Mohon tunggu...
Mohamad Asruchin
Mohamad Asruchin Mohon Tunggu... -

Pemerhati masalah sosial-politik, \r\ntinggal di Bekasi, Jawa Barat - Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Honour Killing di Pakistan (Wanita sebagai Properti dan Lambang Kehormatan Pria)

17 Juli 2012   09:01 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:52 5034
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ditakdirkan bahwa pria berkuasa

Adapun wanita lemah lembut manja

Wanita dijajah pria sejak dulu

Dijadikan perhiasan sangkar madu

Namun ada kala pria tak berdaya

Tekuk lutut di sudut kerling wanita

Dominasi pria terhadap wanita ternyata terjadi secara universal, termasuk yang pernah dialami dan dirasakan oleh masyarakat Indonesia, sebagaimana tertulis dalam potongan lirik lagu Sabda Alam gubahan Ismail Marzuki di atas. Boleh jadi kondisi demikian masih berlangsung dalam kehidupan masyarakat di daerah-daerah terpencil. Sementara komunitas yang tinggal dan hidup di perkotaan sampai ke desa-desa sekalipun saat ini sudah bisa merasakan berlakunya penyetaraan gender yang sudah mulai diperjuangkan sejak akhir abad ke-19 oleh Raden Ajeng Kartini, yang sebagai anak dari kedua istri Bupati Jepara, merasakan sendiri ketimpangan status antara pria dan wanita di zamannya.

Dewasa ini bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, hormat kaum pria terhadap wanita juga merupakan penghayatan terhadap sebuah hadis Nabi yang menyebutkan bahwa “sorga berada di telapak kaki Ibu” – itu merupakan gambaran pentingnya peran seorang wanita dalam siklus kehidupan manusia, dari mulai mengandung, melahirkan, membesarkan anak-anak, sampai mempersiapkan mereka berumah tangga. Bahkan yang cukup menarik dalam perkembangan masyarakat saat ini adalah adanya kecenderungan gejala tumbuhnya dominasi wanita atas pria (istri terhadap suami) di sejumlah kalangan masyarakat , sehingga populer dengan sentilan istilah perkumpulan ISTI (Ikatan Suami Takut Istri). Tema satiris mengenai suami takut (tepatnya dikendalikan) istri bahkan pernah diangkat dalam seri sinetron “Suami-Suami Takut Istri” di Trans TV.

Bait ketiga sampai keenam dari lirik lagu Sabda Alam tersebut merefleksikan perilaku dan anggapan yang hidup di masyarakat dari dahulu hingga sekarang, baik kelompok etnis yang masih kuat dengan adat-istiadat lama maupun kalangan masyarakat metropolitan dengan status sosial dan tingkat pendidikan tinggi sekalipun. Kaum pria dalam sistem keluarga patriarkal (menurut garis keturunan ayah) di Indonesia serta di dunia manapun umumnya terobsesi untuk mengejar “3 Ta”: harta, tahta dan wanita. Di sini jelas sekali selain harta kekayaan dan kedudukan/jabatan, wanita (cantik) menjadi “perhiasan sangkar madu” sebagai status simbol keberhasilan seorang lelaki. Bahwa kaum lelaki “tekuk lutut di kerling wanita” sudah bukan menjadi berita baru. Sejak Kaisar Roma Julius Caesar terpesona dan jatuh di pelukan Ratu Mesir Cleopatra pada tahun 51 SM, sudah tidak  terhitung jumlahnya kaum pria yang rela dan lupa daratan bersedia mengorbankan harta bendanya dan bahkan kehidupan rumah tangganya karena kerlingan wanita. Demikianlah sejatinya posisi alamiah kaum wanita, lemah lembut bagai kain sutera, tetapi dalam situasi dan kondisi yang memungkinkan dapat mengubahnya menjadi sekeras besi-baja siap menimpa setiap korbannya – kaum pria.

1342515211521119110
1342515211521119110

Dominasi Pria atas Wanita di Dunia

Dengan kesadaran penuh atau tidak, naluri kaum lelaki nampaknya selalu ingin melebihi kaum wanitanya. Mereka boleh jadi mengklaim bahwa manusia pertama yang diciptakan Tuhan adalah Adam, kemudian disusul Hawa yang berasal dari tulang rusuknya Adam. Namun satu hal sudah pasti bahwa dominasi pria atas wanita (male dominated societies) merupakan bentuk budaya yang hidup di kalangan banyak suku bangsa dengan berbagai latar belakang kepercayaan atau agama yang berada di seluruh pelosok bumi. Bagian budaya dominasi pria dalam masyarakat atau kelompoknya yang sangat menghentak rasa kemanusiaan kita  dan jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip universal hak azasi manusia adalah terjadinya honour killing. Menurut jajak pendapat Asian Network BBC, praktek honor killing berlaku lintas benua dan lintas peradaban yang di beberapa wilayah masih marak hingga saat ini.

Hampir di semua agama besar seperti Hindu, Yahudi, Kristen dan Islam terdapat penganut maupun tokohnya yang mendukung dilaksanakannya honour killing terhadap seseorang yang dianggap telah mengancam kehormatan keluarga. Praktek tersebut ternyata juga menyebar di seluruh dunia tidak terbatas pada suku atau kelompok tertentu baik yang tinggal di pelosok pedesaan bahkan masih ditemukan juga di tengah perkotaan. Diruntut dari sejarahnya, perbuatan honour killing sebenarnya sudah tumbuh dan berkembang sebelum agama-agama besar ada. Praktek mengubur hidup-hidup bayi perempuan yang lahir sudah lazim dijalankan oleh kaum kafir Qurais di zaman Jahiliyah sebelum Islam disiarkan oleh Nabi Muhammad di jazirah Arab. Hal serupa juga ditemukan pada bangsa Aztec dan Inca di Benua Amerika. Pada bangsa Roma dan Yunani kuno, perempuan yang kedapatan atau dituduh berzina harus dienyahkan sebagai tindakan penyucian diri pelaku. Hukuman pendosa oleh bangsa Mesir adalah mutilasi, bangsa Cina menghukum mati melalui injakan gajah, dan bangsa Babilon menyuruh pelaku menyebur ke sungai. Dalam cerita Ramayana, Shinta harus membuktikan kesuciannya dari noda Rahwana dengan cara membakar diri.

Di jaman modern pun praktek honour killing masih dilestarikan oleh masyarakat tertentu. Komisi HAM PBB mengumpulkan laporan-laporan dari sumber terbuka maupun laporan lisan, mencatat bahwa berbagai bentuk honour killing masih tetap dilakukan di antara masyarakat bangsa Kurdi, Turki, Iran, Kongo  dan Afrika Utara, bangsa  Asia Selatan (Afghanistan, Bangladesh, India dan Pakistan), Timur Tengah (Jordania, Lebanon, Maroko, Mesir, Palestina, Syria), Amerika Latin (Argentina, Brazilia, Colombia, Ecuador, Guatemala, Haiti, Peru). Bahkan di negara-negara Eropa, Amerika Serikat dan Kanada juga terdapat kasus-kasus hukum yang menyangkut honour killing, namun semua pelaku adalah keluarga imigran dari wilayah Timur Tengah, Asia Selatan dan Turki terutama masyarakat Kurdi. Secara umum, budaya honour killing merupakan kegiatan penghukuman termasuk pembunuhan seseorang (wanita) oleh ayah, saudara laki-laki atau anggota keluarga lainnya karena dianggap mencemarkan kehormatan keluarga: seperti menolak menikah sebagaimana telah diatur oleh keluarga (arranged marriage), ingin menikah dengan calon pilihan sendiri, ingin bercerai dari suami pilihan keluarga, berselingkuh, korban perkosaan, dan berperilaku sex menyimpang (homo atau lesbian).

Sejalan dengan perkembangan jaman, ketika emansipasi wanita sudah menjalar dari Benua Eropa dan Amerika ke bagian dunia lainnya, budaya dominasi pria atas wanita tetap subur di negara-negara berkembang, termasuk yang berada di wilayah Asia Selatan. Apabila jabatan-jabatan publik termasuk Perdana Menteri di India dan Pakistan pernah diduduki oleh kaum perempuan, itu lebih bersifat kosmetik dan hanya populer di wilayah perkotaan dan kalangan terpelajar. Di pedesaan dan daerah-daerah pedalaman yang hidup dari hasil pertanian atau perkebunan, struktur masyarakat feodal yang terbagi dalam kelompok tuan tanah di satu pihak  dan kaum buruh tani di pihak lainnya masih tetap bertahan. Dalam masyarakat Hindu di India, pembagiannya dipertegas menurut kasta, yang tertinggi masuk dalam kelompok Rajput sebaliknya kasta terbawah disebut Dalit. Dalam komunitas feodal semacam ini, sistem “patriarkal” yang menempatkan dominasi pria atas wanita dalam masyarakat (male dominated society) juga tetap tumbuh subur.

13425155261263494399
13425155261263494399

Honour Killing (Karo-Kari) di Pakistan

Kelompok kaum tuan tanah dan kaum buruh kasar di Pakistan sebagaimana golongan Rajput dan Dalit di India merupakan dua komunitas yang sangat berbeda, bagaikan air dan minyak yang tidak mungkin disatukan. Artinya interaksi kehidupan terutama penyatuan antara dua keluarga dalam bentuk perkawinan hanya bisa berlangsung antara kelompok yang sama. Penyimpangan atau pengingkaran terhadap perbedaan dua komunitas ini, semisal terjadi love affair antara muda-mudi dari komunitas yang berbeda bisa berakibat fatal dalam bentuk honour killing – biasanya dilakukan oleh pihak tuan tanah terhadap wanita yang terlibat asmara baik dari keluarga sendiri atau pasangannya maupun kedua-duanya. Komisi HAM Pakistaan dalam laporan tahunannya menyebut angka mendekati 1000 orang wanita yang menjadi tumbal korban pembunuhan atas keangkuhan kelas sosial masyarakat selama tahun 2011. Dengan demikian korban honour killing di  Pakistan yang persisnya berjumlah 943 orang merupakan peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 791 jiwa.

Honour Killing dalam bahasa Urdu (Pakistan) disebut Karo-Kari yang arti harfiahnya adalah Pria Pendosa (Karo) dan Wanita Ternoda (Kari) – yang asal mulanya dikaitkan dengan keterlibatan pria-wanita dalam hubungan asmara sebelum atau di luar ikatan perkawinan. Apabila seorang wanita berbuat Kari, yaitu melakukan hubungan asmara dengan lelaki yang bukan suaminya, maka ia merupakan “aib” atau noda bagi keluarganya yang harus dihukum termasuk dilenyapkan/dibunuh oleh ayah, saudara lelakinya atau suaminya yang bisa dilakukan sendiri atau dengan menyewa orang lain. Pengertian aib atau noda ini kemudian diperluas menjadi perbuatan yang tidak bermoral, seperti menolak menikah dengan calon pilihan rang tua (arranged marriage) dan sebaliknya menikah dengan pilihan sendiri, menginginkan cerai dari suami, berselingkuh, berganti agama/kepercayaan, mengadopsi budaya asing di luar budaya suku/etnis atau kelompoknya, berpakaian tidak sopan dan berperilaku menyimpang seperti menjadi banci (homo atau lesbian).

Sejumlah peristiwa honour killing (karo-kari) yang sangat menghebohkan di Pakistan, antara lain terjadi pada bulan Juni 2002 ketika seorang perempuan bernama Mukhtaran Bibi (30 tahun) dari kalangan buruh tani suku ‘Gujar’ diperkosa rame-rame oleh beberapa lelaki di desa Mirwali, Provinsi Punjab, sebagai hukuman yang dijatuhkan oleh dewan tetua adat kelompok tuan tanah ‘Mastoi’ karena kesalahannya membiarkan adik lelakinya membangun hubungan cinta dengan seorang gadis dari keluarga suku Mastoi. Hukuman masih dilanjutkan dengan berjalan telanjang bulat dari tempat pemerkosaan ke rumahnya. Kasus ini menjadi perhatian masyarakat luas, setelah adik korban berani melaporkan kejadian tersebut ke penegak hukum distrik setempat, termasuk membeberkan kasus sodomi yang dialaminya oleh tokoh suku Mastoi yang ingin ditutupi dengan hubungan cinta antara dia dengan gadis mereka. Sepuluh tahun sebelumnya, April 1992 seorang wanita bernama Samia Samar yang sedang berada di kantor pengacaranya di Lahore untuk mengurus gugatan cerai dari suaminya (pilihan keluarganya) yang bengis dan melakukan KDRT, digelandang ke luar kantor dan ditembak kepalanya oleh paman yang disaksikan langsung oleh ibunya sendiri.

Kasus karo-kari yang juga menghentak dunia terjadi pada tahun1998 dan 1999, kali ini menimpa sepasang kekasih. Bulan Agustus 1998 di Larkana, Provinsi Sindh, seorang wanita bernama Zarina dan kekasihnya Suleiman harus mengakhiri hidup mereka di ujung peluru yang ditembakkan oleh saudara lelaki Zarina. Kemudian pada bulan Mei 1999 peristiwa serupa menimpa pasangan suami-istri Abdul Ghaffar dan Shabana Bibi. Mereka yang sedang melaporkan kasus penculikan Ghaffar di Pengadilan Tinggi Punjab, diseret keluar dari kantor pengadilan oleh keluarga Shabana di hadapan para penegak hukum dan setelah itu dikabarkan hilang tak tentu rimbanya. Masih di tahun 1999, berturut-turut pada bulan Januari dan Maret, nasib tragis menimpa dua orang gadis yang dihilangkan nyawanya dengan ditembak dan bahkan satunya lagi dihabisi secara sadis dengan cara dibakar dan mayatnya ditinggal di jalan. Salah satu gadis harus dijatuhi hukuman mati oleh dewan tetua adat justru setelah dia menjadi korban perkosaan oleh pemimpin masyarakat dimana dia tinggal.

134251563987854781
134251563987854781

Dengan banyaknya keluhan masyarakat di dalam negeri serta kuatnya tekanan dari lembaga-lembaga kemanusiaan internasional, pemerintah Pakistan pada tahun 2004 telah mengesahkan undang-undang yang menetapkan hukuman penjara 7 tahun sampai hukuman mati bagi kasus yang terkait dengan honour-killing (karo-kari). Namun demikian, dalam implementasinya hukum tersebut belum terbukti efektif menjerat para pelaku karo-kari karena beberapa komunitas Pakistan yang masih kuat kesukuannya atau di daerah yang masih banyak tuan tanahnya, kasus karo-kari tetap dianggap sebagai perbuatan untuk menegakkan kehormatan keluarga. Para penegak hukum (polisi dan jaksa) yang bertugas di wilayah tersebut cenderung mengabaikan dan tidak memproses kasus-kasus terkait karo-kari karena menganggapnya sebagai urusan keluarga, yang dapat diselesaikan oleh mereka sendiri. Dalam sistem perundangan di Pakistan juga masih ada celah bagi pelaku karo-kari untuk lolos dari jeratan hukum dengan cara membayar uang kompensasi (diyat) dan keluarga korban bersedia memaafkan pelaku. Banyak kasus karo-kari tidak pernah diproses secara hukum karena dianggap sebagai masalah internal keluarga, dan selanjutnya pembunuhan karo-kari sering dilaporkan sebagai kasus bunuh diri atau kecelakaan.

Banyaknya peristiwa honour killing baik oleh warga Pakistan maupun oleh para imigran asal wilayah Timur Tengah atau Asia Selatan di negara-negara Benua Eropa dan Amerika yang berlatar belakang Islam, serta adanya beberapa pemimpin suku/kelompok di Pakistan yang mencatut ajaran Islam sebagai pembenaran tindakannya dalam mendukung karo-kari, telah menimbulkan anggapan bahwa Islam membenarkan tindakan tersebut. Anggapan demikian langsung dibantah oleh para tokoh Islam di dalam maupun di luar Pakistan dengan merujuk ayat Al-Qur’an bahwa “barang siapa membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu membunuh atau membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya” (Al-Maidah:32). Selain itu ajaran Islam juga tidak membolehkan bentuk kekerasan jenis apapun terhadap perempuan, sebagaimana disebutkan dalam hadis Nabi bahwa “sebaik-baiknya kamu adalah yang paling berbuat baik kepada istri”, dan sang anak juga diharuskan berbakti kepada sosok seorang wanita ketika Nabi Muhammad menasehati sahabatnya agar memberikan sedekah kepada “…ibumu, ibumu, ibumu, dan baru ayahmu”. Masih banyak lagi ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadis Nabi yang menunjukkan peran penting kaum wanita serta menempatkan mereka sederajat dengan kaum laki-laki.

Terlepas dari perjuangan yang tak henti-hentinya oleh Komisi HAM Pakistan serta LSM-LSM yang memperjuangkan hak-hak perempuan, masyarakat yang tumbuh di Pakistan hingga saat ini nampaknya terbentuk berdasarkan asumsi pemikiran yang diskriminatif terhadap perempuan (deep-rooted gender bias). Di dalam male dominated country seperti Pakistan, kaum wanita hanya ditempatkan sebagai alat produksi keturunan, properti, komoditi dan lambang kehormatan pria. Orang tua atau keluarga mengatur jodoh bagi anak-anaknya (arranged marriage) biasanya dengan sanak-saudara terdekat sehingga harta keluarga besar tidak pindah ke tangan keluarga lain. Anak gadis atau anggota keluarga wanita tidak jarang dipaksa menikah sebagai bagian dalam upaya menyelesaikan pertikaian di antara anggota keluarga/kelompok atau antar suku maupun kelompok. Tidak heran jika pekerjaan-pekerjaan pelayanan publik seperti di pasar, toko, restoran, hotel dan tempat rekreasi di Islamabad dan kota-kota Pakistan lain, hanya dilakukan oleh kaum pria. Ada kalanya kita dapat melihat para remaja putri berkulit bersih dibalut pakaian shalwar-khamis warna putih atau krem dengan dupatta (selendang) tersampir di pundak datang ke toko atau restoran pada sore hari dikawal oleh bapak-ibu atau anggota keluarganya – hampir pasti mereka ini sudah dijodohkan. Bagi perjaka dari keluarga lain apalagi orang asing hanya boleh bermimpi atau berkhayal untuk dapat mempersunting gadis-gadis Pakistan yang kadang muncul berkelompok bak bintang Bollywood.

Kejadian karo-kari di Pakistan yang masih marak dipraktekkan di wilayah suku-suku (tribal area) di dekat perbatasan dengan Afghanistan maupun pada masyarakat feodal tuan tanah di daerah pedalaman Provinsi Punjab dan Sind tidak lain merupakan pemuas ego dan ambisi para tetua adat untuk mempertahankan superioritasnya sebagai pemimpin informal di hadapan komunitas/kelompok mereka masing-masing – dengan mencari pembenaran pada berbagai alasan termasuk demi mempertahankan budaya ataupun menjalankan ajaran agama. Praktek karo-kari dapat dipersempit apabila hukum dapat ditegakkan secara konsisten, pendidikan meluas sampai ke pedesaan dan daerah-daerah terpencil, serta pada gilirannya kemiskinan dapat diperkecil. Namun agaknya dominasi pria atas wanita (male dominated society) dengan praktek karo-kari yang terus berkurang intensitasnya, akan tetap menjadi ciri khas masyarakat Pakistan di desa atau di kota, di dalam maupun di luar negeri.

Tashkent,  17 Juli 2012

Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun