi nyata dalam kehidupan digital mereka.
Harapan terbesar adalah terciptanya budaya digital di satuan pendidikan yang kreatif, aman, dan bermakna. Sebuah budaya di mana murid berani berekspresi tanpa takut salah, pendidik mampu mendampingi dengan bijak tanpa bersikap represif, dan orang tua ikut menguatkan dari rumah tanpa mengekang berlebihan.
Jika hal ini bisa terwujud, maka media sosial bukan lagi ruang yang menakutkan atau sekadar candu, melainkan jembatan pembelajaran yang memperkaya pengalaman generasi masa depan.
Satuan pendidikan ramah digital pada akhirnya bukan hanya wacana, melainkan kebutuhan. Dunia murid saat ini sudah tidak lagi bisa dipisahkan dari dunia maya. Tugas kita bersama adalah memastikan bahwa ruang maya itu menjadi tempat yang mendidik, membahagiakan, dan memuliakan martabat mereka.Â
Dengan sinergi antara pendidik, orang tua, dan komunitas, kita bisa mewujudkan generasi yang tidak hanya cerdas secara teknologi, tetapi juga bijak dan bertanggung jawab dalam menapaki jalan panjang kehidupan digital.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI