Yang membuat buku ini begitu istimewa, saya sisipkan pula petuah-petuah asli dari ibu, yang saya kumpulkan dari pesan WhatsApp beliau. Pesan yang sederhana namun begitu dalam maknanya.
Salah satu pesannya yang saya abadikan berbunyi:
"Ibu tidak pernah berhenti bersyukur. Setiap pagi Ibu bangun lebih awal, menyiram bunga, menyiapkan teh, lalu tersenyum. Hati yang gembira itu obat. Tidak ada yang lebih menyembuhkan daripada hati yang ikhlas dan pikiran yang damai."
Kalimat itu seperti cermin dari hidupnya sendiri, seorang perempuan Bugis yang kuat, mandiri, dan penuh kasih, yang di usia 76 tahun masih tampak sehat, aktif, dan awet muda.
Hadiah Terindah di Usia Senja
Ketika saya menyerahkan buku itu, ibu tersenyum. Wajahnya bersinar lembut di bawah cahaya sore Babathe.
"Akhirnya tulisanmu untuk Ibu datang juga," katanya pelan.
Saya menunduk, menahan air mata yang nyaris jatuh. Bagi saya, senyum itu lebih berharga dari apa pun. Buku ini bukan sekadar kado ulang tahun, tapi penebus waktu yang hilang, wujud cinta yang abadi, dan warisan hati untuk generasi berikutnya.
Warisan Kasih yang Tak Lekang
Kini, setiap kali saya membuka halaman Buku untuk Ibuku, saya seperti membaca ulang hidup saya sendiri. Di sana ada suara ibu, ada nasihat yang menenangkan, ada doa yang mengalir di antara baris kata.
Saya sadar, tidak ada cinta yang lebih suci dari cinta seorang ibu.